Pilkada Bintan, Mencari Politikus Berjiwa Negarawan

OPINI-03-Parlindungan-Sinurat
PARLINDUNGAN SINURAT SIp,

Oleh : Perlindungan Sinurat S.Ip – Ketua PC FSPMI Bintan

Plato menyebutkan, negarawan harus seperti filsuf. Filsuf harus memahami berbagai gejala penyakit masyarakat, mendeteksinya sejak dini, dan mencari cara menyembuhkannya. Pengetahuan yang demikian menjadi keharusan dan syarat utama seorang negarawan.

Bacaan Lainnya

Dunia politik Indonesia saat ini dipenuhi oleh para politikus, tidak terkecuali di Kabupaten Bintan. Namun, sulit mencari politikus yang sungguh-sungguh berjiwa negarawan.

Mereka yang negarawan adalah seseorang yang berpikir, bertindak, dan berjuang tidak lagi menurut kepentingan dirinya, tetapi selalu dikaitkan dengan kepentingan umum, kepentingan bangsa. Memahami berbagai gejala penyakit masyarakat, mendeteksinya sejak dini, dan mencari cara menyembuhkannya sebagaimana disebutkan Plato.

Seorang negarawan juga berpolitik atas panggilan nurani, bukan mempertahankan atau membela sesuatu. Para pemimpin kita belakangan ini lebih peduli kepada pencitraan dan menjual pepesan kosong dari pada menyempurnakan diri menjadi negarawan.

Dua pasangan calon kepala daerah (bupati dan wakil bupati) Bintan telah menyampaikan visi dan misi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bintan melalui paripurna istimewa yang diadakan di kantor DPRD Bintan di Bandar Seri Bentan, Bintan Buyu, Senin 16 November lalu. Visi misi calon kepala daerah itu selanjutnya akan dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Bintan.

Dalam visi misi kedua calon, peningkatan kualitas pendidikan menjadi jualan politik yang dianggap dapat menarik simpati masyarakat sehingga dapat meningkatkan perolehan suara.

Tapi sangat disayangkan, dari pilkada ke pilkada di Bintan pendidikan agama untuk salah satu kelompok masyarakat selama ini menjadi non-pelajaran formal atau ekstrkurikuler mulai dari tingkat SD hingga SLTA. Padahal pelajaran agama di sekolah di semua tingkatan harusnya adalah pelajaran formal.

Semoga visi dan misi yang disampaikan tidak hanya sebagai retorika politik atau pepesan kosong untuk memuluskan hasrat kekuasaan. Jika itu hanya retorika politik dan pepesan kosong maka makin rendah pula tingkat kepercayaan masyarakat biasa terhadap politik.

Masyarakat akan merasa ’sering ditipu’ oleh pernyataan politikus yang tidak ada kenyataannya. Jadi walaupun nanti politikus menyatakan sesuatu yang bermakna maka masyarakat sudah terlebih dahulu apriori.

Lima hari lagi pemungutan suara akan berlangsung. Anggota masyarakat akan berbondong-bondong datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Masing-masing punya motif tersendiri. Apakah karena dorongan hati nurani karena ingin perubahan, dorongan uang (money politic), motif mendapatkan proyek atau memilih seorang pemimpin yang berlaku adil.

Faktor kehidupan sempit yang dialami rakyat kecil tentu menjadi motivasi terbesar mengapa mereka datang ke TPS untuk menggantungkan harapan kesejahteraan kepada kedua calon kepala daerah yang akan terpilih kelak dalam Pilkada.

Menang terhormat itu hanya ada didalam cerita novel. Siapapun yang menang dalam pemungutan suara 9 Desember 2015 di Pilkada Bintan pasti akan dibilang curang oleh pihak yang kalah. Esensi politik para politisi yang berlaga adalah lebih baik menang curang dari pada kalah terhormat. Kecurangan memang menjadi momok bagi mereka yang bertarung dalam pemilu.

Memang tidaklah mudah menerima kekalahan, calon kepala daerah yang sudah menghabiskan banyak waktu, tenaga, uang dan harta disertai imajinasi untuk memenangkan Pilkada, menjadi sebuah kemustahilan calon dapat menerima kekalahan dengan terhormat.

Apalagi kedua calon sudah mengorbankan harus mundur dari jabatan penting di DPRD dan Pegawai Negeri Sipil. Maka kalah bukanlah sesuatu yang akan dianggap terhormat, tapi aib. Jangan sampai untuk menang tidak perlu beretika, apapun dilakukan untuk menang, termasuk curang.

Dalam cerita perang saudara yang disebut Bharatayudha pun ada etikanya. Barang siapa ingin keluar sebagai pemenang, dia tak boleh curang, tak boleh melanggar etika, dan tak boleh memulai memancing-mancing kemarahan pihak ”sana”.

