Tinjauan Yuridis Mengenai Penonaktifan BPJS Kesehatan Karena PHK

Jakarta, KPonline – Bahwa tinjauan yuridis mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK) berdasarkan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan perlu diuraikan secara mendalam. Hal ini dalam rangka memberikan pemahaman kepada semua stake holder/pihak yang terkait dengan jaminan kesehatan nasional (JKN) baik itu sebagai peserta maupun penyelenggara jaminan kesehatan nasional dalam hal ini pihak BPJS Kesehatan.

Sehingga dengan adanya pemahaman bersama mengenai PHK maka pekerja/buruh yang terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan yang tergolong dalam pekerja penerima upah (PPU) memiliki hak khusus berupa hak untuk tetap mendapatkan pelayanan jaminan kesehatan selama 6 bulan sejak mengalami PHK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang No 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU No. 40/2004 Tentang SJSN),

Namun sangat disayangkan Undang-Undang SJSN beserta aturan turunannya tersebut tidak mengatur atau menjelaskan secara specifik seperti apa kriteria pemutusan hubungan kerja yang dimaksud, sehingga hak 6 (enam) bulan tersebut tetap berlaku untuk dapat dinikmati oleh para pekerja/buruh yang menjadi peserta BPJS Kesehatan (PPU), karena ada beberapa kasus pekerja/buruh yang mengalami PHK tidak mendapatkan haknya sebagaimana telah diatur dalam Pasal 21 UU No.40/2004 Tentang SJSN.

Juga ada beberapa kasus Pengusaha melakukan PHK sepihak sehingga mengakibatkan penonaktipan kepesertaan secara sepihak sehingga pelayanan BPJS Kesehatan tidak didapatkan oleh pekerja/buruh yang bersangkutan (PPU), maka atas dasar itulah, Kami dari pihak Jamkeswatch berupaya untuk mengajak duduk bersama berdiskusi terkait hal ini, guna mendapatkan solusi yang terbaik bagi semua pihak, sehingga hak yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 21 UU No. 40/2004 Tentang SJSN tersebut dan hak untuk tetap mendapatkan pelayanan BPJS Kesehatan selama proses PHK dapat terealisasi dengan baik dan tepat guna.

Selanjutnya, tinjauan yuridis ini secara sitematis akan diuraikan melalui tahapan dibawah ini yakni sebagai berikut :

I. Pengertian/Istilah
II. Ruang Lingkup Terjadinya PHK
III. Hal-Hal Yang Dilarang Untuk Melakukan PHK
IV. Prosedur PHK
V. Hak dan Kewajiban Pengusaha dan Pekerja/Buruh Selama Proses PHK
VI. PHK Tidak Memerlukan Penetapan dari LPPHI
VII. PHK Memperoleh Penetapan dari LPPHI
VIII. PHK Memperoleh Penetapan Pengadilan Selain PHI
IX. Kesimpulan

I. Pengertian atau Istilah

Bahwa sebelum terjadi pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh, sebelumnya diawali adanya hubungan kerja yang diikat dalam perjanjian kerja, maka perlu diketahui terlebih dahulu sebelum kita melangkah lebih jauh mengenai apa itu pengertian Perjanjian Kerja, Hubungan Kerja dan Pemutusan Hubungan Kerja dalam perspektif Undang-Undang Ketenagakerjaan, dalam Pasal 1 angka 14, angka 15 dan angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (UU No.13/2003 Tentang Ketenagakerjaan) menerangkan bahwa : “Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan Pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak;
15. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah;
25. Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha;”

Dengan demikian berdasarkan 3 (tiga) pengertian tersebut diatas, secara kontekstual dapat dimaknai bahwa apabila pekerja/buruh mengalami pemutusan hubungan kerja maka berakhirlah perjanjian kerjanya sehingga mengakibatkan berakhir pula hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha, termasuk putusnya pekerjaan, upah dan perintah, sepanjang pemutusan hubungan kerja ini dilakukan sesuai norma-norma hukum yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku.

