Di Balik Tidak Beroperasinya PT Dada Indonesia, ternyata mereka belum melakukan kewajibannya. Apa Yang Salah?

Purwakarta, KPonline –  Bertanda tangan Direktur utama, dengan beralasan atas dasar hasil rapat pemegang saham. PT Dada Indonesia, salah satu pabrik yang bergerak dalam sektor industri garmen dan berada di daerah Sadang Kabupaten Purwakarta Jawa-Barat tidak lagi beroperasi terhitung sejak 31 Oktober 2018.

Dibalik tidak lagi beroperasi, PT Dada Indonesia ternyata belum melakukan kewajiban mereka sebagai pelaku usaha dalam memberikan hak atas uang pesangon yang wajib diterima oleh pekerja. Dan jika melihat hal tersebut, ada indikasi terjadinya pelanggaran yang telah dilakukan oleh PT Dada Indonesia terhadap peraturan atau undang-undang ketenagakerjaan yang berlaku.

Bacaan Lainnya

Departemen Ketenagakerjaan serta Pemerintahan Daerah, hingga saat ini belum mampu memberikan penyelesaian secara jelas dan nyata atas permasalahan hubungan industrial yang terjadi antara pekerja dengan pengusaha PT Dada Indonesia. Sebagaimana diketahui menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 156 ayat (1) terdapat tiga jenis pesangon yang harus diterima karyawan bila mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Jelasnya dalam pasal tersebut menegaskan kepada pengusaha untuk melakukan kewajiban, memberikan uang pesangon kepada pekerja. Berikut bunyi Pasal 156 ayat (1): “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.”

Sudah jatuh tertimpa tangga, itulah mungkin ungkapan kata yang tepat ditujukan kepada pekerja PT Dada Indonesia. Dalam Pasal 27 ayat (1), Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan atas peserta yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja menyebutkan : “Peserta PPU yang mengalami PHK tetap memperoleh hak manfaat Jaminan Kesehatan paling lama 6 (enam) bulan sejak di PHK, tanpa membayar iuran. Namun yang terjadi pasal tersebut tidak berlaku untuk bisa dipergunakan sebagai kekuatan hukum tetap bagi Pekerja emak-emak PT Dada Indonesia dalam hal untuk tetap mendapatkan pelayanan Jaminan Kesehatan setelah ter-PHK. Dimana saat ini BPJS Kesehatan pekerja emak-emak PT Dada Indonesia sudah tidak aktif.

Mengapa hal tersebut bisa terjadi?

ternyata pasal 27 ayat (1) bisa teralisasi jika telah memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam pasal 27 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018. Menurut pasal 27 ayat (2) : “PHK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria :

a) PHK yang sudah ada putusan hubungan industrial, dibuktikan dengan putusan/akta pengadilan hubungan industrial.

b) PHK karena penggabungan perusahaan, dibuktikan dengan notaris.

c) PHK karena putusan pailit atau mengalami kerugian, dibuktikan dengan putusan kepailitan dari pengadilan, atau.

d) Pekerja yang mengalami sakit berkepanjangan dan tidak mampu bekerja, dibuktikan dengan surat dokter.

Kemudian berlanjut ke pasal 27 ayat (3) : Dalam terjadi sengketa atas PHK yang diajukan melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, baik pemberi kerja maupun pekerja harus tetap melaksanakan kewajiban membayar iuran sampai dengan adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Dapat diambil kesimpulan, PHK sepihak ternyata memang sangat merugikan bagi yang sedang mengalaminya. Mulai dari uang pesangon yang tidak ada kejelasan, harus ditambah dengan tidak adanya regulasi atau peraturan tentang layanan Kesehatan yang dapat menjamin bahwa pekerja ter-PHK sepihak tetap bisa menggunakan layanan Kesehatan berupa BPJS Kesehatan seperti sebelumnya pada waktu pekerja tersebut masih bekerja.

Seharusnya pemerintah bisa lebih memahami apa yang terjadi bila pekerja sedang menghadapi PHK, kemudian bisa membantu dalam bentuk apa saja. Bukan tambah mempersulit keadaan, dan tidak cepat tanggap dalam menyelesaikan permasalahan hubungan indusrial yang sedang terjadi antara pekerja dan pengusaha. Setidaknya dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan, revisi atau perubahan dalam pasal 27 ayat (2) dan (3). Dan pada selanjutnya pasal 27 ayat (1) benar- benar bisa dirasakan oleh pekerja yang mengalami PHK, terutama PHK sepihak.

Pasal 27 ayat (3), seharusnya disitu lebih menegaskan peralihan sistem kepesertaan menjadi Penerimaan Bantuan Iuran (PBI), karena tidak mungkin saat pekerja sedang mengalami sengketa dengan perusahaan bisa tetap terus berkewajiban membayar iuran. Jangankan untuk membayarkan iuran, hak pekerja yang mereka wajib dapat saja harus diperjuangkan terlebih dahulu di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Undang-Undang merupakan produk hukum yang terlahir untuk dijalankan serta dipatuhi, karena taat kepada peraturan merupakan cermin manusia berakhlak baik serta berbudi luhur dan berjiwa Pancasila. Namun dalam pembentukannya sebaiknya norma-norma kemanusian untuk lebih diutamakan. (Lestareno)

Pos terkait