Dalam film The Next Karate Kid, Mr Miyagi merombak drastis sikap dan pandangan hidup Julie, yang menganggap menyayangi kecoa sebagai cara hidup yang ”stupid”.

Dia bilang, kurang lebih: ”It is stupid when nations fight in a war. It is not stupid if we respect toward life.” Ungkapan-ungkapan etis ini enak didengar, membawa rasa damai dan kenyamanan, serta bila kita mengamalkannya, buahnya akan luar biasa bagi hidup kita. Bila dalam perang pun kita diminta untuk tetap berperilaku luhur, dilarang curang, culas, bohong, dan melanggar kepantasan etis.

Apalagi kedua calon sekadar dalam suasana kampanye dan persaingan politik untuk memenangkan pemilu untuk menjadi Bupati dan wakil Bupati Kabupaten Bintan ke depan.

Calon kepala daerah harus meyakinkan orang banyak yang diharapkan menjadi pemilih, dan penentu kemenangan, dengan keluhuran sikap dan tindakan politik. Kalau menang dengan curang, kemenangan tak akan punya makna. Selama menjabat, kecurangan akan menghantui.

Pilkada bukan ajang permusuhan. Elite-elite di kedua calon yang berhadapan sebagai ”mitra” persaingan harus mengingatkan dan menata dengan lebih baik para tim suksesnya, para jurkamnya, dan para pendukungnya untuk tidak saling mengejek pihak ”mitra” agar bila menang, menang dalam keanggunan, menang secara bersih, dan terhormat.

Harus diakui, negeri ini memang krisis negarawan. Para pemimpin kita belakangan ini lebih peduli kepada pencitraan dan menjual ’pepesan kosong’ ketimbang menyempurnakan diri menjadi negarawan.

Slogan-slogan yang dikumandangkan di masa kampanye hanya menjadi janji manis karena setelah pemilu berakhir dan kekuasaan didapatkan maka janji tersebut dianggap lunas tanpa perlu dibayar.

Sosok negarawan yang digambarkan mendadak lenyap setelah kursi kekuasaan didapatkan.Kehadiran seorang pemimpin yang tepat waktu, tepat jaman dan tepat karakter tentu akan melahirkan kemaslahatan bagi seluruh masyarakat Kabupaten Bintan ke depan.

Negarawan musiman akan melepaskan tanggung jawabnya setelah kekuasaan didapatkan. Negarawan musiman hanya akan membawa Kabupaten Bintan ini menjadi semakin terperosok. Dia akan bertindak ketika tindakan yang dia lakukan memberikan keuntungan bagi diri atau kelompoknya.

Negarawan sejati adalah orang yang rela berkorban secara tulus demi keutuhan dan kemajuan bangsanya, juga ikut serta secara aktif dalam mewujudkan cita-cita bangsa.

Dia bukan orang yang memilih untuk tutup mata saat kemiskinan dan ketidakadilan terjadi di hadapannya. Pandangannya dapat dilihat dari visi misi yang jelas tentang arah ekonomi, politik, keamanan dan pendidikan yang akan dia kembangkan.

Visi yang dimilikinya adalah visi yang melihat jauh ke depan. Dia bukanlah sosok yang mementingkan kepentingan sesaat demi citra pribadi serta golongannya.

Karakter negarawan sejati bisa dibuktikan secara langsung ketika kursi kekuasaan telah dia dapatkan, bertindak sebagai ratu adil yang fokus mensejahterahkan rakyatnya demi membawa bangsa dan negara menjadi terhormat dan disegani.

James Freeman Clarke mengatakan bahwa, perbedaan antara politisi dan negarawan adalah politisi memikirkan tentang pemilu berikutnya sedangkan negarawan berpikir tentang generasi berikutnya.

Dengan demikian, seorang pemimpin negarawan akan dapat dilihat dari pandangan-pandangannya yang mempunyai komitmen tinggi terhadap kepentingan bangsa khususnya kepentingan masyarakat kabupaten bintan jauh ke depan.Sistem demokrasi adalah sebagai sebuah pilihan reformasinya yang kita terima.

Oleh karena itu, kita tidak punya pilihan selain menjalaninya dengan sepenuh hati dengan mencari sosok negarawan sejati guna membangun kabupaten bintan. Bukan negarawan karbitan dengan kepentingan pragmatis untuk memperkaya diri sendiri, keluarga dan kelompoknya.

Semoga pilihan rakyat Kabupaten Bintan pada Pilkada serentak 9 Desember 2015 tepat dan di berkahi oleh Tuhan yang Maha Esa. (S.Ete)

Pos terkait