Surat Terbuka Untuk Ketua Umum Apindo

Jakarta, KPonline – Pak Hariyadi Sukamdani. Surat ini saya tulis dalam suasana lebaran. Kali ini bukan mempertentangkan dua kepentingan yang seringkali seringkali berbeda, antara pengusaha dan pekerja.

Sebaliknya, melalui surat ini, barangkali kita bisa membangun satu jembatan untuk menghubungkan dua kepentingan.

Saya baru saja membaca satu berita, yang mewartakan keluhan anda terkait turunnya daya beli masyarakat pada lebaran tahun ini. Indikatornya, menurut anda, adalah penjualan berbagai produk yang jauh menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Turunnya daya beli, menurut anda, terjadi karena menyusutnya tenaga kerja formal. Kemudian anda mengutip data Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, terjadi surplus antara peserta yang masuk dan yang keluar kecil, di bawah 20 ribu per April 2017.

“Kalau jumlah angkatan kerja baru adalah dua juta orang lebih, berarti kecil sekali penyerapannya. Ini harus diperhatikan pemerintah. Kalau terjadi penyusutan jumlah pekerja formal, otomatis daya beli terpengaruh karena relatif yang punya daya beli besar adalah pekerja formal,” kata anda.

Tentu saja, karena anda adalah ketua APINDO, maka pernyataan anda terkait pekerja menarik untuk disimak.

Maafkanlah para pekerja yang tahun ini tak banyak berbelanja produk yang diproduksi pengusaha. Tetapi jangan salahkan mereka. Karena, memang, kondisi masyarakat kita dari tahun ke tahun makin sulit.

Jika boleh saya menyimpulkan, secara tidak langsung anda mengakui, bahwa pekerja lah yang memiliki daya beli. Dengan kata lain, jika pekerja tidak lagi berbelanja, maka penjualan atas hasil produksi akan berkurang. Seperti dikeluhkan banyak pengusaha, berkurangnya penjualan adalah kerugian bagi mereka.

Tetapi saya ingin sampaikan, ada banyak alasan bagi para pekerja ketika mengurangi belanja. Hal paling mendasar, disebabkan mereka tidak memiliki cukup uang untuk memenuhi kebutuhan. Percayalah, ini akibat upah yang murah.

Menyusutnya tenaga kerja formal memang menjadi sebab, tetapi bukan yang dominan. Terlebih lagi, dengan dilegalkannya outsourcing dan pemagangan. Akibatnya, perusahaan yang tadinya bisa langsung merekrut karyawan, kini memilih menggunakan tenaga kerja magang. Mudah dipecat, upah suka-suka, dengan hasil kerja bisa digenjot maksimal.

Sudahlah, jangan berdalih ini sebagai bentuk pembelajaran. Tanpa ada pemagangan, dulu, setiap karyawan nyaris diberlakukan sama. Ada masa percobaan, ada kontrak kerja. Jika tak memenuhi spesifikasi tertentu, bisa di pecat kapan saja.

Faktanya, jumlah orang yang bekerja bertambah. Jika jumlah tenaga kerja yang dijadikan acuan, mestinya penjualan akan terus naik. Minimal sama dengan tahun lalu. Namun demikian, bertambahnya jumlah tenaga kerja tak banyak membantu, jika upah mereka rendah.

Jangan dilupakan, sejak awal tahun, tarif dasar listrik terus-menerus naik. Hal ini semakin menggerus pendapatan masyarakat. Sehingga daya beli masyarakat jatuh.

Sebelumnya, kenaikan upah yang dibatasi melalui PP 78/2015 juga tidak mampu mengimbangi inflansi (khususnya kenaikan harga bahan pokok), boro-boro meningkatkan daya beli.

Sampai di sini, saya setuju dengan anda, Pak Hariyadi. Bahwa masalahnya adalah pada daya beli.

Bagi kami di serikat buruh, solusi untuk mengatasi daya beli yang rendah adalah dengan menaikkan upah. Sehingga ketika buruh memiliki cukup uang untuk berbelanja, pada saat yang sama ekonomi akan tumbuh — produk anda terbeli.

Tanpa itu, percuma pabrik-pabrik tetap memproduksi barang jika akhirnya tidak ada yang membeli.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *