Wahai Para Laki-Laki, Tumbuhkan “Budaya Sehat” Dalam Serikat

Serunya oudbound leadership Perempuan FSPMI Batam. Tidak hanya seru-seruan, melalui kegiatan seperti ini mereka juga mendapatkan ilmu.

Jakarta, KPonline – Keluhan ini sudah saya dengar sejak belasan tahun lalu. Bahkan ketika saya belum lama bergabung dengan serikat pekerja. Keluhannya adalah, buruh perempuan yang semasa masih lajang aktif dalam serikat mendadak vakum ketika sudah menikah.

“Capek-capek mendidik kader, ketika sudah jadi dilarang suami aktif dalam kegiatan serikat pekerja,” demikian keluhan seorang aktivis senior yang pernah saya dengar.

Dari pernyataan ini, saya berkesimpulan bahwa laki-laki adalah faktor penghambat para perempuan aktif dalam serikat. Kesimpulan saya, tentu saja, boleh dibantah.

Bukankah mayoritas yang aktif dalam serikat adalah laki-laki? Semestinya keluhan ini tidak terjadi. Kalau pun masih, kampanye mengenai pentingnya  perempuan berada di garis depan perjuangan harus digalakkan.

Bisa jadi, memang, tidak ada larangan secara langsung. Tetapi beban ganda perempuan yang juga harus menyelesaikan pekerjaan domestik rumah tangga membuat ia kesulitan untuk aktif dalam kegiatan serikat. Sebagai contoh, ketika hari minggu ada kegiatan konsolidasi, ia harus memasak, mencuci, hingga ngurus anak. Ia sulit pergi, karena suami tidak membantu.

Beberapa kawan menyiasati situasi ini, misalnya, dengan mengajak serta anaknya dalam kegiatan serikat pekerja.

Hanya menyalahkan suami yang melarang istrinya aktif dalam kegiatan serikat tidak cukup. Bukan karena saya bagian dari para suami. Tetapi yang juga harus kita periksa adalah iklim positif dalam serikat. Saya pernah mendapat keluhan buruh perempuan yang kapok hadir dalam konsolidasi.

“Habisnya sering digodain,” demikian ia beralasan.

Kalimat-kalimat seksis bukan saja merendahkan martabat perempuan. Tetapi juga bisa membunuh organisasi. Bagaimana organisasi mau tumbuh dan berkembang kalau kader perempuannya tidak nyaman lagi berpatisipasi dalam setiap kegiatan serikat pekerja?

Kebiasaan lain adalah terkait dengan manajemen waktu dalam rapat-rapat serikat. Tak jarang sebuah pertemuan menjadi tidak efektif karena kebanyakan ngobrol ngalor-ngidul yang nggak jelas. Padahal diskusi seriusnya tidak lebih dari satu jam.

Efektif dalam waktu menjadi penting. Agar, misalnya, kader perempuan yang juga masih mempunyai kesibukan di rumah bisa cepat pulang. Tidak ada yang terbengkalai.

Kalau kita percaya keterlibatan perempuan dalam serikat penting, maka “budaya sehat” dalam organisasi harus ditumbuhkan.