Jakarta, KPonline – Langkah yang diambil oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sejak menjabat pada akhir Juli 2016 adalah melakukan pemotongan anggaran sebesar Rp 133,8 triliun. Padahal Menkeu sebelumnya, Bambang Brodjonegoro, juga telah memotong anggaran sebesar Rp 50,02 triliun. Dengan demikian, total potongan untuk APBN 2016 adalah Rp 183,82 trilyun.
Pengamat ekonomi menilai, pemotongan anggaran mengakibatkan kelesuan ekonomi. Hal ini, salah satunya terlihat dari pernyataan Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey. Sampai bulan Mei 2017, penjualan ritel masih mengalami penurunan sampai 35-40 persen dibandingkan dengan 2016. Pedagang pakaian Blok A Tanah Abang Betty mengatakan omset penjualan menjelang Lebaran tahun ini turun hingga hanya mencapai 35 persen dari Lebaran tahun lalu. Kemerosotan ini dialami merata di Blok A, B, F.
Kebangkrutan gerai ritel Seven Eleven juga merupakan indikator kelesuan ekonomi. Dulu anak-anak muda mempunyai uang Rp 35-50 ribu bisa membeli kopi dan membeli kue kemudian nongkrong lama sambil menikmati wifi gratis. Tetapi lama kelamaan mereka hanya punya uang Rp 15 ribu, beli kopi, nongkrong tetapi tidak beli kue.
Hal senada juga pernah disampaikan oleh Ketua Umum Hariyadi Sukamdani, yang kemudian dikritisi oleh Wakil Presiden DPP FSPMI dalam artikelnya berjudul ‘Surat Terbuka Untuk Ketua Umum Apindo‘
Pemotongan anggaran Sri Mulyani dikrisi banyak pihak. Misalnya ekonom senion Rizal Ramli dan Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati.
Rizal Ramli
Rizal Ramli menyoroti langkah Kementerian Keuangan yang memutuskan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tebu sebesar 10 persen. Tentu saja, kenaikan pajak ini dinilai banyak kalangan, terutama petani tebu, sebagai beban baru yang menyiksa. Petani tebu di wilayah Kabupaten Malang, Jawa Timur, misalnya, termasuk yang menjerit akibat kebijakan ini. Keputusan Menteri Keuangan Sri Mulyani menaikkan pajak sebesar 10 persen untuk tebu yang dikirimkan ke pabrik gula membuat petani serba salah.
Terkait dengan hal itu. Rizal Ramli curiga ada maksud lain di balik kenaikan pajak tebu ini. Sejak beberapa waktu belakangan ini Rizal Ramli menyoroti kebijakan Kementerian Keuangan yang kelihatannya ingin mencari cara mudah untuk mengumpulkan uang untuk membayar utang.
Cara mudah yang dilakukan Kementerian Keuangan adalah dengan memotong anggaran dan menaikkan pajak untuk sektor-sektor industri yang dilakoni masyarakat menengah bawah.
“Jangan sampai, semua pemotongan anggaran dan pemotongan subsidi, dan kenaikan pajak hanya untuk bayar utang, agar terus dipuji kreditor,” ujar Rizal Ramli lagi.
Dalam acara halal bihalal di kantornya, Rizal Ramli juga menginggung soal pemotongan anggaran. Dia bercerita, saat masih menjabat sebagai menteri, Rizal Ramli mengaku sempat ditanya oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang heran mengapa Bank Dunia senang dengan kebijakan Indonesia yang memotong anggaran. Rizal lalu menjelaskan, wajar Bank Dunia senang karena itu artinya Indonesia punya kas untuk membayar hutang.
“Saya bilang kalau potong anggaran itu artinya kita punya sisa untuk bayar hutang. Wajar mereka senang, dengan memotong subsidi, itu yang mereka inginkan,” jelasnya.
Padahal untuk menyelamatkan Indonesia dari krisis ekonomi tidak harus memotong anggaran. Banyak cara yang bisa dilakukan di antaranya memompa kembali pertumbuhan ekonomi nasional dengan mengevaluasi kembali aset-aset nasional. Evaluasi aset kata dia, menyangkut penataan kembali BUMN dengan seluruh aset-asetnya. Rizal yakin dengan pengolahan aset yang baik maka pertumbuhan Indonesia semakin maju. Sebab Indonesia memiliki banyak kekayaan alam yang melimpah. Artikel lengkap terkait pandangan dan gagasan Rizal Ramli dalam acara halal bihalal tersebut bisa dibaca dalam artikel berjudul ‘Ketika Rizal Ramli Bercerita tentang Jin yang Keluar Dari Botol‘
Enny Sri Hartati
Sedangkan menurut Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati, pemerintah seharusnya membuat kalkulasi dalam kebijakan pengetatan anggaran di sektor riil. Menurut Enny, dalam kondisi normal, subsidi memang tidak efektif dalam efisiensi perekonomian. Namun persoalannya sekarang daya beli masyarakat sedang berada dalam lampu kuning.
“Ini yang mestinya di kalkulasi dengan baik. Jadi berapa misalnya dampak ketika subsidi itu dicabut dengan potensi penurunan daya beli masyarakat. Nah ini yang menurut saya pemerintah kurang hati-hati, karena ternyata inflasi yang terjadi di bulan Juni kemarin itu benar-benar ketara sekali dampanya,” ujar dia saat dihubungi, Rabu (5/7).
Enny menambahkan, kebijakan tersebut harus segera dikoreksi dikarenakan kontra produktif dengan program-program stimulus investasi. Hal ini, karena, investasi itukan sangat tergantung dengan permintaan. Karena pasar kita itu 80 persen masih domestik. Nah kalau daya beli ini turun, injeksi apapun untuk mendorong investasi ini akan mahal.
Pemotongan Anggaran; Prestasi Sri Mulyani
Sementara itu, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Heri Gunawan mengatakan belum ada prestasi Sri Mulyani selama setahun menjabat Menteri Keuangan di kabinet Jokowi-JK.
“Prestasi yang terbaik (Sri Mulyani) berupa kebijakan pemotongan anggaran daerah,” lanjut Heri menyindir.
Kabar perombakan kabinet yang akan dilakukan dalam waktu dekat, dimana di dalamnya nama Sri Mulyani, Heri tidak mau berkomentar terlalu jauh. Dia menyerahkannya kepada Presiden Jokowi.
Sejumlah kalangan menyatakan, alasan Presiden merombak kabinetnya karena kekecewaannya terhadap kinerja dan prestasi menterinya. Menko Darmin dan Menkeu Sri Mulyani sejak di kabinet, juga belum menunjukkan kinerja positif bagi pertumbuhan ekonomi negeri ini. Keduanya sampai saat ini belum melihat siasat dan terobosan-terobosan untuk membuat pertumbuhan ekonomi RI lebih tinggi, misalnya menjadi lebih dari 6%, walaupun ekonomi dunia sedang stagnan.