Catatan Cinta Perempuan Pekerja

Tangerang, KPonline – Usia muda tidak selalu identik dengan miskin pengalaman. Bunga misalnya — panggil saja begitu — dalam usianya yang baru 28 tahun, ia sudah memiliki perjalanan hidup yang cukup panjang. Betapa tidak, belum juga usianya genap 30 tahun, Ibu dari satu anak ini sudah dua kali menjanda. Untuk menghidupi anak semata wayangnya, saat ini Bunga bekerja sebagai buruh borongan dengan gaji 600 ribu per bulan di sebuah pabrik yang berlokasi di Kabupaten Tangerang.

Saya mengenal Bunga belum lama. Tubuhnya tinggi semampai, berkulit sawo matang. Bahkan, mereka yang tidak mengetahui kehidupannya secara dekat pasti akan menyangka Bunga masih perawan. 

Bacaan Lainnya

Maka jangan heran, di tempat kami bekerja, Bunga seperti permata di antara kerikil yang berserakan. Ia cepat dikenal. Kurang dari satu bulan, ia sudah sedemikian fenomenal. Menjadi sosok dan buah bibir hampir seribu orang karyawan yang bekerja di perusahaan ini.

Satu kali ia bercerita. Menjadi buruh pabrik adalah sebuah pekerjaan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Apalagi dengan status karyawan borongan, pekerjaan kasar, yang mengharuskannya 8 jam dalam sehari terkurung dibalik tebalnya dinding pabrik.

Bunga sendiri hanya berijazah SMP. Ia tidak sempat lulus SMA, karena sudah menikah saat duduk di bangku kelas tiga. Maka, barangkali pekerjaan borongan (dengan gaji kecil dan jam kerja yang panjang) inilah satu-satunya pekerjaan yang masih tersisa bagi pemegang ijazah SMP sepertinya.

Tidak usah diceritakan disini, atas sebab apa kembang desa ini memilih putus sekolah dan segera menikah. Namun, dalam sebuah kesempatan berbincang di kantin perusahaan, kepada saya ia mengatakan bahwa pekerjaan sebagai buruh borongan ini adalah demi anak semata wayangnya.

”Saya ingin menebus kesalahan masa lalu saya yang kelam,” ujarnya pelan. Sudah sedari tadi, nasi di piring yang masih tersisa setengah tidak lagi disentuhnya.

”Saya ingin membiayai sekolah anak saya hingga sarjana dengan pekerjaan yang halal, Mas” lanjutnya. Bahkan sebelum saya merespon kalimatnya yang pertama.

”Baguslah,” pikir saya. Lagipula, kata-kata apa yang pantas saya ucapkan dalam kondisi demikian. Memang sebaiknya saya tidak terlibat dalam pembicaraan yang terlalu jauh dengan Bunga. Wanita yang baru sebulan lalu saya kenal itu.

”Anak saya sekarang sekolah di pondok pesantren,” lagi, kalimat itu keluar dengan antusias. Tanpa saya tanya.

Oh, lihatlah kawan, matanya berbinar saat mengucapkan kalimat itu. Wajahnya sumringah, dan senyum simpul di bibirnya nampak sekali sedang merekah. Dari suaranya, saya bisa menangkap kesan bahwa ia bangga sekali kepada anaknya. Naluri keibuannya sungguh mengesankan.

”Di Pesantren mana?”

”Di daerah Rangkas Bitung.”

Pada detik berikutnya, pembicaraan diisi dengan cerita Bunga tentang anaknya. Ia mengaku, sudah sejak lama berniat menyekolahkan anaknya ke Pesantren. Dengan begitu, ia berharap anaknya akan mendapatkan pendidikan yang benar. Bukan hanya pengetahuan umum, namun juga mendalami ilmu agama. Tidak seperti dirinya, yang tersesat dalam pergaulan serba bebas, justru ketika masih muda.

”Lagi pula, kalau di pesantren ia akan dibimbing oleh ustad-ustadzahnya selama 24 jam. Saya tidak tahu apa-apa soal pendidikan anak,” matanya mulai berkaca-kaca.

Meskipun saya tidak pernah melihat bagaimana putri kecil yang dibangga-banggakannya itu, namun saya semakin yakin kalau cinta kasih Bunga kepada anaknya sedemikian tulus. Saya kira, tadinya, Bunga adalah sosok yang cuek dan sangat tidak peduli dengan sekelilingnya. Nyatanya, ia gampang sekali menangis.

”Saya bercerai dengan dua orang mantan suami karena mereka tidak bisa memperlakukan anak saya seperti anaknya sendiri.”

Kalau anaknya mendengar kalimat Bunga yang terakhir ini, saya yakin ia akan semakin bangga kepada ibunya.

Beruntung, bel tanda istirahat berakhir berbunyi. Kalau tidak, saya akan semakin merasa bersalah telah masuk terlalu dalam ke ranah pribadinya. Ia berjanji untuk mewujudkan mimpi anaknya yang bercita-cita menjadi seorang dokter, meskipun harus bekerja keras membanting tulang. Bunga bahkan sudah tidak lagi memikirkan dirinya sendiri. (*)

Disclaimer: Cerita ini di tulis pertamakali di Tangerang, pada tanggal 15 Januari 2010. Berdasarkan kisah nyata.

==========
Baca juga beragam artikel yang lain terkait dengan Buruh Perempuan.

Pos terkait