Suamiku, Organisasi dan “Pasangan Hidupnya”

 Cicadas, Gunung Putri, Bogor. Pertengahan 2010.

Awal kami bertemu, seperti layaknya muda-mudi yang sedang kasmaran dan merasakan indahnya jatuh cinta. Meskipun wajahnya tidak seganteng Thomas Djorghy atau Andhika Pratama, tapi setidaknya, diriku yang hanya tamatan SMP ini cukup beruntung mendapatkan dirinya. Wahyu namanya. Buruh pabrik obat yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat aku bekerja sebagai buruh outsourcing, di salah satu pabrik garment di kawasan industri yang sama.

Bacaan Lainnya

Namaku Nazwa, janda beranak satu. Itulah kenapa, aku merasa beruntung bisa mendapatkan hati dan cintanya Wahyu. Pria lajang berkulit coklat, dengan rambut ikal dan sudah menjadi PKWTT dengan masa kerja yang cukup lumayan lama, telah mempersunting diriku, hanya beberapa bulan setelah kami berpacaran. Dengan acara pernikahan yang sederhana, kini kami sudah dianugerahi seorang calon bayi yang sedang aku kandung. Memang sudah sejak lama, Wahyu menginginkan anak dariku. Tapi aku bersikeras untuk ikut program Keluarga Berencana, dengan berbagai alasan, aku menolak keinginannya. Bukan tanpa alasan aku menolak keinginan Wahyu. Sejak saat itulah, Wahyu seringkali tidak pulang kerumah, dengan alasan ada kegiatan organisasi. Konsolidasi lah. Inilah itulah.

Awal 2012 Kawasan Industri Wanaherang, Gunung Putri, Bogor

Aksi demonstrasi buruh-buruh Bogor, merebak dan menjalar ke pabrik-pabrik yang ada dipelosok Bogor. Tak terkecuali pabrik tempat aku bekerja, ratusan buruh melakukan sweeping ke pabrik-pabrik. Mengajak dan mengobarkan semangat buruh-buruh pabrik garment, tekstile, dan sandang untuk turut berjuang bersama-sama. Kawasan industri Wanaherang, Cikuda, Cileungsi, dan sekitarnya mencekam, aparat kepolisian dan tentara ada dimana-mana. Aku mencari Wahyu, ketika sudah berada diluar pabrik. Ratusan buruh, bahkan mungkin ribuan orang telah tumpah ke jalan-jalan. Meneriakkan kenaikan upah, yang selama ini dirasakan tidak adil.

Nampak dikejauhan, diantara ribuan buruh-buruh, Wahyu sedang menggandeng tangan seorang perempuan. Menggunakan seragam kerja yang sama dengan yang Wahyu kenakan. Teman kerja ataukah? Ahh..aku menepis pikiran negatif itu. Aku berjalan diantara ribuan buruh-buruh yang berjalan kaki yang akan menuju Kantor Pemerintahan Kabupaten Bogor. Tapi tiba-tiba, sekira 100 langkah mendekatinya, Wahyu mengusap kening perempuan itu dengan menggunakan tisuue. Keduanya saling bertatap wajah, seperti sedang bercakap-cakap. Begitu mesra.

Tidak hanya kali itu saja, pernah juga memergoki Wahyu sedang melakukan panggilan telepon dengan seseorang ditengah malam. Suaranya pelan, seakan-akan berbisik-bisik. Kata-kata sayang, cinta nan mesra terucap. Kata-kata yang sama, yang sering ia ucapkan kepadaku. Dan aku hanya bisa memendam rasa sakit hati waktu itu. Dan tidak hanya sampai disitu saja Wahyu melakukannya. Sering dan selalu saja, aku mengetahui gerak-geriknya yang sudah seharusnya tidak dilakukannya.