II. Ruang Lingkup Terjadinya PHK

Berdasarkan ketentuan Pasal 150 UU No.13/2003 Tentang Ketenagakerjaan menerangkan bahwa ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;

Bahwa ketentuan tersebut diatas jelas menunjukkan sepanjang PHK itu dilakukan sesuai dengan norma hukum tersebut diatas, maka acuan PHK tetap berdasarkan UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, meskipun didalam Pasal 21 UU No.2/2004 Tentang SJSN tidak mengatur PHK secara spesifik namun maksud dari PHK tersebut tetap mengacu pada ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut dan hal ini dipertegas pula dengan pengertian PHK dalam Pasal 1 angka 11 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan.

III. Hal-Hal Yang Dilarang Untuk Melakukan PHK

Berdasarkan ketentuan Pasal 153 ayat (1) UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:

a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

Kemudian, pasal 153 ayat (2) UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan menerangkan bahwa Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.

IV. Prosedur PHK

Berdasarkan ketentuan Pasal 151 ayat (1) UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja, kemudian dalam Pasal 151 ayat (2) menerangkan bahwa dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh;
Pasal 151 ayat (1) dan ayat (2) bermakna bahwa PHK tidak boleh dilakukan secara sepihak oleh Pengusaha, melainkan harus melalui prosedur PHK yakni sebagai berikut :

1. Adanya segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja, dalam konteks lain adanya upaya untuk menghindari PHK maksud dari upaya itu adalah kegiatan-kegiatan yang positif yang pada akhirnya dapat menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja antara lain pengaturan waktu kerja, penghematan, pembenahan metode kerja, dan memberikan pembinaan kepada pekerja/buruh (Penjelasan Pasal 151 ayat (1) UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan), dan dipertegas pula sebagaimana disebutkan dalam SE Menaker No. 643 Tahun 2005 Tentang Pencegahan PHK dan SE Menaker No. 907 Tahun 2004 Tentang Pencegahan PHK Massal yakni berupa upaya yang dilakukan untuk menghindari PHK adalah:

a. melakukan efesiensi biaya produksi;
b. mengurangi upah dan fasilitas pekerja/buruh ditingkat manajerial atau direktur;
c. mengurangi waktu kerja lembur;
d. mengurangi shift;
e. mengurangi jam kerja;
f. mengurangi hari kerja;
g. tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja/buruh yang sudah habis masa kontraknya;
h. meliburkan atau merumahkan untuk sementara waktu pekerja/buruh secara bergantian;
i. menawarkan kesempatan pensiun dini bagi pekerja/buruh yang sudah memenuhi syarat;

2. Maksud Pengusaha untuk melakukan PHK wajib terlebih dahulu dirundingkan dengan serikat pekerja/serikat buruh atau pekerja/buruh yang bersangkutan (perundingan bipartit), kemudian perundingan bipartit ini berpedoman pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per.31/MEN/XII/2008 Tentang Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Perundingan Bipartit, selanjutnya apabila perundingan bipartit tersebut gagal atau tidak mencapai kesepakatan/persetujuan, maka pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, kecuali kategori PHK yang tidak memerlukan penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154, berkenaan pidana dalam Pasal 158 dan berkenaan pula dengan perusahaan pailit dalam Pasal 165 UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan;

Bahwa adapun yang dimaksud dengan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (LPPHI) tersebut adalah mediasi, konsiliasi, arbitrase dan pengadilan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam Ketentuan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI), kemudian telah diatur dalam UU PPHI tersebut bahwa syarat proses LPPHI dapat ditempuh setelah perundingan bipartit dilakukan, dan apabila dalam perundingan bipartit/mediasi/konsiliasi tersebut pengusaha dan pekerja/buruh bersepakat mengenai PHK yang dimaksud, maka kesepakatan itu dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah bagi pekerja/buruh peserta BPJS Kesehatan (PPU) yang bersangkutan untuk diserahkan kepada Pihak BPJS Kesehatan untuk memberikan haknya berupa “tetap mendapatkan pelayanan BPJS Kesehatan yang berlaku selama 6 (enam) bulan sejak mengalami PHK” (Pasal 21 UU No.40/2004 Tentang SJSN), dan dalam hal tidak tercapai kesepakatan maka PHK dinyatakan SAH setelah diputuskan melalui penetapan Pengadilah Hubungan Industrial (PHI).

