Presiden FSPMI : Kebijakan (Upah) Kalah Dengan Kekuasaan

Cisarua, KPonline – Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (DPP FSPMI) mengagendakan Konsolidasi Pengupahan selama dua hari kedepan, 21-22 Juni 2022 di Pusdiklat FSPMI Cisarua Bogor. Hadir sebagai pemateri adalah Presiden FSPMI, Riden Hatam Aziz, Vice President bidang Pengupahan, Winarso, direktur Pengupahan, Omo, direktur LBH DPP FSPMI, M. Jamsari, dan anggota Dewan Pengupahan Nasional dari KSPI, Mirah Sumirat.

Konsolidasi ini bertujuan menyelaraskan persepsi dan pandangan dalam kebijakan upah minimum yang berkeadilan untuk buruh, khususnya di bawah bendera FSPMI.

Bacaan Lainnya

Peserta konsolidasi ini adalah anggota Dewan Pengupahan dari unsur serikat pekerja khususnya FSPMI, dimana mereka adalah anggota dewan pengupahan dari berbagai daerah seperti DKI Jakarta, Bogor, Bandung, Cilegon, Batam, Kepulauan Riau, Serang, Banten, Karawang, Purwakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan banyak lagi yang merupakan lembaga non-struktural yang bersifat tripartit yang bertugas memberikan saran, dan pertimbangan kepada pemerintah dalam rangka perumusan kebijakan pengupahan dan pengembangan sistem pengupahan nasional. Secara berjenjang, selanjutnya dewan ini memiliki nama Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) di tingkat pusat, Dewan Pengupahan Provinsi (Depeprov, dibentuk oleh gubernur) di tingkat provinsi, dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota (Depekab/Depeko, dibentuk oleh bupati/wali kota).

Dalam sesi siang hari pertama, dilakukan diskusi dan tanya jawab antara peserta dan narasumber. Peserta konsolidasi diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangannya dan juga update kondisi terkini terkait pengupahan di masing masing daerah. Mereka juga menyampaikan kendala kendala yang terjadi di lapangan dalam proses penentuan upah minimum.

Hingga sampai pada akhir sesi, Presiden FSPMI, Riden Hatam Aziz menyimpulkan bahwa kebijakan (upah) saat ini kalah dengan kekuasaan, dimana anggota dewan pengupahan di luar unsur serikat pekerja masih bersikeras dan berupaya menggunakan UU Cipta Kerja kluster ketenagakerjaan sebagai acuan penetapan upah minimum di banyak daerah. Padahal jelas, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan UU Cipta Kerja adalah Inskontitusional.

(Jim).

Pos terkait