Purwakarta, KPonline–Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Jawa Barat menggelar rapat konsolidasi untuk mengevaluasi kenaikan Upah Minimum, khususnya upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) tahun 2025.
Acara yang berlangsung di Kantor Konsulat Cabang FSPMI Purwakarta, Kamis (9/1/2025), dihadiri oleh anggota Dewan Pengupahan Provinsi (Depeprov) dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota (Depekab) Se-provinsi Jawa Barat dari unsur FSPMI, serta pengurus Konsulat Cabang, Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Anggota (PC SPAI) maupun Pimpinan Unit Kerja (PUK) FSPMI Purwakarta. Diantaranya, Ketua KC FSPMI Purwakarta (Fuad BM) dan Sekretaris FSPMI Purwakarta (Ade Supyani).
Sekretaris jenderal FSPMI, Sabilar Rosyad, menyambut baik adanya Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Barat prihal UMSK, sehingga UMSK hadir kembali untuk kenaikan upah pekerja tahun ini (2025), namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa SK gubernur Jawa Barat tersebut bermasalah.
Sehingga, Ia menegaskan bahwa perjuangan terkait upah belum selesai meskipun Penjabat (Pj.) Gubernur Jawa Barat telah menerbitkan Surat Keputusan (SK) Gubernur prihal Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK).
Menurutnya, terdapat beberapa kemungkinan yang menjadi penyebab permasalahan ini:
Pertama, kurangnya pemahaman sejarah UMSK oleh Pj. Gubernur Jawa Barat (Bey Machmudin). “Salah satu alasan utama adalah dugaan bahwa Pj. Gubernur kurang memahami sejarah perjalanan UMSK di Jawa Barat. Kenaikan UMSK yang hanya mengacu pada persentase kenaikan UMK dinilai tidak adil dan merugikan kaum pekerja, khususnya di sektor industri Purwakarta,” ungkapnya.
Ia menyoroti penurunan nilai UMSK di Purwakarta sebagai contoh nyata ketidakadilan ini. “Berdasarkan SK UMSK 2020, sektor otomotif spare part memiliki nilai UMSK sebesar Rp5.284.030. Namun, pada SK UMSK 2025, nilainya justru turun sebesar Rp470.000 menjadi Rp4.800.000. Penurunan ini bertentangan dengan prinsip kenaikan upah yang seharusnya mencerminkan peningkatan kesejahteraan pekerja,” tegasnya.
Dan kedua, polemik SK Gubernur terjadi karena ada Indikasi Pengondisian oleh Oknum Tertentu. Rosyad mencurigai adanya indikasi pengondisian oleh oknum-oknum tertentu yang tidak menginginkan keberadaan UMSK. “Polemik ini menghambat implementasi UMSK yang adil dan merugikan pekerja di berbagai sektor,” pungkasnya.
Menanggapi permasalahan ini, Sabilar Rosyad menegaskan perlunya revisi terhadap SK UMSK 2025. Sebagai langkah awal, FSPMI akan mengirimkan surat resmi kepada Pj. Gubernur Jawa Barat untuk mengadakan audiensi guna membahas masalah ini.
“Logika sederhana dari kenaikan upah adalah bertambahnya nilai, bukan malah berkurang,” tegas Sabilar Rosyad.
Jika audiensi tidak direspon, FSPMI se-Jawa Barat mengancam akan melakukan aksi demonstrasi besar-besaran sebagai bentuk perjuangan dan solidaritas kaum buruh.
Dengan penurunan nilai UMSK di sektor strategis seperti otomotif spare part, pekerja di Purwakarta merasa semakin jauh dari keadilan upah. Sabilar Rosyad berharap Pj. Gubernur Jawa Barat segera mengambil langkah konkret untuk memperbaiki situasi ini dan memastikan SK UMSK 2025 mencerminkan keadilan dan kesejahteraan bagi kaum buruh.
Perjuangan ini menegaskan bahwa suara buruh harus didengar, dan kebijakan pengupahan harus mencerminkan keadilan bagi semua pihak.
Dalam rapat tersebut, para peserta berdiskusi mengenai dampak kebijakan upah terhadap kesejahteraan buruh, terutama di wilayah yang memiliki tingkat inflasi tinggi. Selain itu, evaluasi juga mencakup kepatuhan perusahaan terhadap implementasi UMSK 2025.
Selain evaluasi, rapat ini juga membahas langkah-langkah yang akan diambil DPW FSPMI Jawa Barat untuk selalu mengawal kebijakan upah minimum, termasuk rencana advokasi bagi buruh yang menghadapi kendala dalam penerapan upah.