Cilaka BPJS dalam Tlikungan Omnibus Law RUU Cipta Kerja

Mojokerto, KPonline – (18/02/2020) Pekan lalu pemerintah secara resmi telah menyerahkan Surat Presiden (Surpres), beserta naskah akademik dan draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja kepada DPR untuk dilakukan pembahasan. Pihak Istana menargetkan draf itu bisa disahkan menjadi undang-undang dalam 100 hari atau sebelum Hari Raya Idul Fitri.

Meskipun berubah dari judul awalnya yaitu RUU Cipta Lapangan Kerja (diplesetkan Cilaka), wujud RUU Cipta Kerja yang tengah menjadi sorotan publik, akhirnya benar-benar terbuktikan keberadaannya.

Bacaan Lainnya

Menilik muatan RUU Cipta Kerja ini, karpet merah investasi benar-benar terbentang selebar-lebarnya. Dampaknya beberapa perlindungan dan hak warga negara terpaksa dihilangkan. Karena Omnibus Law ini pun negara dianggap menjadi sangat liberalis dan kapitalis. Sebuah penjajahan terselubung kah?

Dalam portal beritanya, FSPMI KSPI begitu getol menolak Omnibus Law dan menyoroti 9 poin krusial didalamnya, salah satunya adalah hilangnya jaminan sosial. Kenapa jaminan sosial juga perlu diperhatikan?

Alasan prinsipil, jaminan sosial adalah hak dasar warga negara dan berkaitan dengan seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali, terutama erat kaitannya dengan kesejahteraan kaum pekerja/buruh. Entah itu pekerja swasta, pegawai pemerintah maupun pekerja non ASN lainnya.

Di Indonesia pelaksanaan jaminan sosial melalui UU SJSN dan UU BPJS, baru berjalan seumur jagung. Masih perlu banyak perbaikan disana sini. Munculnya permasalahan jaminan sosial mulai dari stagnasi kepesertaan, defisit anggaran, ruwetnya pelayanan, lemahnya penegakan dan rendahnya komitmen adalah salah satu proses yang tengah dihadapi BPJS.

Alih-alih memperbaiki jaminan sosial, RUU Omnibus Law Cipta Kerja justru berpotensi menyebabakan gagalnya pelaksanaan program jaminan sosial.

BPJS sebagai badan penyelenggara dapat kehilangan peserta, berkurangnya pendapatan dan kewenangannya. Baik itu BPJS Ketenagakerjaan, terlebih lagi BPJS Kesehatan. Bagaimana bisa demikian?

KSPI dalam press releasenya di Hotel Mega Proklamasi (16/02) menjelaskan bahwa secara prinsip Omnibus Law menyebabkan hilangnya Social Security (Jaminan Sosial). Hal itu dikarenakan hilangnya Job Security (Jaminan Kepastian Kerja) dan Income Security (Jaminan Pendapatan).

Lebih jauh KSPI menegaskan melalui Said Iqbal ME, bahwa penggunaan buruh kontrak, outsourcing di semua jenis pekerjaan dan upah dibayarkan per satuan waktu (upah per jam), maka pekerja/buruh sulit mendapatkan jaminan sosial, seperti jaminan pensiun, jaminan hari tua, jaminan kesehatan dan yang lainnya.

Ditambah hilangnya upah minimum kabupaten/kota, upah minimum sektoral, munculnya upah padat karya dan tidak ada lagi sanksi pidana bagi pengusaha. Tentu akan menurunkan kolektifitas iuran dan menyulitkan BPJS dalam menegakkan aturan.

Kenyataannya, dalam sistem jaminan sosial, hampir 75% dari kontruksi peraturannya menitik beratkan pada hubungan pekerja/buruh dan pemberi kerja. Disaat sistem ketenagakerjaan diotak-atik, itu sama halnya mengguncang kontruksi jaminan sosial dan bisa sangat membahayakan keberlangsungan program.

