Jangan Sandera Hak dan Kepentingan Buruh Perempuan

Beberapa fakta di lapangan menunjukkan bahwa hak-hak dan kepentingan buruh perempuan telah tersandera oleh aturan hukum perburuhan yang tidak sungguh-sungguh memberikan perlindungan terhadap hak buruh, ditambah lagi (dan lagi-lagi) pengawasan perburuhan yang lemah untuk menindak pengusaha nakal.

Berikut ini adalah beberapa catatan singkat permasalahan hak dan kepentingan buruh perempuan di tempat kerja;

Bacaan Lainnya

Buruh Perempuan dan Sistem Kerja Kontrak dan Outsourcing

Buruh perempuan adalah “korban” pertama  dalam mengguritanya sistem kerja kontrak danoutsourcing. Penyerapan buruh-buruh tak terampil perempuan ke dalam pasar tenaga kerja (yang dikenal dengan istilah feminisation of work) memang merupakan program yang “dirancang” untuk penciptaan kondisi kerja yang fleksibel. Fleksibilitas dicapai dengan penyerapan sebanyak-banyaknya buruh perempuan ke pasar kerja untuk melakukan kerja-kerja yang sederhana, rutin-manual dan relatif tidak terampil. Perempuan memang didorong untuk masuk dunia kerja agar terjadi fleksibilitas lebih jauh, maka masuknya perempuan ke pasar kerja itu adalah melalui sistem kerja kontrak dan terutama outsourcing. Dengan sistem ini, “buruh-buruh tak terampil perempuan” didorong untuk masuk pasar kerja dengan melakukan pekerjaan sederhana dan rutin-manual agar dapat dibayar murah. Jadi jelas bahwa sistem kerja kontrak dan outsourcing merupakan upaya pemerintah untuk memasukkan “buruh=buruh tak terampil perempuan” ke pasar kerja, atas nama “penciptaan lapangan kerja” sehingga ongkos produksi pengusaha bisa menjadi murah.

Berikut ini adalah bentuk-bentuk pengabaian hak-hak buruh perempuan, terutamanya buruh perempuan yang bekerja dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing;

A. Pengabaian Hak Reproduksi dan Maternitas 

 Hak atas cuti haid diatur dalam Pasal 81 jo Pasal 93 ayat 2 huruf b Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; Pasal 81 menyebutkan bahwa (1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama. Lebih jauh lagi undang-undang menyebutkan bahwa pengusaha wajib membayar upah buruh apabila buruh perempuan yang sakit pada haid pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan. Akan tetapi di tempat kerja cuti haid seringkali disimpangi dan buruh perempuan menghadapi kesulitan untuk mendapatkan cuti haid.

Penyimpangan-penyimpangan yang  terjadi adalah: (1) Pengusaha memberikan hak cuti haid tetapi buruh perempuan harus membuktikannya dengan surat dokter; (2) Di perusahaan tertentu, seorang buruh perempuan yang haid harus di periksa terlebih dahulu (harus membuktikan bahwa dirinya sedang haid); (3) Pengusaha karena kepentingan produksinya tidak membebaskan dari kewajiban bekerja seluruh buruh perempuan (buruh perempuan tidak boleh menggunakan hak istirahat haid) tetapi langsung mengganti dengan upah sebesar 2 (dua) hari upah dari UMP dibagi 30 hari; (4) Pengusaha tidak membebaskan dari kewajiban bekerja tetapi hanya menyuruh pekerjanya yang merasa sakit sewaktu haid istirahat sebentar di ruangan poliklinik perusahaan; (5) Pekerja dapat menggunakan hak istirahat haid dengan syarat sudah 1 bulan dari istirahat bulan yang lalu, tidak boleh berurutan dengan hari libur (Semisal hari Minggu adalah hari libur, maka cuti haid tidak diperbolehkan diambil di hari Jum’at dan Sabtu) dan harus memberitahukan kepada atasan jauh hari sebelumnya; dan (6) Pengusaha memotong upah, insentif, mengaitkan ketidakhadiran dengan penilaian kerja serta premi-premi lainnya;

Buruh perempuan dengan status kerja sebagai buruh kontrak dan outsourcing menerima banyak diskriminasi terkait perlindungan hak reproduksi dan maternitas. Pada banyak kasus, buruh perempuan tidak diperbolehkan untuk menikah apalagi hamil atau melahirkan selama masa kontrak. Apabila hal tersebut dilanggar, perusahaan dengan mudahnya memutus kontrak kerja yang bersangkutan.