V. Hak dan Kewajiban Pengusaha dan Pekerja/Buruh Selama Proses PHK

Hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh selama proses PHK berdasarkan ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya, kemudian Pasal 155 ayat (3) UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan menerangkan bahwa Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.

Dengan demikian, PHK secara sepihak tidak menggugurkan hak dan kewajiban antara pengusaha dan pekerja/buruh yang bersangkutan, dan pengusaha harus tetap melaksanakan segala kewajibannya dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh, termasuk membayarkan iuran BPJS Kesehatan, selama proses PHK belum diputuskan melalui penetapan pengadilan/LPPHI.

VI. PHK Tidak Memerlukan Penetapan dari LPPHI

Kategori PHK yang tidak memerlukan penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (LPPHI) berdasarkan Pasal 154 UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan menerangkan bahwa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal:

a. pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
b. pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiritanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjiankerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau
d. pekerja/buruh meninggal dunia.

Kemudian, untuk PHK karena pengunduran diri diterangkan dalam Pasal 162 ayat (3) UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan harus memenuhi syarat yaitu mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri, tidak terikat dalam ikatan dinas; dan tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.

VII. PHK Memperoleh Penetapan dari LPPHI

Bahwa pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan yakni sebagai berikut :

1. Pengusaha yang melakukan perbuatan melawan hukum dengan tidak mematuhi ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 153 ayat (1) UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, sehingga terjadilah PHK secara sepihak yang dilakukan oleh pengusaha terhadap pekerja/buruhnya, kemudian pekerja/buruh yang bersangkutan berkeberatan (tidak menerima) terhadap PHK sepihak tersebut sehingga melakukan upaya hukum melalui LPPHI;

2. Pengusaha melakukan PHK terhadap pekerja/buruh yang melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut, yang masing-masing berlaku selama 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (1) dan ayat (2) UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, namun pekerja tidak menerimanya kemudian melakukan upaya hukum melalui LPPHI;

3. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau sebaliknya pengusahanya tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163 UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, maka salah satu pihak dapat mengajukan upaya hukum melalui LPPHI;

4. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), kemudian kerugian perusahaan tersebut harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik atau Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, maka salah satu pihak dapat mengajukan upaya hukum melalui LPPHI;

5. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri dan kemudian Keterangan tertulis tersebut disertai dengan bukti yang sah harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk bekerja, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, maka salah satu pihak dapat mengajukan upaya hukum melalui LPPHI;

6. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, maka salah satu pihak dapat mengajukan upaya hukum melalui LPPHI;

7. Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (1) UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:

a. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukanperbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh;
e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
f. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja;

Kemudian Pasal 169 ayat (3) UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan menerangkan bahwa dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon, dan uang penghargaan masa kerja.

Dengan demikian berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, telah jelas dan nyata berkenaan dengan kategori PHK yang memerlukan penetapan LPPHI, yang kemudian apabila PHK tanpa adanya penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial (LPPHI) akan menjadi batal demi hukum, karena secara hukum PHK tersebut dianggap belum terjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (1) dan dipertegas oleh ketentuan dalam Pasal 170 UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

VIII. PHK Memperoleh Penetapan Pengadilan Selain PHI

Kategori PHK yang memperoleh penetapan pengadilan diluar pengadilan hubungan industrial (PHI) yakni yang berkenaan dengan tindakan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 dan Pasal 160 UU No.13/2003 Tentang Ketenagakerjaan Jo Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004 dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Hak Uji Materil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang prosesnya melalui peradilan umum yang akan diputuskan melalui penetapan pengadilan negeri setelah ada putusan pengadilan tersebut maka PHK terhadap pekerja/buruh yang bersangkutan baru dapat diputus oleh pengusaha, serta yang berkenaan dengan perusahaan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 UU No.13/2003 Tentang Ketenagakerjaan, yang proses penyelesaian perkara kepailitan menggunakan UU Kepailitan yang dilakukan pada Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum, setelah ada putusan pengadilan tersebut maka PHK terhadap pekerja/buruh yang bersangkutan baru dapat diputus oleh kurator.

