Perang Tagar

Bogor, KPonline – Status apa yang kamu tulis di akun Facebook hari ini ? Tweet apa yang kamu tuliskan di Twitter ? Foto apa yang kamu pasang di Instagram hari ini? Line, Google +, atau apapun media sosial yang kamu punya? Apapun yang kamu tulis, seringkali diakhiri dengan tanda pagar (tagar) atau sering kita sebut dengan hastag.

Kita sepakati saja, tagar menjadi problematika yang sedang berkecamuk di sebagian kecil rakyat negeri ini. Contoh saja tagar #GantiSiAnu atau tagar #BiarkanSiAnuMemimpinLagi menjadi perang didunia maya yang tak kunjung berkesudahan.

Bacaan Lainnya

Netizen atau yang di-Bahasa Indonesia-kan menjadi warganet, di zaman millenial ini seakan-akan menjadi prajurit-prajurit perang didunia maya. Antar warganet seakan-akan larut dalam euforia perang tagar dalam menyongsong pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden pada 2019 nanti.

Sebagai negara demokrasi terbesar nomer 3 didunia nyata, mengungkapkan pendapat ditempat umum adalah sesuatu hal yang lumrah. Proses demokrasi sudah melewati proses yang panjang dan berliku-liku, sejak pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang indah ini, hingga hiruk pikuk digitalisasi di era pasca Reformasi sekarang ini.

Pasang surut demokrasi, sudah dirasakan oleh hampir seluruh rakyat negeri ini. Dan menuliskan tagar di media sosial adalah bentuk ungkapan menyampaikan pendapat dimuka umum. Dan sah-sah saja bukan. Toh, antara dunia nyata dan dunia maya sudah hampir tidak ada dinding pembatas yang mampu untuk memisahkannya.

Tapi lucunya, masih saja ada pihak-pihak yang belum mampu untuk dewasa semenjak dalam pemikiran, apalagi dewasa dalam tindakan. Terjadi persekusi di berbagai daerah, hanya karena ada sekelompok orang yang banyak mendukung sebuah tagar. Persekusi yang ditambah dengan tindak kekerasan, bahkan persekusi yang menjurus tindak pelecehan seksual pun pernah terjadi. Sungguh memalukan bagi sebuah bangsa yang mengaku negara demokrasi yang katanya terbesar ketiga didunia nyata.

Kenapa juga harus takut ataupun khawatir terhadap tagar. Apa yang harus ditakuti? Apa yang harus dikhawatirkan? Bukankah menuliskan tagar sama dengan menuliskan “unek-unek” di dinding ratapan status Facebook yang kita punya? Atau mungkin sama saja dengan bercuit 140 karakter di jagat Twitter?

Salah seorang sahabat yang sekaligus guru bagi saya, mengatakan kurang lebih seperti ini, “Menulis bukan hanya menyusun huruf demi huruf, akan tetapi lebih dari itu. Menulis adalah mengindera dengan kata-kata, melukis sebuah kejadian dengan paragraph dan menyatukannya dalam sebuah cinta. Kesemuanya itu agar sebuah tulisan tidak lekang oleh zaman dan waktu”.

Menulis tagar bukanlah sebuah kejahatan, apalagi masuk kategori ancaman dan penghinaan. Bagi warganet, menulis tagar seakan-akan menjadi sebuah bagian dari perang terhadap ketidak adilan dan kesewenang-wenangan. Bagaimana jika sampai terjadi perang tagar, baik didunia maya hingga terbawa ke ruang dan waktu didunia nyata?

Bersabarlah atas ikhtiar kalian. Karena kebenaran akan menemukan jalannya sendiri. Seperti air bah yang mengalir dari ketinggian, menuju dermaga hati nurani rakyat yang saat ini sedang dipermainkan oleh rezim yang penuh pencitraan.

Pos terkait