Taman Buah Mekar Sari, Cileungsi, Bogor
Family Gathering 2017

Hampir tak pernah aku meminta atau diajak jalan-jalan Wahyu, atau mengikuti kegiatan bersama kawan-kawan buruh ditempat ia bekerja. Dengan segudang alasan, Wahyu selalu berkilah, “Ini kan kegiatan organisasi, masa kamu ikut. Kan nggak enak nanti sama kawan-kawanku”. Dan selalu itu alasannya. Dan satu-satu momen aku jalan-jalan dan bertemu dengan kawan-kawannya yang sesama buruh, hanyalah disaat acara Family Gathering.

Sebagai salah seorang pengurus serikat buruh di pabrik tempat ia bekerja, Wahyu cukup populer dan disegani juga dihormati oleh kawan-kawan buruh dan Management perusahaan. Dan Family Gathering tahun ini adalah Family Gathering terburuk yang pernah aku ikuti. Bagaimana tidak? Disaat acara lomba karaoke, Wahyu malah mengajak seorang perempuan untuk berduet diatas panggung. Tanpa meminta persetujuan atau izin dariku. Dan perempuan itu adalah perempuan yang 6 tahun lalu, yang pernah aku lihat bermesraan dengan Wahyu.

Padahal, Wahyu tahu kalau aku pun sebenarnya pandai bernyanyi. Karena apalagi yang dapat aku lakukan dirumah untuk menyenangkan diri. Berkaraoke dan belajar bernyanyi, hasil keringatku sendiri setelah aku di-PHK sepihak oleh perusahaan tempat bekerjaku yang dulu. Kenapa Wahyu, malah bernyanyi duet dengan perempuan yang itu? Kenapa harus dengan perempuan itu? Ada apa dengan perempuan itu? Siapa dia? Ada hubungan apa Wahyu dengan perempuan itu? Dan segudang pertanyaan mulai menusuk-nusuk pikiranku bertubi-tubi.

Akhir 2018, Jonggol, Bogor

“Ini siapa? Siapa dia? Berkali-kali aku melihat kamu berpegangan tangan dengan perempuan itu? Ada hubungan apa kamu sama dia?”

pertanyaan yang penuh emosi itu kulontarkan dengan penuh amarah ke arah wajah Wahyu. Wahyu menatap mataku. Kosong. Entah ada dimana jiwanya saat itu. Jawaban yang terlontar dari bibirnya pun terkesan datar. Tidak ada pembelaan. Hanya menjelaskan. Lemah dan aku tahu, Wahyu berdusta.

“Aku ingin cerai. Hari ini juga!” seperti suara halilintar yang menggelegar di siang bolong, tanpa kusadari telapak tangan kananku telah mendarat di pipi kiri Wahyu. Dan Wahyu tak bergeming sedikit pun. “Aku tidak akan menceraikanmu. Sampai kapan pun” ucap Wahyu dengan nada yang begitu datar. Dan tiba-tiba saja.

Ada rasa mual yang ingin keluar dari dalam perutku. Rasanya aku ingin muntah. Sakit kepala, gemetar dan rasa mual. Setengah berlari, aku menuju kamar mandi yang berada di belakang rumah. Aku muntah, tapi tidak mengeluarkan apapun. Dan sedetik kemudian, Wahyu sudah berada disampingku. Tangannya memijat-mijat leherku yang jenjang. “Kamu hamil yaa Sayang?” suara itu menjawab rasa mual yang ingin memuntahkan segala sesuatunya tadi. Aku hamil.

Berkali-kali Wahyu mengkhianatiku. Entahlah, mungkin karena khilaf atau memang dia kurang bahagia bersamaku. Sekarang, Wahyu sudah banyak mengalami perubahan, mengutamakan keluarga, selalu memperhatikan aku setiap saat. Walau kadangkala sibuk dan jarang pulang. Yaa, Wahyu masih seringkali jarang pulang, 2-3 malam sering tidak dirumah. Entah untuk urusan kegiatan organisasi atau bersama perempuan itu. (RDW)

Pos terkait