Pemerintah Sudah Sadar, Omnibuslaw Tak Layak di Pertahankan

Oleh: Kahar S. Cahyono *

Terbitnya Permenaker No 18 Tahun 2022 yang mengatur formula kenaikan upah minimum tidak sebagaimana yang diatur dalam PP No 36 Tahun 2021, secara tidak langsung menjelaskan satu hal: bahwa Pemerintah mulai menyadari jika omnibus law UU Cipta Kerja tidak layak untuk dipertahankan.

Bacaan Lainnya

PP 36/2021 adalah aturan turunan dari omnibus law UU Cipta Kerja. Logikanya, jika pemerintah masih berpendapat bahwa omnibus law yang terbaik, ia akan tetap berpedoman pada PP 36/2021. Tetapi pada kenyataannya tidak demikian. Fomula kenaikan upah minimum dilakukan perbaikan.

Jika konsisten dengan cara berfikir yang demikian — dilakukan perbaikan — itu artinya ada yang salah. Itu artinya omnibus law pun harus lah dilakukan perubahan. Tidak layak untuk dipertahankan.

Bagi saya, ini adalah kemajuan cukup signifikan dari gerakan buruh yang selama ini telah gigih menyerukan agar omnibus law dibatalkan.

Sesuai dengan apa yang saya sampaikan di awal, sudah terang benderang sekarang, omnibus law tak bisa lagi dipertahankan lagi. Janji-janjinya sudah terbukti hanya manis di bibir saja.

Mari kita urai satu per satu.

Omnibus law menjanjikan investasi berlimpah dan penciptaan lapangan pekerjaan yang luas. Buktinya, di sana-sini masih saja kita jumpai orang yang kesulitan mendapat pekerjaan.

Omnibus law menjanjikan buruh tidak mudah di PHK. Buktinya, PHK semakin mudah dilakukan. Bahkan dengan nilai pesangon yang semakin berkurang.

Omnibus law menjanjikan peningkatan kesejahteraan. Buktinya, upah buruh semakin murah. Dan khusus soal ini, nampaknya mulai disadari pemerintah. Lahirnya Peemenaker 18/2022 menjadi fakta yang tak terbantahkan.

Di isu yang lain, seperti hubungan kerja, soal buruh kontrak dan outsourcing, PHK dan pesangon, waktu kerja, dan yang lainnya; saya kira juga mulai disadari bahwa beleid sapu jagad ini tidak cukup kuat untuk memberikan proteksi terhadap buruh. Kerusakan yang ditimbulkan omnibus law sudah sedemikian nyata.

Sebagaimana yang kita saksikan, dalam setiap pergerakan, buruh tak pernah ketinggalan menyuarakan penolakan terhadap omnibus law. Ini mengkonfirmasi, bahwa omnibus law benar-benar merugikan. Jika tidak, tentu buruh akan dengan cepat melupakan isu ini.

Omnibus law pula yang melatari kebangkitan kembali kelas pekerja di Indonesia dengan dihidupkannya Partai Buruh. Sebuah kesadaran kelas, bahwa nasib rakyat telah dipermainkan oleh keputusan politik. Mereka tidak ingin ada lagi kebijakan yang memunggungi aspirasi kelas pekerja.

Mahkamah Konstitusi memang memberi kesempatan selama 2 tahun kepada Pemerintah dan DPR RI untuk memperbaiki UU Cipta Kerja. Dengan melihat fakta-fakta di atas, semestinya sudah cukup bagi mereka untuk tidak melanjutkan keberadaan UU Cipta Kerja. Sehingga pada saatnya nanti, beleid ini menjadi inkonstitusional permanen.

Kahar S. Cahyono
Pemimpin Redaksi (Pimred) Media Perdjoeangan

Pos terkait