Tersenyumlah, Hingga Lupa Caranya Bersedih

Bogor, KPonline – Gema takbir bersahut-sahutan, dari surau hingga masjid besar. Seakan-akan sedang mempersiapkan sebuah peringatan besar. Suara bedug bertalu-talu, mengiringi gema takbir yang menggema memenuhi angkasa raya. Nuansa spiritual begitu terasa, laksana mengiris-iris hati dengan sembilu. Cucuran air mata dan goresan pena, menemani seorang pria usia 30-an, disebuah sudut kantor serikat buruh di pinggiran Kota Semarang.

“Istriku sayang, maafkanlah suamimu ini. Seringkali ku tak dapat memberikanmu nafkah yang cukup. Bahkan kita selalu kekurangan. 

Namun, perasaan suamimu sebagai mahluk sosial, selalu saja ada rasa ingin membantu sesama. Hati ini selalu bergetar ketika melihat orang lain tidak beruntung dan orang-orang yang teraniaya, orang-orang yang tertimpa musibah.

Suamimu ini yang lemah, yang cengeng, ketika melihat sebentuk duka didepan mata. Selalu saja tak dapat membendung air mata, dan berhasrat ingin memeluk mereka yang dirundung duka.

Maafkan aku, bila aku bagi senyumku, pelukanku untuk mereka. Bahkan, tidak jarang, aku juga mungkin berbagi setitik materi dengan mereka. Yang mana, seharusnya aku menggenapi kewajibanku untuk menafkahimu”, tulis Agus dengan narasi yang gamblang.

Sepenggal tulisan yang digores diatas kertas HVS bekas fotocopy surat instruksi organisasi tersebut, hanya tergeletak di atas meja kerjanya begitu saja. Padahal tadinya, akan dia selipkan bersamaan amplop putih yang berisi sejumlah uang THR. Tapi kebutuhan hidup keluarganya berbisik ditelinganya, “Ini lebih pantas uang kasihan, jika dibandingkan dengan THR perangkat organisasimu!”

Waktu pun berlalu, menyisakan kesedihan setiap hari, kepahitan hidup di setiap hela nafas, dan kerinduan yang tak berkesudahan. Siti selalu merasakan kesedihan yang cukup mendalam, setelah almarhum suaminya meninggal dunia karena penyakit paru-paru, yang menyerangnya sejak bertahun-tahun yang lalu. Pahit dan getirnya hidup, sudah dirasakan dan ditelan bersama, dihirup dan dilepaskan dengan keikhlasan. Agus memang aktivis buruh yang miskin, tapi dirinya menjadi miskin karena sistem di negara ini yang tidak pernah berpihak kepada yang lemah.

Dengan 3 orang anaknya, Siti melewati hari demi hari dengan kesabaran, berdagang es buah dipinggir jalan. Bahkan, dengan berat hati, Agus harus merelakan kamera kesayangannya, sebagai modal jualan. Tahun demi tahun terlewati, tapi kerinduan terhadap almarhum suaminya semakin memuncak. Tatkala kumandang takbir menggema di seantero kampungnya. Dadanya sesak dengan lara dan kenangan yang hingga kini tak pernah pudar. Dahulu, di tahun-tahun pertama mereka menikah, mereka berdua menangis terisak-isak berdua, didalam kamar kontrakan yang berukuran 3×3 meter. Mereka berdua larut dalam kesedihan, karena tidak memiliki uang untuk mudik. Pun itu hanya sekedar sungkem, bersimpuh dipelukan simbok.

Saat ini, Siti hanya bisa menangis seorang diri. Setelah setahun lebih berjuang, dirinya memiliki sedikit uang untuk mudik. Tapi karena peraturan pemerintah yang entahlah apa namanya, Siti harus mengurungkan niatnya itu. Dirinya harus bersabar, untuk yang kesekian kalinya.

Siti percaya, kalau orang-orang yang selalu bersabar dan selalu bersyukur, hidupnya akan dicukupi oleh Allah swt. Dengan seiring waktu berjalan anak-anak Siti juga semakin dewasa dalam memaknai hidup mereka, yang selalu dalam keadaan miskin dan papa. Mereka sudah mengerti apa arti hidup itu, karena hidup itu adalah perjuangan, bukan untuk dikeluhkan. Selalu bersyukur, apapun yang kita miliki saat ini. Karena Siti dan anak-anaknya, tidak pernah lupa untuk selalu tersenyum, hingga mereka lupa cara untuk bersedih. (RDW)