10 Tahun Aksi Kamisan, Masih Jauh Dari Keadilan

Jakarta, KPonline – Teman saya, Budi Wardoyo menulis dalam status media sosialnya. Barangkali dia ingin mengatakan, bahwa salah satu aktivis yang hilang adalah seoarang aktivis buruh, dari Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI). Semacam pengingat, bahwa masalah HAM adalah permasalahan kita semua. Sudah seharusnya bagi semua elemen gerakan rakyat memberikan perhatian dan sekaligus dukungan terhadap aksi yang sudah berlangsung 10 tahun ini.

10 Tahun Aksi Kamisan

Herman Hendrawan

“.. Herman nggak bisa pulang karena masih banyak agenda. Herman sudah memilih untuk hidup di gerakan. Negara ini butuh putra-putrinya untuk menyelematkannya dari krisis ekonomi-politik yang parah. Herman siap menjadi barisan pelopor guna mendorong bangsa ini seperti yang dicita-citakan. Maaf kalau mengecewakan harapan ayah dan ibu. Herman minta keluarga di rumah memaklumi pilihan hidup Herman…” (Surabaya, Maret 1996).

TTL : Pangkal Pinang, 29 Mei 1971

Alamamater : FISIP Universitas Airlangga, Angkatan 1990.

Organisasi : PPBI (Pusat Perjuangan Buruh Indonesia), SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi), Komite Nasional Pemuda untuk Demokrasi (KNPD),.Ketua PRD (Partai Rakyat Demokratik) Jawa Timur.

Herman diduga diculik pada tanggal 12 Maret 1998 sekitar siang hari setelah menghadiri konferensi pers KNPD di kantor YLBHI, Jl Diponegoro No. 74 Jakarta Pusat.

Menurut kesaksian Pius Lustrilanang, Herman diculik di Megaria Cikini-Jakarta Pusat. Tanggal 13 Maret 1998, Herman dikeluarkan dari sel bersama Yani Afri dan Soni, namun tidak ada yang tahu mereka dibawa kemana.

Kamisan sebagai bentuk perlawanan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia dalam melawan lupa telah berlangsung selama 10 tahun sejak aksi pertama di depan Istana Merdeka pada 18 Januari 2007.

10 Tahun Aksi Kamisan

Dalam memperingati 10 tahun aksi Kamisan, para aktivis dan korban pelanggaran HAM kembali mendatangi Istana Merdeka.

Tepat di hari ini Kamis, tanggal 19 November 2017.

Dalam aksinya, mereka tetap tampil khas, dengan menggunakan pakaian hitam serta payung hitam, di depan Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.

Meski selama ini belum ada satu pun kasus pelanggaran HAM masa lalu yang dituntaskan secara hukum, namun kepedulian masyarakat terhadap kasus pelanggaran HAM masa lalu dirasakan terus meningkat.

“Kami didukung anak-anak muda di berbagai daerah, baik di Bandung, Pekanbaru, Medan, Malang, Surabaya, Karawang, Banten, Batam, Samarinda, Yogyakarya,” ujar Maria Katarina Sumarsih (65), penggagas Kamisan, saat ditemui Kompas.com di tengah aksinya, Kamis.

“Di sana sekarang sudah ada Kamisan, ” ucap ibu dari BR Norma Irmawan alias Wawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat peristiwa Semanggi 1 pada 1998 tersebut.

Dalam aksinya, para aktivis HAM, korban dan keluarga korban ini menuntut Presiden Joko Widodountuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
Sejumlah kasus itu seperti kerusuhan Mei 1998, tragedi penembakan Trisaksi, tragedi Semanggi 1 dan Semanggi 2, kasus penghilangan aktivis demokrasi, peristiwa Talang Sari Lampung, peristiwa Tanjung Priok 1984, hingga tragedi 1965.
Istri mendiang pejuang HAM Indonesia Munir, Suciwati, juga hadir dalam aksi Kamisan ini. Suciwati ikut aksi bersama puluhan orang lainnya.

Kamisan, aksi diam yang digelar anggota keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di depan Istana Merdeka, akan berusia 10 tahun pada besok, Rabu 18 Januari 2017.

Sejak Kamisan pertama pada Kamis 18 Januari 2007 hingga Kamis pekan lalu (12/1), aksi bungkam dan mematung di depan istana menggunakan payung hitam sebagai simbol duka, perlindungan dan keteguhan hati itu sudah digelar sebayak 476 kali.

Aksi tersebut akan terus digelar para anggota keluarga korban bersama Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) dan Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) sebagai bentuk perjuangan mengungkap kebenaran, mencari keadilan, serta melawan lupa.

Dalam setiap aksi Kamisan, ada harapan dan keteguhan hati para keluarga dan relawan agar pemerintah menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM seperti Peristiwa 1965, Tanjung Priok, Munir dan Tragedi Semanggi I dan II.

Maria Katarina Sumarsih, ibunda Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan), mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta yang meninggal dalam peristiwa Semanggi I, mengatakan aksi diamnya di depan Istana tidak akan sia-sia karena ia bersama yang lain sedang memperjuangkan tegaknya supremasi hukum.

