Dirgahayu Singapura

Batam, KPonline – Hari ini, Jumat (9/8), kegembiraan sedang menyelimuti rakyat Singapura. Negara terkaya di Asia Tenggara serta tetangga negeri Via Vallen itu merayakan 54 tahun kemerdekaan. Wilayah yang dulu sangat miskin tersebut, kini telah menjadi kekuatan regional, baik di bidang ekonomi, politik, hingga militer, kendati nyaris tidak memiliki sumber daya alam (SDA) mumpuni.

Mendengar kata Singapura, tentu yang ada di benak adalah negara kecil yang sangat maju. Ya, negara bekas jajahan kolonial Inggris ini memang telah mengalami perubahan yang sangat signifikan.

Bacaan Lainnya

Pada abad 7 hingga 12 Masehi, pulau yang kini disebut Singapura masih bernama Tumasik (atau Temasek). Kawasan ini berada di bawah kendali Kerajaan Sriwijaya. Kawasan ini ramai sebagai pusat perdagangan karena strategis di Selat Malaka. Setelah pengaruh Sriwijaya memudar, Kesultanan Johor, kini di Malaysia, segera mencaploknya dan berkuasa cukup lama, sejak abad 16 hingga 19.

Singapura perlahan menjadi kota modern dipicu perjanjian Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stamford Raffles dengan Sultan Hussein Shah, penguasa pulau kecil itu. Negeri Ratu Elizabeth ini membangun pangkalan militer, sekaligus infrastruktur dasar untuk cikal bakal kota Singapura masa kini.

Pada Perang Dunia Kedua, Jepang mengalahkan Inggris lalu menguasai Singapura. Pada saat itu, bibit-bibit pertikaian antar ras mulai muncul. Dari total populasi Singapura, imigran asal China mencapai separuh lebih manusia yang mukim di sana. Warga keturunan Tiongkok sering berebut pekerjaan dengan orang Melayu yang merasa penduduk pribumi.

Jelang Perang Dunia berkecamuk, warga Singapura aktif menuntut perluasan otonomi khusus dari penguasa kolonial. Partai-partai bermunculan. Salah satunya Partai Aksi Rakyat (PAP) yang dipimpin Lee Kuan Yew.

Di akhir perang, Jepang kalah. Inggris kembali ke wilayah itu dan memberi status Singapura otonomi khusus seperti Malaysia. Pada pemilihan umum 1959, Lee Kuan Yew terpilih menjadi perdana menteri.

Sejak menguasai pemerintahan, Lee dan PAP membayangkan negara kota itu harus bergabung dengan Federasi Malaya. Tanpa adanya dukungan Malaysia, Lee khawatir Singapura akan kehabisan sumber daya, khususnya bahan bakar dan air bersih.

Kehancuran infrastruktur masih membayangi akibat ulah tentara pendudukan Jepang selama 1942-1945. Ekspatriat menyebut Singapura saat itu sebagai ‘limbah kemelaratan’.

Nyaris 70 persen penduduk miskin, warga peranakan Tionghoa, India, dan etnis lain tidur berjubel di pemukiman kumuh. Malaria menjangkit di mana-mana.

Pada 31 Agustus 1963, Singapura resmi bergabung dengan Federasi Malaysia, bersama Sabah dan Serawak.

Sayangnya, sepanjang awal 1960, etnis Melayu banyak menyerang penduduk Tionghoa, utamanya dipicu isu ekonomi. Warga mayoritas Singapura merasa terdiskriminasi.

Pada 9 Agustus 1965, Parlemen Malaysia, dengan aklamasi (126 suara melawan 0) mendukung amandemen konstitusi untuk mengeluarkan Singapura dari federasi Malaysia. Sejak saat itu Singapura menjadi satu negara baru dengan kedaulatan sepenuhnya, namun dihantui oleh masa depan yang sangat suram, dipimpin oleh Lee Kuan Yew. Padahal Lee berkeyakinan Singapura akan sulit hidup tanpa bergabung dengan Malaysia, karena negara itu tidak mempunyai sumber daya alam apa pun dan sumber-sumber lainnya yang bisa diandalkan untuk bertahan hidup sebagai suatu negara.

Maka saat mengumumkan kepada rakyat Singapura bahwa mulai hari itu, 9 Agustus 1965, Singapura sudah bukan merupakan bagian dari Malaysia, melainkan suatu negara sendiri, Lee pun tak kuasa menahan tangisnya, saat ia berkata kepada rakyatnya yang disiarkan secara langsung melalui radio dan televisi: “For me, it is a moment of anguish. All my life, my whole adult life, I have believed in merger and unity of the two territories.”

Singapura barangkali menjadi satu-satunya negara di dunia yang merdeka bukan karena keinginan sendiri.

Lee mengakui, ide membangun Singapura dengan tangan sendiri nyaris mustahil, karena 65 persen warga masuk kategori miskin. Banyak infrastruktur hancur karena tentara Jepang merusak kota pelabuhan jajahan inggris itu pada Perang Dunia ke-2.

“Saat kami merdeka, Singapura merupakan kota yang cukup bobrok. Banyak kerusakan sehabis perang, namun kami akhirnya mulai membangun kembali,” cerita Lee Kuan Yew.

Tak mau berlarat-larat pada kesedihan, Lee lalu merumuskan beberapa kebijakan yang sangat terkenal. Misalnya mewajibkan warga menabung, mengatur angka kelahiran, menghapus pajak untuk pabrik yang mau menjadikan Singapura basis ekspor, hingga memberi denda tinggi supaya warga agar tidak buang sampah, merokok, atau meludah sembarangan.

Dengan tangan besi, pemerintahan PAP merombak Singapura menjadi salah satu kota disegani. Kendati begitu, memang ada harga yang harus dibayar. Kebebasan berpendapat serta institusi pers di Singapura konon sangat dibatasi. PAP juga berkuasa selama setengah abad tanpa perlawanan berarti oleh oposisi.

Tantangan lain Singapura adalah arus imigran ke negara itu, yang tidak terlalu disukai warga pribumi. Meroketnya biaya hidup juga jadi keluhan di seantero Singapura.

Terlepas dari pro-kontra soal dominasi Lee Kuan Yew, keluarganya, dan PAP dalam memimpin Singapura, nyatanya negara itu di abad 21 telah lepas dari jerat kemelaratan.

Pendapatan per kapita mencapai USD 56.284, salah satu yang tertinggi di dunia. Warga Singapura menikmati pendidikan dan kesehatan berkualitas, serta angka kriminalitas terendah untuk ukuran negara maju.

Saya yakin semua dari kita tak ada yang bisa memungkiri kemajuan Singapura hingga menjadi seperti sekarang ini, dan pasti akan terus juga mengalami kemajuan yang lebih baik lagi daripada sekarang.

”Disiplin, kerja keras, determinasi yang tinggi untuk selalu menjadi yang terbaik, penegakan hukum yang sangat tegas dan tidak membedakan orang, serta meritokrasi. Siapa yang baik dia yang akan mendapatkan posisi terbaik, bukan karena ada hubungan saudara,” kata Duta Besar RI untuk Singapura Andri Hadi (Kompas, Senin, 10/08/2015).

Memang, ibarat pepatah tak ada gading yang tak retak, keberhasilan dalam ekonomi belum diikuti kemajuan di bidang lain; misalnya, kebebasan berekspresi: masih ada pembatasan, kontrol terhadap media. Barangkali itu sebuah pilihan. Dan, rakyat Singapura menyepakati pilihan itu.

Dirgahayu Singapura

Pos terkait