14590363_833872833416107_2754459538218072700_n

 

B. Pojok Laktasi

Pojok atau ruang laktasi bagi buruh perempuan sangat penting sehingga buruh perempuan mempunyai kesempatan untuk memberikan atau memerah ASI nya. Berikut ini beberapa aturan hukum terkait Pojok Laktasi;

1. Konvensi ILO No. 183 tahun 2000 pasal 10 mengenai Ibu Menyusui  (Berapa lama istirahat menyusui atau pengurangan jam    kerja harian ini akan diberikan, banyaknya dalam sehari, lamanya tiap-tiap  istirahat  dan cara-cara pengurangan jam kerja harian ini diatur berdasarkan hukum dan kebiasan nasional. Istirahat dan pengurangan jam kerja harian ini harus dihitung sebagai jam kerja dan dibayar)

2.  Pasal 83 Undang – Undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan

3. Pasal 86 Undang-undang No.13/2003 tentang ketenagakerjaan

4. Pasal 128 Undang – Undang No. 36/2009 tentang Kesehata

5. Pasal 2 Peraturan Bersama Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Menteri Kesehatan No. 48/MEN.PP/XII/2008, PER.27/MEN/XII/2008 dan 1177/MENKES/ PB/XII/2008 tahun 2008 tentang Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu Selama Waktu Kerja di Tempat Kerja.

6. Pasal 49 ayat 2 Undang-undang No. 49/1999 tentang Hak Asasi ManusiaWanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita,“perlindungan khusus terhadap fungsi reproduksi” yang dimaksud disini adalah pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan haid, hamil, melahirkan dan pemberian kesempatan untuk menyusui anak.

Perusahaan tempat bekerja harus  dapat menempatkan pojok ASI atau ruang laktasi pada salah satu ruangan bekerja dan menyediakan kesempatan serta fasilitas kepada ibu bekerja untuk memberikan/memerah ASI selama waktu kerja dan menyimpan ASI perah tersebut. Ruang laktasi yang disediakan juga harus menunjang kebersihan, kenyamanan dan keamanan bagi ibu. Penyediaan alat penunjang seperti tisu, hand sanitizer sampai dengan freezerpenyimpanan botol ASI patut dipertimbangkan. Untuk mendukung kenyamanan, ruang laktasi dapat dilengkapi dengan Air Conditioner, dan kursi tempat ibu duduk memerah ASI.

Sayangnya, meskipun  telah banyak peraturan perundangan yang mengatur mengenai ruang laktasi, perusahaan masih enggan untuk menyediakan pojok laktasi. Para buruh perempuan pada akhirnya harus memerah ASI nya di toilet yang nyata-nyata kurang bersih.

C. Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) bagi buruh perempuan seringkali diabaikan oleh perusahaan dan serikat buruh yang rata-rata minim keterwakilan perempuan. Kasus-kasus gangguan kesehatan yang dialami buruh perempuan tidak dapat terdokumentasi dengan baik dan minim advokasi, apalagi ditangani oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan. Kasus-kasus kesehatan dan keselamatan kerja yang sering dialami oleh buruh perempuan adalah sebagai berikut:

Anggota Tubuh Penyakit Penyebab
Kepala dan Hidung Sakit Kepala, Vertigo, Stress, sesak napas Menghirup bahan kimia, beban kerja yang tinggi berdasarkan target, menghirup debu
Mata Iritasi, mata merah Radiasi komputer, paparan bahan kimia,
Telinga Kehilangan pendengaran perlahan-lahan (pendengaran berkurang) suara bising di tempat kerja, alat pelindung diri (APD) tidak memadai , ruangan kerja yang sempit
Rahim sakit saat menstruasi Stress, tidak mudah mendapatkan cuti haid, bekerja dalam posisi berdiri selama 7-8 Jam
Ginjal Gangguan kemih Kurang minum karena letak air minum terlalu jauh dari tempat kerja, air kurang bersih
Tangan dan Kaki serta rambut Jari terpotong/tergores, kaki terjepit, rambut masuk ke dalam mesin penggunaan mesin yang tidak aman
Kulit Gatal-gatal dan suhu panas terpapar bahan kimia, suhu ruangan yang panas

