Bogor, KPonline – Ruang kamar tidur yang tak bertirai itu serasa lembab, bau menyengat kamper murahan begitu menusuk hidung dan tenggorokan. Laki-laki separuh baya, sekitar 40-an usianya, nampak tertunduk malu dipinggiran dipan kayu, tempat pembaringan yang sudah sangat lusuh dan tidak layak untuk ditiduri. Derit menjerit suara gemeretak, tatkala suara dipan kayu beradu dengan suara papan triplek yang menjadi alasnya. Diatasnya terhampar kasur butut, compang camping penuh dengan tambalan kain dan jahitan benang disana dan disini.
“Sudahlah Pak, jangan kau dengarkan perkataan tetangga. Apa yang kita punya saat ini, sudah lebih dari cukup buat aku. Tidak perlu memaksakan diri, apalagi harus pinjam sana sini. Kita masih punya hutang di koperasi kan ya?” dengan lembut dan setengah berbisik didaun telinga laki-laki tersebut, seorang perempuan dengan masih mengenakan mukena seperti sedang mengusap-usap punggung laki-laki yang sedang duduk dipinggir dipan, tepat disampingnya berada. Yanto nampak memegang kening, seperti ada beban yang tertumpu diujung pikirannya.
“Dapur rumah kita sudah tak layak terlihat, Sayang” lirih Yanto kepada Jumisih, perempuan satu-satunya yang ia miliki dan sayangi saat ini. “Tak apa, Suamiku, aku masih masih bisa memasak masakan kesukaan orang-orang yang aku cintai kan?” pungkas Jumisih, sedetik Yanto mengutarakan maksud dan tujuan beban pikirannya.
…
Revi masih bersenandung dipinggir dapur yang sangat jelas nampak tak layak. Terlalu sadis jika dikatakan gudang barang-barang yang tak berguna, tapi juga akan terdengar sarkastik jika diucapkan dengan nama lain. Pun begitu, masakan Jumisih banyak mendapatkan pengakuan dari para kerabat dan tetangga dekat. Orisinil dan tradisionil. Asap tebal membumbung dilangit-langit dapur, maklum saja perapian dimana Jumisih memasak masih menggunakan “hau”.
Sayup-sayup terdengar ditelinga Jumisih, Revi bersenandung sholawat Nariyah. Merdu dan menusuk hati. Sayur lodeh yang sedang dimasak Jumisih, hampir bisa dipastikan akan terasa sangat asin. Tetesan air mata Jumisih seakan-akan tak ingin berhenti menetes, membasahi pipi dengan lesung pipit, yang nampak tercoreng arang dan asap pembakaran. Bukan hanya karena sholat Nariyah yang sedang dilantunkan Revi, akan tetapi suara merdu yang disenandungkan gadis kecil itulah yang menambah tusukan kedalam relung hati Jumisih.
Tiba-tiba Revi menghentikan senandungnya. “Ibu..Ibu.., kemarin aku main kerumahnya Indah. Mamahnya membelikan Indah itu.. apa ya namanya?” bola mata gadis cilik itu seperti menyapu segala penjuru dapur. Revi mencoba mengingat-ingat sebuah nama. Makanan pembuka bagi orang-orang kaya, dan untuk mengucapkannya saja sangat sulit bagi gadis cilik, yang orang tuanya miskin dan papa. Maklum saja, Yanto hanya buruh kecil disebuah pabrik pengolahan limbah plastik di desanya.
“Apa sayang? Kamu makan apa dirumah Indah?” Jumisih bertanya kepada Revi dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. ” salad. Iya Bu, salad buah namanya. Buah-buahan segar, yogurt dan taburan keju penuh diatasnya” hentak Revi ketika teringat nama makanan tersebut. Bagi sebagian orang kaya dan mampu, salad buah hanyalah makanan pembuka. Tak ada yang istimewa. Biasa saja. Tapi tidak bagi Revi, karena salad buah adalah makanan istimewa yang pernah ia lahap.
“Kamu ingin makan salad buah, sayang?” sambil mengelus-elus rambut ikal Revi, Jumisih kembali meneteskan air mata. Revi hanya mengangguk kecil, karena ia tahu, orang tuanya tak kan mampu untuk membelinya. Sambil menyeka lelehan air mata yang masih membasahi pipinya, “Kamu tahu berapa harganya, sayang? penuh tanda tanya Jumisih melirik ke arah buah hatinya bersama Yanto. “Mamahnya Indah bilang, Bapak tidak akan sanggup untuk membelinya. Kata Mamahnya Indah, mending kamu belikan seragam sekolah saja. Memangnya mahal ya Bu, harga salad buah? tanya Revi, sorot matanya menajam menatap Ibunya yang berpeluh keringat. “Entah, Ibu belum pernah membeli. Nanti biar Ibu yang bilang sama Bapak ya, sayang” rayu Jumisih, berusaha menenangkan pikiran Revi yang mulai melayang-layang, membayangkan kelezatan salad buah yang terasa nikmat.
…
Dan Revi pun kembali bersenandung sholawat Nariyah. Dan kali ini, senandung merdu yang dilantunkan Revi menambah tusukan kedalam hati Jumisih. Air matanya kembali meleleh, membasahi lesung pipitnya. Menatap sayur lodeh yang mengeluarkan aroma kelezatan, pikiran Jumisih bercabang dua. Sayur lodeh yang ada dihadapannya terasa hambar, bahkan mungkin akan terasa lebih asin daripada biasanya.
Jangankan harganya, melihat bentuknya apalagi merasakan kelezatan salad buah, mendengar namanya saja baru kali ini terdengar ditelinganya. Jumisih dan Yanto, hanya sebagian kecil perantauan yang tinggal dipinggiran kota industri. Yanto tak pernah berpikir akan kaya raya menjadi buruh pabrik, pun meski hanya selintas dipikirannya. Bagaimana caranya, agar mampu bertahan hidup dengan situasi dan kondisi yang serba sulit. (RDW)