Hingga kini, kaum buruh diperkirakan telah menyimpan dana 300 Trilliun di BPJS Ketenagakerjaan, sedangkan di BPJS Kesehatan, buruh telah menyumbang puluhan triliun untuk bergotong royong dalam program JKN.

Turbulensi Jaminan Sosial

Jika RUU Cipta Kerja disahkan, Omnibus Law akan menelikung pelaksanaan jaminan sosial, BPJS akan mengalami cilaka besar. Turbulensi dan kolapsnya jaminan sosial sangat rentan terjadi.

Dengan pekerja/buruh dibayar per satuan waktu (per jam), dikontrak tanpa kepastian, outsourcing di semua jenis pekerjaan maka akan semakin mempersulit BPJS menentukan kepesertaan, iuran, jenis program dan kemampuan untuk melakukan penegakan pengawasan.

Bagi BPJS Ketenagakerjaan opsi ditambahkannya program berupa Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) juga menyisakan berbagai pertanyaan. Sudahkah melalui kajian dan alur peraturan? Sesuaikah manfaat dengan penambahan beban iuran? Dan sebagainya. Banyak yang berasumsi, ini hanya pemanis (sweteener) akibat dikuranginya besaran pesangon. Tanpa kejelasan program dikuatirkan implementasinya nihil.

Bagi BPJS Kesehatan, Omnibus Law ini tentu kabar buruk. Ditengah belitan defisit dan lemahnya komitmen, RUU ini akan menambah panjang daftar keruwetan program JKN serta membuka peluang tidak tercapainya UHC. Tanpa dukungan pekerja/buruh yang setiap tahun iurannya pasti naik, tak ubahnya menggiring BPJS Kesehatan menuju jurang kebangkrutan.

Tumpang tindih kewenangan dan kerancuan tata perundangan juga terjadi seiring hadirnya Omnibus Law. Dimana RUU Cipta Kerja mengamanatkan revisi UU SJSN dan UU BPJS untuk menambahkan program JKP.

Padahal untuk membenahi tata kelola sistem jaminan sosial, DJSN bersama DPR sesuai tuntunan kebutuhan juga tengah berupaya merevisi UU yang sama agar tercipta harmonisasi peraturan dan sinergitas kelembagaan. Mungkinkah satu undang-undang di revisi oleh dua institusi berbeda secara bersamaan?

Belum lagi Omnibus Law memberikan kewenangan tidak terbatas kepada Presiden untuk merubah undang-undang melalui Peraturan Pemerintah. Bisa jadi UU SJSN dan UU BPJS direvisi bahkan dihapus oleh Presiden. Rasanya sungguh sangat inkonstitusional.

Menandai badai besar asuransi sosial yang masih terus berlanjut di Indonesia, tumbangnya Jiwasraya, Asabri bahkan Taspen menjadi bukti adanya masalah serius dalam penjaminan sosial. Lalu dengan munculnya Omnibus Law akankah jaminan sosial menjadi korban selanjutnya? BPJS kembali dikubur dalam angan-angan.

Menghadapi Omnibus Law, seruan dan ajakan organisasi serikat pekerja pun menguat terhadap serikat pekerja BPJS Ketenagakerjaan, dan Forum Komunikasi Anggota BPJS Kesehatan yang notabene sesama organisasi pekerja. Pemogokan umum di Perancis adalah salah satu contoh nyata bagaimana kaum buruh, pegawai negara, polisi, dokter, pengacara, guru bersama sama melawan kebijakan yang tidak pro pada rakyat.

Jangan hanya karena mengejar investasi, rakyat harus kehilangan jaminan sosial. Investasi bukan segala-galanya. Mungkin inilah saatnya bangsa ini untuk berdikari. Kedaulatan rakyat yang sudah titipan bukanlah alasan untuk dikorbankan. Atas nama investasi.

Ipang Sugiasmoro

Pos terkait