Suara Hati Guru Honorer: Apa yang Mereka Lakukan ke Kami Itu Jahat

Jakarta, Bekasi – Ketika saya datang, dia sudah ada di sana. Melalui pesan WhatsApp (WA) dia memberitahu jika duduk di pojok kiri bagian depan di sebuah caffe yang terletak di stasiun Manggarai. Tempat kami membuat janji untuk bertemu sore itu.

Saya memanggilnya Pak Norman. Dia guru sekolah dasar di sebuah SD Negeri yang terletak di Kabupaten Bekasi. Statusnya honorer. Sore itu dia datang bersama temannya yang juga seorang guru di sebuah yayasan pendidikan, bu Ratna.

Bacaan Lainnya

Norman dan Ratna bukanlah nama sebenarnya. Saya memanggilnya bapak dan ibu, sebagai bentuk penghormatan atas pengabdiannya dalam mendidik anak-anak bangsa.

Usianya di atas 35 tahun. Jadi bisa dipastikan mereka berdua tidak bisa ikut pendaftaran calon pegawai negeri sipil (CPNS) .

Kami bertemu setelah sebulan yang lalu pak Norman mengirimkan WA kepada saya. Nomor kontak saya dia dapatkan dari Siaran Pers KSPI. Sebagai Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI, nama dan nomor HP saya tertera sebagai Narahubung dalam setiap siaran pers resmi KSPI.

“Pak Kahar, saya honorer K2. Ingin bertemu bapak untuk menyampaikan ketidakadilan yang kami alami,” ujarnya melalui WA, kurang lebih sebulan yang lalu.

Saya tidak menghiraukan pesan itu. Selain karena tidak mengenal, sebutan ‘Pak’ di lingkungan KSPI terdengar asing. Kami lebih sering menyapa kawan sejawat dengan sebutan, ‘bung’.

Pesan yang kurang lebih sama dia kirimkan kembali awal November ini. Mendapat pesan dari orang yang sama untuk kedua kalinya, saya merespon, kemudian berlanjut dalam pertemuan ini.

Ketika kami bertemu dan memesan kopi, Pak Norman mengucapkan terima kasih atas dukungan KSPI membela perjuangan honorer. Pak Norman bercerita, bahwa dia juga ikut dalam aksi honorer di kantor Bupati Bekasi maupun di Istana Negara, Jakarta. Di Bekasi, katanya, mobil komando yang digunakan dalam aksi honorer adalah mokom FSPMI – KSPI.

“Saya sudah kehilangan harapan,” katanya. Kemudian dia melanjutkan, “Mimpi untuk menjadi PNS terkubur dalam-dalam.”

Saya sudah lama mendengar ini. Tetapi ketika mendengar penuturan langsung seperti ini, selalu membuat hati saya bergetar.

“Orang melihat jadi guru enak. Tiap hari berpakaian rapi dan harus selalu terlihat ceria. Padahal hati mah remuk,” Pak Norman mencoba tersenyum. Senyum yang getir.

“Mau nangis kalau mendengar cerita teman-teman yang PNS tiap bulan gajian dan cerita belanja ini, belanja itu…,” bu Ratna menimpali.

Saya mencoba menjadi pendengar yang baik. Tidak mengintervensi curahan hati mereka. Apalagi, saya datang memang untuk mendengarkan apa yang hendak disampaikan.

Dia menilai, Pemerintah tega menciptakan dikotomi antara PNS dan Non PNS di institusi negeri, milik Pemerintah sendiri.

“Kami ini kerjanya sama (dengan PNS). Sedikit pun tak ada yang beda, tetapi kenapa soal kesejahterakan dibeda-bedakan?”

“Buat kami itu jahat…”

Hening. Saya tahu, permasalahan ini menorehkan luka dalam hatinya.

Soal upah yang timpang itu kejahatan, saya setuju. Dalam UU Ketenagakerjaan, bahkan pengusaha yang membayar upah buruh di bawah upah minimim merupakan tindak pidana kejahatan. Pelakunya bisa dipenjara 1 hingga 4 tahun lamanya.

Lantas bagaimana jika ini dilakukan oleh Pemerintah? Apakah bukan termasuk pelanggaran?

“Kami hanya berharap ada yang terus menyuarakan permasalahan kami. Saya membaca KP (Koran Perdjoeangan) yang sering menerbitkan berita honorer,” ujarnya.

Saya mengangguk. Memastikan bahwa KP akan berpihak pada kepentingan perjuangan para honorer.

“Jangan sungkan untuk menghubungi saya jika ada perjuangan dari kawan-kawan yang ingin dikampanyekan,” kata saya.

Kembali ke soal tes PNS, dia meragukan kemurniannya. Dia menduga, yang lolos sebagai PNS tidak semua murni karena kemampuan. Meski sulit dibuktikan, mereka yang lolos PNS karena nyogok seolah sudah menjadi rahasia umum.

“Jadi tidak adil kalau hanya yang dibawah 35 tahun yang boleh ikut CPNS,” katanya geram.

Seharusnya, katanya, semua honorer otomatis diangkat jadi PNS. Alasannya? Kinerja mereka sudah terbukti dengan mengabdi selama bertahun-tahun.

Pertemuan sore itu kami tutup dengan janji untuk bertemu kembali, guna membahas lebih detail mengenai campaign perjuangan guru honorer.

Pos terkait