Catatan Akhir Tahun 2017, Presiden KSPI: Pemerintahan Jokowi-JK Gagal Mensejahterakan Kaum Buruh

Presiden KSPI yang juga Presiden FSPMI, Said Iqbal, mengecam segala bentuk kekerasan dan intimidasi atas alasan apapun.

Jakarta, KPonline – Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai bahwa pemerintahan Jokowi – JK gagal mensejahterakan kaum buruh.

Ada beberapa indikator, mengapa KSPI menilai pemerintah gagal.

Pertama, turunnya daya beli akibat kebijakan upah murah melalui PP 78/2015.

PP 78/2015 merupakan bagian dari paket ekonomi Jokowi – JK yang memanjakan para investor. Kenyataannya, sepanjang 2015 Pemerintah lebih memilih menggenjot pembangunan infrastruktur ketimbang mensejahterakan kaum buruh.

Indikator kedua, sepanjang tahun 2017 terjadi PHK dimana-mana. Data KSPI menyebutkan, lebih dari 50 ribu orang pekerja kehilangan pekerjaan.

Tahun 2017 banyak PHK yang terjadi di industri ritel, seperti penutupan 7-Eleven. KSPI juga memprediksi PHK akan terjadi Hypermart, Ramayana, Hero, Giant, Tiptop, dan beberapa industri yang lainnya dengan cara menutup beberapa gerai di satu daerah tapi dipindahkan ke daerah lain hanya dibentuk satu gerai.

Selain itu, industri pertambangan dan perminyakan serta farmasi juga terjadi PHK besar-besaran. Kasus yang mencuat adalah PHK yang terjadi di PT Freeport Indonesia dan PT Smelting.

Sebelumnya, pada akhir tahun 2015 juga terjadi PHK besar-besaran yang menimpa buruh sektor tekstil dan garmen. Dimana puluhan ribu buruh kehilangan pekerjaan. KSPI mencatat ini gelombang PHK jilid pertama.

Gelombang kedua terjadi pada kurun waktu Januari hingga April 2016, berdampak terhadap industri elektroinik dan otomotif. Di industri elektronik, PHK terjadi di PT Tosiha, PT Panasonik, PT Philips, PT Shamoin, PT DMC dan PT. Ohsung. Pengurangan kayawan di industri otomotif terjadi pada industri sepeda motor dan roda empat serta turunannya, seperti PT Yamaha, PT Astra Honda Motor, PT Hino, PT AWP, PT Aishin,PT Mushashi, PT Sunstar.

PHK gelombang satu hingga tiga, penyebabnya adalah daya beli yang menurun akibat upah murah melalui penerapan PP 79/2015. Hal ini menjadi fakta bahwa kebijakan ekonomi tidak bisa mengangkat daya beli, tetapi hanya membuka ruang kemudahan untuk berinvestasi. Karena tidak diiringi dengan kebijakan peningkatan daya beli, maka yang terjadi adalah penurunan konsumsi,. Itulah yang menyebankan terjadinya PHK besar-besaran pada sektor ritel sepanjang tahun 2017.

Ketiga, ini yang ironis, tenaga kerja asing (TKA) unskill merajalela. Ini ironis. Disaat daya beli turun, gelombang PHK terjadi dimana-mana, TKA seperti diberi karpet merah untuk bekerja di negeri ini.

Akibatnya para pekerja Indonesia seperti tersisihkan. Lapangan pekerjaan yang semestinya bisa menyerap tenaga kerja, tidak terjadi. Tentu saja, hal ini menjadi keprihatinan tersendiri bagi kaum buruh Indonesia.

Keempat, KSPI mencatat pada tahun 2017 harga-harga melambung tinggi akibat pemerintah menyerahkan harga-harga pada mekanisme pasar.

Seharusnya pemerintah memberikan subsidi terhadap kebutuhan dasar masyarakat. Bukannya menyerahkan pada mekanisme pasar.

Barang-barang yang naik adalah harga gas 3 Kg, kenaikan harga tarif dasar listrik, hingga sistem subsidi harga premiun ke pertalite.

Mayoritas buruh adalah pengguna sepeda motor. Karena premium langka, akibatnya buruh beralih ke pertalite. Hal ini menyebabkan pengeluaran buruh untuk membeli BBM semakin tinggi.

Kelima, KSPI menilai Tax amnesty ternyata mengalami kegagalan. Hal ini terbukti dengan target penerimaan pajak yang tidak terpenuhi. Bahkan hutang pemerintah makin menggunung.

Akibat pengelolaan pajak yang tidak tepat, akibatnya pemerintah tidak cukup memiliki uang untuk memberikan jaminan kesehatan, pendidikan, perumahan, dan sebagainya. Bahkan banyak dilakukan pencabutan subsidi, yang itu merugikan rakyat kecil.

Keenam, isu kebebasan berserikat juga makin memburuk. Kasus union busting masih sering terjadi. Hal ini diperparah dengan lahirnya Perppu Omas yang membuka ruang bagi pemerintah untuk membubarkan Ormas tanpa proses pengadilan. Pemerintah dinilai makin otoriter.

Selain itu, kriminalisasi juga masih terjadi. Terbaru menimpa Ketua Umum dan Sekjend SP Danamon.

Buruh menilai intinya pemerintah gagal dalam isu ketenagakerjaan. Oleh karena itu buruh berpendapat sebaiknya Menteri Ketenagakerjaan mundur. Daripada menyanyikan lagu bento di acaranya mensesneg, sebaiknya Pak Hanif membuat grup band daripada menjadi Menaker.