Pak JK, Terkait Defisit BPJS Kesehatan Jangan Lebay

Jakarta, KPonline – Terkait BPJS Kesehatan yang terus mengalami defisit 7,95 triliun hingga September 2018, saya kira hal itu disebabkan tidak seriusnya Pemerintah dalam upaya menangani defisit. Seharusnya Presiden bertanggung jawab bukan berkata, “Kok masalah BPJS Kesehatan aja harus saya (Presiden) yang turun tangan.”

Padahal jelas sesuai undang-umdang, BPJS langsung di bawah Presiden.

Bacaan Lainnya

Pertama, saya ingin mengatakan, ada 3 opsi untuk mengatsi defisit:

a. Dengan menyesuaikan iuran setiap bulanya sesuai hitungan aktuaria,

b. Mengurangi manfaat Pelayanan Kesehatan.

c. Memberikan suntikan dana tambahan.

Yang dilakukan saat ini adalah dengan memberikan suntikan dana. Namun hal itu tidak menjadi solusi dan menutupi defisit tersebut.

Untuk pengurangan manfaat tidak mungkin dan jangan dilalukan karena akan merugikan masyarakat dan pelayanan bagi masyarakat harus menjadi pioritas utama.

Saya sepakat Pemerintah mau menyesuaikan Iuran, tapi iuran yang mana? Yaitu iuran Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang saat ini hanya Rp. 23000 padahal dari awal sudah jelas hitungan aktuaria para akademisi menyatakan idealnya l untuk iuran PBI minimal Rp. 36000, namun hanya ditetapkan diawal Rp. 19000 dan ada kenaikan jadi Rp. 23000.

Jadi gak usah lebay deh, Pak JK. Karena BPJS Kesehatan akan terjadi defisit/mismatch suda dipredikisi dari awal, gak lucu kalau dana BPJS Kesehatan lebih kan emang di Desain dana habis, berbeda dengan BPJSTK.

Akan tetapi jangan pernah mau menaikkan iuran peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) /mandiri, karena saat ini Kelas 1 Rp.80.000 Klas 2 Rp 51.000 dan Klas 3 Rp 25.500 saja banyak peserta menunggak

Apalagi jika dinaikkan maka peserta akan semakin berat ditengah tengah ekonomi lesu dan daya beli masyarakat menurun.

Selain itu dengan adanya kebijakan Perpres 82/2018 dimana peserta mandiri yang menunggak iuran yang tadinya jika menunggak lebih dari 12 bulan cukup membayar 13 bulan untuk dapat diaktifkan kembali kepesertaannya.

Namun saat ini dengan Perpres tersebut harus membayar 24 bulan. Ini akan semakin memberatkan peserta dan tidak mau membayar tunggakanya.

Kedua, BPJS dan Pemerintah tidak serius dalam mendorong kepesertaan Badan Usaha (BU) agar mendaftarkan semua pekerjanya. Baik swasta atau BUMN dan BUMD untuk menjadi peserta JKN-BPJS Kesehatan sesuai dengan Roadmap JKN dalam Perpres Nomor 111/2013 dan UU SJSN serta lemahnya dalam penegakan sanksi sesuai PP 86/2013 bagi pengusaha yang tidak taat.

Jika semua BU taat mendaftarkan Kepesertaan hal ini akan mampu menutupi defisit karena iuranya pasti dan seharunya jangan dibatasi maximal 8. 000.000 akan tetapi 1% dari penghasilan.

Ketiga, pekerja yang proses PHK dan ter-PHK tidak mendapat mamfaat Jaminan Kesehatan Nasional. Padahal pekerja menjadi penyumbang iuran yang paling besar dan tertib membayar.

Karena sebelum upah diterima sudah dipotong buat bayar BPJS, namun ketika terPHK tidak lagi dapat manfaat.

Adapun Perpres 82/2018 tidak menjadi solusi karena PHK yang dimaksud dalam Perpres tersebut dibatasi hanya PHK yang melalui PHI padahal banyak PHK PHK yang dilalukan sepihak dan selesai ditingkat Bipartit atau Mediasi.

Jadi kalau gak mau Defisit udah semua warga negara ditanggung kesehatannya oleh negara, semua yang mau dirawat dikelas 3 di tanggung oleh negara. Bukan malah membuat rakyat makin sulit.

Penulis: Heri Irawan, Deputi Direktur Advokasi dan Relawan Jamkes Watch Nasional.

Pos terkait