Berserikat: Jalan Panjang Menuju Martabat Kelas Pekerja, Bukan Sekadar Mimpi Kesejahteraan

Berserikat: Jalan Panjang Menuju Martabat Kelas Pekerja, Bukan Sekadar Mimpi Kesejahteraan

Purwakarta, KPonline-Dalam riuhnya perdebatan seputar isu kesejahteraan buruh, sering kali esensi mendasar dari gerakan serikat pekerja tergerus oleh narasi sempit yang semata-mata mengejar upah layak atau jaminan sosial. Padahal, hakikat berserikat jauh lebih dalam dan luhur dari sekadar persoalan angka dan fasilitas. Ia adalah medan perjuangan untuk meneguhkan martabat kelas pekerja, sebagai sebuah upaya kolektif untuk mengangkat harkat manusia yang selama ini diposisikan sekadar sebagai “alat produksi”.

Berserikat adalah bentuk perlawanan terhadap sistem yang kerap melupakan bahwa pekerja adalah subjek utama dari perputaran roda ekonomi. Lebih dari sekadar instrumen kerja, buruh adalah entitas yang memiliki hak untuk didengar, dihargai, dan diperlakukan secara manusiawi. Dalam serikat, suara-suara yang selama ini tersekat menemukan ruang untuk tumbuh, menyatu, dan menjadi kekuatan yang tak bisa diabaikan.

Bacaan Lainnya

Kelas pekerja selama ini terjebak dalam pusaran relasi kuasa yang timpang. Kebijakan yang menyangkut nasib jutaan buruh sering kali ditentukan tanpa melibatkan mereka yang akan paling terdampak. Di sinilah pentingnya serikat, dimana bukan hanya sebagai wadah advokasi, tapi sebagai instrumen legitimasi politik dan sosial bahwa buruh bukan warga kelas dua. Bahwa mereka punya hak untuk menentukan masa depannya sendiri.

Serikat pekerja yang kuat adalah pilar penting dalam demokrasi yang sehat. Di negara-negara dengan sistem ketenagakerjaan yang adil, kita bisa menyaksikan bagaimana kekuatan buruh yang terorganisir mampu mendorong kebijakan yang berpihak kepada kemanusiaan. Mereka bukan pengganggu stabilitas, melainkan penjaga keadilan sosial.

Namun, tantangan yang dihadapi gerakan serikat pekerja di Indonesia tidaklah ringan. Stigma, represi, hingga kooptasi politik menjadi batu sandungan yang tak henti-hentinya menghadang. Di tengah gempuran narasi “efisiensi” dan “pertumbuhan ekonomi”, suara buruh kerap dianggap penghalang kemajuan. Padahal, apa arti kemajuan jika dicapai di atas penderitaan?

Maka, perjuangan berserikat harus dilihat sebagai perjuangan untuk merestorasi nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan. Ini bukan sekadar tentang upah minimum atau tunjangan hari raya. Ini tentang menyatakan bahwa kelas pekerja layak hidup dengan martabat, memiliki kendali atas kehidupan mereka, dan berpartisipasi penuh dalam proses-proses demokrasi.

Serikat bukan sekadar alat tuntutan, ia adalah rumah pembelajaran politik, ekonomi, dan solidaritas. Di dalamnya, tumbuh kesadaran kolektif bahwa perubahan tidak akan datang dari belas kasihan, tetapi dari kekuatan yang terorganisir dan bersatu.

Kini, tugas kita bersama bukan hanya memperjuangkan kesejahteraan, tapi juga menegaskan bahwa kelas pekerja bukan objek pasif dalam panggung ekonomi. Mereka adalah pilar bangsa. Dan martabat mereka, adalah harga mati.

Pos terkait