Perjuangan Para Petani Pundenrejo Menuntut Haknya

Semarang, KPonline – Kasus sengketa tanah antara para petani di desa Pundenrejo, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati dengan  PT. Laju Perdana Indah (LPI) kembali memanas. Kasus yang mulai muncul pada tahun 2003 ini sempat memanas pada tahun 2018 dan kini kembali muncul.

Seperti yang dilansir dari Press Release YLBHI-LBH Semarang, hal tersebut dipicu karena lebih dari 30 Pekerja PT. Laju Perdana Indah (LPI) yang dikawal oleh oknum dari aparat keamanan pada hari Senin (16/3/2020) diduga melakukan perampasan dan perusakan tanaman petani di tanah yang telah dikelola sejak tahun 2000 oleh petani di Desa Pundenrejo, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati.

Bacaan Lainnya

PT. LPI yang merupakan pabrik gula terletak di Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati mengaku mempunyai Hak Guna Bangunan (HGB) dan berlaku sampai 2024. Karena hal itulah yang menjadi dasar PT. LPI melakukan pemagaran ditanah yang dikelola petani. Dan sejak hari Senin (16/3/2020) itulah dikabarkan mulai merampas dan merusak tanaman di atas tanah seluas ±7 Ha yang saat ini telah di kelola 86 Kepala Keluarga (KK) warga dusun Pule dan Jering, Desa Pundenrejo, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati, selama 20 tahun lebih untuk ruang hidup dan mencukupi kehidupan selama ini.


Petani yang mencoba mempertahankan tanah dan tanamannya ditakut-takuti oleh keamanan PT.LPI bahwa jika petani menghalang-halangi PT. LPI maka petani akan berurusan dengan hukum. Sehingga membuat petani ketakutan hingga saat ini perusakan dan perampasan tanah terus dilakukan oleh pekerja PT. LPI.

Sedangkan menurut keterangan yang di dapat, petani Pundenrejo mengelola dan menggarap tanah tersebut adalah berdasarkan karena tanah tersebut merupakan tanah terlantar yang seharusnya dikembalikan ke Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, seperti yang diungkapkan oleh Nico Wauran dari LBH Semarang mengenai sejarah tanah sengketa tersebut menjadi tanah terlantar.

Tanah seluas ±7 Ha tersebut awalnya sebelum 1907 merupakan tanah garapan warga dan masyarakat setempat dan setelah itu ditami tebu untuk pabrik gula oleh Belanda dan setelah kemerdekaan, pada tahun 1958-1959 tanah di Nasionalisasi dan kuasai oleh Negara mulai saat itu petani bisa menggarap tanah tersebut.

Namun, tahun 1965 karena stigmasisasi PKI terhadap petani, membuat petani tidak lagi bisa menggarap tanah tersebut. Dan tahun 1973 terbit sertifikat HGB atas nama PT. Bappipundip sampai tahun 1994 dan diperpanjang sampai 2024 dengan HGB untuk Emplasment dan perumahan karyawan.

“Lalu sejak tahun 1998 sampai tahun 2000 tanah yang dulunya ditanami tebu telah kosong, tidak terurus, dan terlantar sehingga pada tahun 2000 petani mulai menggarap tanah terlantar tersebut untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka,”
papar Nico menjelaskan.

“Tanah tersebut telah terlantar sejak tahun 1973 karena seharusnya peruntukan tanah tersebut untuk didirikan bangunan. Namun Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak mau menetapkan tanah tersebut menjadi tanah terlantar sebagimana diatur dalam PP No. 36 Th 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Akibat BPN yang tidak menetapkan menjadi tanah terlantar, pada tahun 2001 PT Bappipundip kemudian menjual tanah tersebut kepada PT. LPI meskipun tau objek tanah tersebut telah diterlantarkan dan telah dikelola oleh petani sejak tahun 2000.”
jelasnya kemudian.

Sejak jual beli pada tahun 2001 hingga saat inipun Tanah HGB yang peruntukannya untuk Emplasment dan perumahan karyawan, tidak pernah terdapat bangunan berada di tanah tersebut dan seharusnya HGB tersebut hapus karena diterlantarkan sebagimana diatur dalam UU No 5 Th 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA ) dan PP No 40 Th 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah
Sedangkan BPN seharusnya sudah menetapkan tanah HGB tersebut menjadi tanah terlantar sebagaimana diatur dalam PP No. 11 Th 2010 Tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

Sudah beberapa kali para petani di Pundenrejo menempuh jalur hukum atas sengketa ranah yang mereka alami. Mulai dari pelaporan-pelaporan dan audiensi ke Kementerian, Komnas Ham, dan Kanwil BPN Jateng. Namun permasalahan ini pun tak kunjung selesai.

Mengingat Undang-undang Dasar 1945 Pasal 33 (3) menyebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dan tindakan BPN yang tidak menetapkan menjadi tanah terlantar serta tindakan PT. LPI yang merusak tanaman petani merupakan perbuatan yang melawan hukum. Maka dari YLBHI-LBH Semarang bersama Petani Pundenrejo menuntut:

1. Kantor Pertanahan kabupaten Pati, Kanwil BPN Provinsi Jawa Tengah, dan Kementerian ATR/BPN Segera menetapkan tanah HGB PT.LPI yang terletak di Desa Pundenrejo sebagai tanah terlantar.

2. PT. LPI segera menghentikan tindakan perampasan dan perusakan tanaman termasuk intimidasi kepada petani Pundenrejo.

3. Bupati dan DPRD kabupaten Pati untuk segera melakukan tindakan menghentikan perampasan dan perusakan yang dilakukan PT.LPI di tanah yang dikelola Petani.

4. Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melakukan Penyelidikan dan Penyidikan terhadap dugaan tindak pidana perusakan tanaman petani yang dilakukan oleh PT. LPI.

Demikian pernyataan resmi yang disampaikan oleh Nico Wauran dari LBH Semarang.
(sup)

Pos terkait