Dalam sebuah kasus yang terjadi akhir tahun 2012, di sebuah pabrik plastik di daerah Serang, Banten terjadi kasus kematian bayi dari buruh perempuan yang bekerja di perusahaan tersebut. Diduga, ia kelelahan bekerja karena harus berdiri secara terus menerus sepanjang jam kerja. Kasus-kasus seperti ini tidak teradvokasi dengan baik dan luput dari Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan. Kasus lainnya, sebuah pabrik kosmetika untuk bayi di bilangan Tangerang, Banten, dalam kontrak kerjanya menyebutkan bahwa selama kontrak berlangsung, buruh dilarang menikah ataupun hamil. Meskipun pada akhirnya berkat perjuangan serikat pekerja tidak ada lagi buruh kontrak di perusahaan tersebut, akan tetapi perjanjian diskriminatif tersebut tidak pernah dibatalkan oleh pengusaha.

1_1-2

D. Diskriminasi terkait Jaminan Kesehatan dan Tunjangan Keluarga

Diskriminasi terhadap buruh perempuan juga meliputi jaminan kesehatan dan tunjangan keluarga. Pada banyak kasus, buruh perempuan dianggap lajang (walaupun sudah menikah dan memiliki anak-anak), sehingga jaminan kesehatan dan tunjangan keluarga hanya untuk dirinya sendiri dan tidak berlaku untuk suami dan anak-anaknya. Kondisi ini berbeda pada buruh laki-laki yang mendapatkan jaminan kesehatan dan tunjangan keluarga untuk istri dan anak-anaknya. Adalah Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja RI Nomor SE-04/MEN/1988 Tentang Pelaksanaan Larangan Diskriminasi Pekerja Wanita menyebutkan sebagai berikut; disebutkan dalam Point 2,

2.   Apabila dalam KKB atau peraturan perusahaan diatur mengenai pemeliharaan kesehatan pekerja dan keluarganya agar hak pekerja wanita disamakan dengan hak pekerja laki-laki kecuali apabila suami pekerja wanita telah memperoleh pemeliharaan kesehatan untuk dirinya maupun keluarganya baik dari perusahaan yang sama maupun dari perusahaan/instansi yang berbeda:

Misal: Perusahaan memberikan jaminan pemeliharaan kesehatan untuk pekerja beserta keluarganya (seorang istri/suami + orang anaknya). Untuk pekerja wanita dianggap berstatus tidak menikah sehingga jaminan kesehatan hanya berlaku untuk dirinya saja, kecuali dapat dibuktikan dengan surat keterangan resmi bahwa di tempat suami bekerja tidak mendapatkan jaminan kesehatan untuk dirinya dan keluarganya dan pekerja wanita tersebut berstatus janda dan anak-anaknya menjadi tanggungannya.

Surat Edaran menyebutkan bahwa pengurus serikat buruh masih bisa berupaya agar para buruh perempuan mendapatkan hak jaminan kesehatan yang sama, apabila diupayakan surat keterangan resmi yang misalnya menyatakan suami tidak mendapatkan jaminan kesehatan (untuk istri dan anak-anak) dan apabila buruh perempuan tersebut adalah orang tua tunggal dengan anak-anak. Surat Edaran ini masih kental “diskriminasi ” nya, masih dalam pandangan bahwa perempuan dikatakan “bukan pencari nafkah utama” sehingga upah dan perlindungan nya juga bukan yang utama.

(Tulisan ini berdasarkan kontribusi dari Ibu Ngatiyem, Ibu Lilis Mahmudah dan disarikan oleh Indah Saptorini)

Tulisan ini pernah diterbitkan di industrialindah.com, untuk kepentingan kampanye hak-hak pekerja perempuan, KPonline menerbitkan ulang.

Pos terkait