IX. Kesimpulan

Bahwa PHK hanya dapat dilakukan secara SAH oleh Pengusaha terhadap pekerja/buruhnya sepanjang memenuhi ketentuan norma-norma hukum yang berlaku pada UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah dipaparkan pada uraian-uraian tersebut diatas, sehingga sudah sepatutnya pekerja/buruh yang menjadi peserta BPJS Kesehatan (PPU) yang mengalami PHK secara SAH tetap berhak untuk mendapatkan pelayanan BPJS Kesehatan yang berlaku selama 6 (enam) bulan sejak mengalami PHK secara SAH tersebut, kemudian apabila setelah 6 (enam) bulan belum memperoleh pekerjaan dan tidak mampu serta termasuk bagi yang mengalami cacat total tetap dan juga tidak mampu, maka iurannya dibayarkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU No. 40/2004 Tentang SJSN;

Selanjutnya, bagi pekerja/buruh sebagai peserta BPJS Kesehatan (PPU) yang mengalami PHK sepihak oleh pengusahanya, maka tidak menggugurkan kewajiban pengusaha tersebut dalam membayarkan iuran BPJS Kesehatan pekerja/buruh yang bersangkutan, bahkan tidak hanya sebatas kewajiban membayarkan iuran tersebut, melainkan juga pengusaha harus tetap melaksanakan segala kewajibannya dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh selama proses PHK belum diputuskan melalui penetapan pengadilan/LPPHI;

Dengan demikian, harapan dikemudian hari tidak akan terjadi lagi ada kasus pekerja/buruh peserta BPJS Kesehatan (PPU) tidak mendapatkan pelayanan BPJS Kesehatan karena di PHK sepihak oleh pengusahanya dan pula tidak akan terjadi lagi ada kasus PPU tidak mendapatkan haknya sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 21 UU No. 40/2004 Tentang SJSN, Satjipto Rahardjo, begawan sosiologi hukum, menyatakan bahwa “hukum tidak bisa berjalan sendiri, tidak bisa tegak dengan sendirinya setelah disahkan dan dinyatakan berlaku, tetapi harus ditegakkan dengan serius oleh pejabat yang berwenang”

Maka dalam hal ini dituntut peran yang besar bagi para pimpinan penyelenggara BPJS Kesehatan untuk berkomitmen dalam penegakan hukum dan bertindak tegas melalui tindakan nyata dengan mengimplementasikan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial, serta Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Tata Cara dan Mekanisme Kerja Pengawasan dan Pemeriksaan Atas Kepatuhan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan, demi terwujudnya JKN yang berwibawa, adil dan membawa manfaat yang luar biasa bagi kesejahteraan seluruh Rakyat Indonesia guna terwujudnya cita-cita luhur bangsa Indonesia, tidak mungkin cita-cita itu dapat diwujudkan oleh bangsa Indonesia yang sakit, yang jelas adalah “SEHAT ITU ADALAH HAK RAKYAT INDONESIA” dengan segala konsekuensinya sesuai yang diamanatkan oleh Konstitusi Negara Republik Indonesia.

Demikianlah tinjauan yuridis ini dibuat, semoga bermanfaat dan dapat menjadi bahan rujukan serta pertimbangan dalam membuat keputusan dikemudian hari, atas perhatiannya diucapkan terima kasih.

Jakarta, 2 September 2017
Deputy Sekjen Jamkeswatch Nasional.
Kiagus Hasan, S.T.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *