Sah, RKUHP Jadi Undang-Undang, Aksi Unjuk Rasa Tanpa Pemberitahuan Akan di Pidana 6 Bulan

Aksi Demo Buruh PT. Aerotrans Services Indonesia

Jakarta,KPonline – DPR RI dan pemerintah akhirnya mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi undang-undang dalam rapat Paripurna yang digelar di kompleks parlemen, Selasa (6/12).

Dengan demikian beleid hukum pidana terbaru itu akan menggantikan KUHP yang merupakan warisan kolonialisme Belanda di Indonesia.

Bacaan Lainnya

“Kami menanyakan kembali kepada seluruh peserta sidang apakah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang? ,” ujar Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad selaku pimpinan rapat Paripurna hari ini.

“Setuju!’ jawab peserta.

Selanjutnya, KUHP terbaru itu diserahkan ke pemerintah untuk diteken Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan diberi nomor untuk masuk ke dalam lembar negara.

RKUHP ini sendiri telah menjadi polemik selama kurang lebih empat tahun terakhir. Pada 2019, masyarakat sipil menggelar demo besar-besaran agar RKUHP tersebut tidak disahkan.

Sampai saat ini penolakan tersebut masih digaungkan. RKUHP dinilai masih memuat pasal-pasal warisan kolonial yang bermasalah dan rentan digunakan sebagai alat kriminalisasi

Salah satu pasal yang kontroversi yaitu ancaman Pidana atau denda bagi penyelenggara demonstrasi tanpa pemberitahuan. Hal itu tertuang dalam Pasal 256.

“Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II,” bunyi pasal tersebut.

Selain pasal di atas masih terdapat beberapa pasal yang masih di perdebatkan

Menurut AJI dalam siaran persnya pada Senin, 5 Desember 2022. Organisasi profesi wartawan ini menilai pasal-pasal tersebut berpotensi mengriminalisasi jurnalis dan mengancam kebebasan pers.

Selain itu juga, mengekang kemerdekaan berpendapat dan berekspresi. Beberapa pasal di antaranya Pasal 188, Pasal 218, Pasal 219, Pasal 220, Pasal 240, Pasal 241, Pasal 263, Pasal 264, Pasal 280, Pasal 300, Pasal 301, Pasal 302, Pasal 436, Pasal 433, Pasal 439, Pasal 594, dan Pasal 595.

Pasal 188 tentang tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Pasal 218, Pasal 219 dan Pasal 220 tentang tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 240 dan Pasal 241 tentang tindak pidana penghinaan terhadap Pemerintah. Serta, Pasal 263 yang mengatur tentang tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong.

Kemudian Pasal 264 tentang tindak pidana kepada setiap orang yang menyiarkan berita tidak pasti, berlebihan, atau tidak lengkap. Pasal 280 tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan. Pasal 300, Pasal 301 dan Pasal 302 tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan. Pasal 436 tentang tindak pidana penghinaan ringan. Pasal 433 tentang tindak pidana pencemaran. Pasal 439 tentang tindak pidana pencemaran orang mati, serta Pasal 594 dan Pasal 595 tentang tindak pidana penerbitan dan pencetakan

Pos terkait