Sumarsih mengatakan aksi diam itu ibarat “bersemi di musim kering” yang mengartikan Kamisan akan terus ada selama pemerintah tidak memperhatikan proses penegakan hukum, terutama kasus pelanggaran HAM.

“Kalau lelah iya, tapi merasa sia-sia itu tidak karena yang kami perjuangkan selama ini adalah memperjuangkan kemanusiaan yang saya harap tidak menimpa pada diri saya dan jangan sampai menimpa orang lain,” kata Sumarsih di Jakarta.

Sumarsih mengaku ada rasa pesimistis kasus yang menewaskan anaknya akan diungkap pada pemerintahaan kali ini. Kendati demikian, ia akan terus melakukan aksi Kamisan sebagai bentuk protes dalam keheningan.

“Kami diam bukan berarti mengalah tapi diam dalam arti ada tuntutan yang kami sampaikan…Saya akan tetap melakukan perjuangan ini,” tutur wanita 65 tahun itu.

Sumarsih mengatakan sosok Wawan akan terus hidup di dalam hatinya dan menjadi semangat untuk terus berjuang kendati sehari-hari ia merasakan kerinduan yang mendalam.

“Saya tidak pernah merasa ditinggal Wawan, dia selalu ada di dalam hati saya. Wawan selalu ada bersama kami sekeluarga. Saya merasa makam Wawan adalah taman hati kami sekeluarga,” kata Sumarsih kemudian tersenyum.

Refleksi 10 Tahun

Haris Azhar, Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), mengatakan, pada 10 tahun Kamisan akan digelar refleksi terkait potret penegakan hukum dan HAM selama 10 tahun belakangan hingga di era pemerintahan Presiden Joko Widodo.

“Itu ada pada 10 tahun Kamisan nanti,” kata Haris Azhar usai mengantar kartu pos bergambar aktivis hak asasi manusia Munir kepada Presiden Joko Widodo, di Kementerian Sekretariat Negara, Selasa.

Feri Kusuma, Kepala Divisi Pemantauan Impunitas sekaligus koordinator Peringatan 10 Tahun Kamisan menjelaskan pada Rabu 18 Januari 2017 akan diperdengarkan berbagai persepsi berkaitan penegakan hukum dan HAM dari sudut pandang pemerintah, korban, aktivis, dan akademisi di Gedung Komisi Yudisial.

Sedangkan pada Kamis 19 Januari 2017 akan digelar Kamisan seperti biasa di depan Istana Merdeka namun akan diramaikan dengan orasi tokoh dan seniman HAM.

“19 Januari di tempat biasa, akan ada refleksi dari para tokoh HAM ada Frans Magnis, Komaruddin Hidayat dan beberapa tokoh lainnya,” kata Feri.

Melalui aksi itu diharapkan muncul tuntutan dan desakan agar pemerintah segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM di masa lalu.

Menanti Presiden

Pada Peringatan 10 Tahun Kamisan, para keluarga korban dan aktivis juga akan menyampaikan sikap menolak pembentukan Dewan Kerukunan Nasional yang disiapkan pemerintah untuk menengahi konflik di masyarakat dengan cara-cara non-justisia.

“Setelah tradisi diam 20 menit pada Kamisan, ada orasi dari teman yang hadir, salah satunya meminta agar pemerintah membatalkan Dewan Kerukunan Nasional,” kata Feri.

Sumarsih menyatakan kecewa saat mendengar kabar bahwa Presiden Joko Widodo menyetujui dibentuknya Dewan Kerukunan Nasional. Menurut ibu mendiang Wawan itu, Indonesia sebagai negara hukum semestinya bisa menyelesaikan masalah pelanggaran HAM melalui meja hijau bukan secara non-justisia.

“Saya sangat pesimis ketika Pak Presiden menyetujui pembentukan Dewan Kerukunan Nasional,” kata dia.

“Siapapun tidak rela anaknya dibunuh sehingga yang saya perjuangkan adalah, dia yang memebak Wawan dan memerintahkan menembak, ayo duduk bersama dalam satu meja pengadilan,” tutur Sumarsih.

Dalam setiap aksi Kamisan ada harapan agar perjuangan para keluarga korban bisa didengar dan disikapi pemerintah untuk mengambil tindakan.

Feri berharap kehadiran Presiden Joko Widodo atau perwakilan pemerintah pada aksi Peringatan 10 Tahun Kamisan guna mendengar secara langsung tuntutan yang terus digelorakan para keluarga korban selama bertahun-tahun.

“Kami harap Presiden Jokowi hadir dalam aksi Kamisan. Kami berharap beliau datang langsung dan mendengar tuntutan masyarakat dan korban,” tutur Feri.

Selain itu, Sumarsih, juga masih mengharapkan Presiden Joko Widodo mau menuntaskan janjinya mengungkap dan menyesailak kasus pelanggaran HAM di masa lalu, termasuk Tragedi Semanggi dan Trisakti.

“Semoga presiden menunaikan janji sucinya, janji politiknya….untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk Semanggi dan Trisakti,” pungkas Sumarsih.

Sumber: antaranews.com