Perspektif Gerakan Buruh (1)

Sekretaris Jenderal KSPI Muhammad Rusdi menjadi pembicara dalam Dialog Nasional Tripartit Ketenagakerjaan Tentang Pengupahan, Kamis (10/3/2016).| Foto: Kascey

DARI PABRIK KE PUBLIK, DARI HUBUNGAN INDUSTRIAL KE SOSIAL, HUKUM, POLITIK, SEJARAH, EKONOMI, IDEOLOGI & AGAMA

Oleh: Muhamad Rusdi

Jakarta, KPonline – Menarik untuk terus kita diskusikan lebih mendalam tentang dinamika, permasalahan, positioning dan masa depan gerakan buruh ditengah kondisi sosial, kondisi politik, kondisi ekonomi dan trend bisnis kekinian.

Maraknya PHK terhadap pekerja tetap, maraknya outsourcing dan pemagangan, maraknya praktek upah murah dan penangguhan upah minimum, maraknya pemberangusan serikat pekerja di tingkat perusahaan, maraknya kriminalisasi terhadap aktivis buruh, pembatasan aksi baik tempat maupun waktu, pemberlakuan objek vital di kawasan-kawasan industri untuk pengamanan asset, munculnya kebijakan penerapan kawasan ekonomi khusus/ Special Economic Zone, Free Trade Zone, serta munculnya trend bisnis digital/online serta masih berlanjutnya fenomena migrasi modal dan migrasi pasar yang diikuti oleh migrasi worker dan migrasi factory untuk mencari lahan murah dan buruh murah.

Di tingkat mikro, permasalahan sulitnya membentuk serikat pekerja di tingkat perusahaan, sulitnya membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB), serta penetapan kenaikan upah sepihak serta PHK sepihak masih terus berlanjut.

Termasuk masalah regenerasi kepemimpinan dan pengkaderan yang belum maksimal, sehingga banyak serikat masih di isi oleh stock lama dan minim kader kader muda.

Abainya dan tidak seriusnya pemerintah menciptakan lapangan kerja secara mandiri, ketidakseriusan pemerintah dalam memproteksi pekerja dari PHK, ketidakseriusan pemerintah dalam memberikan jaminan kesehatan secara menyeluruh dan layak, serta perlindungan pekerja di hari tua dan bagi pekerja perempuan masih berlanjut termasuk lemahnya pengawasan pekerjaan.

Di internal serikat sendiri tidak sedikit masalah yang muncul, banyak serikat yang mengalami “INVOLUSI” yakni bergerak dan sibuk dengan permasalahan internalnya sendiri. Mereka berdebat mengapa buruh ikut berpolitik, mengapa buruh demo melulu, mengapa buruh demo masalah TDL, BBM dan juga pengangguran, apalagi masalah korupsi dll. Terjadi pergerakan, namun bergerak dan bergerak berputar berputar di internal yang menyebabkan konflik internal tiada reda.

Kemudian muncul isu buruh RASIS, buruh dekat dengan gerakan Islam Radikal, buruh terlibat MAKAR, dan lain-lain.

Melihat rentetan permasalahan tersebut, apa yang kemudian harus kita lakukan?

Bagaimana cara pandang kita melihat masalah perburuhan?

Bagaimana sikap kita sebagai aktivis atau pimpinan buruh melaihat masalah kesenajangan kesejahteraan dan kesenjangan sosial?

Bagaimana sikap kita melihat darurat anggaran yang dialami pemerintah karena ketidakmampuannya dan salah urus?

Bersambung…