Perjalanan SJSN dan BPJS Hingga Terkoyak Dua Raksasa Omnibus Law

Mojokerto, KPonline – Kesejahteraan umum yang dicita-citakan dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dapat dikatakan baru maju selangkah semenjak terwujudnya Sistem Jaminan Sosial Nasional melalui Undang-Undang No. 40 Tahun 2004. Sebuah sistem yang memayungi dan menggandeng seluruh penduduk, tidak seperti sistem pendahulunya.

Proses lahirnya Jaminan Sosial di Indonesia diiringi banyak intervensi, keraguan dan kekuatiran. Bahkan Pemerintah membutuhkan waktu 7 tahun untuk merealisasikan amanah UU SJSN itu. Dengan dorongan aksi demonstrasi kaum buruh yang masif, terwujudlah Undang-Undang No. 11 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di tahun 2011.

Bacaan Lainnya

Ujungnya, Pelaksanaan Jaminan Sosial pun sempat molor. BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan baru resmi beroperasi pada 1 Januari 2014. Khusus program Jaminan Pensiun dari BPJS Ketenagakerjaan malah baru berjalan pada 1 Juli 2015.

Pasca 19 tahun (Di hitung dari UU SJSN) atau 12 tahun (Di hitung dari UU BPJS) atau 8 tahun (Di hitung dari awal beroperasi), berlakunya Jaminan Sosial di Indonesia terus mendapatkan tantangan dan hambatan yang bukannya menurun tetapi makin meningkat hingga mengancam eksistensinya.

Mulanya BPJS Kesehatan terbelit defisit pembiayaan dalam menjalankan program Jaminan Kesehatan Nasional. Untungnya, Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang “Menumpang” dan menjadi program andalan Presiden terpilih, memberikan kucuran dana untuk menyelamatkan “wajah” pemerintah.

Sayangnya angin segar itu tidak berlangsung lama. Opsi menaikkan iuran pun akhirnya terpaksa dipilih, daripada harus mengurangi pelayanan kesehatan. Walau dianggap kebijakan yang tidak populis, toh tak urung juga iuran di naikkan beberapa kali tanpa kompromi.

Dari awalnya melalui Peraturan Presiden 111/2013 ke Perpres 19/2016 lalu ke Perpres 82/2018, kemudian ke Perpres 75/2019, karena dianulir oleh Mahkamah Konstitusi maka kembali lagi ke Perpres 82/2018 dan menerbitkan Perpres 64/2020 yang ngotot mengabaikan putusan MK.

Datangnya gelombang wabah Pandemi Covid 19 di tahun 2020, makin mengaburkan dan mengacaukan pelaksanaan Jaminan Sosial. Dari BPJS Kesehatan yang terseret-seret penanganan pandemi sampai tumpang tindihnya pelayanan medis, hingga BPJS Ketenagakerjaan yang ditugaskan memberikan diskon premi melalui program relaksasi iuran dan membantu tersalurkannya program bantuan subsidi upah (BSU).

Walau tidak sempurna, penugasan di luar tanggung jawab tersebut dapat dijalankan dengan baik oleh BPJS. Namun dampaknya cukup luas dan tidak dapat terpetakan. Hak peserta BPJS Kesehatan mendapatkan pelayanan kesehatan sempat terhambat dan rancu. Ditambah lagi tidak jelasnya mitigasi KIPI, efektivitas program vaksinasi dan klaim pembiayaan yang rawan fraud.

Di BPJS Ketenagakerjaan, Pandemi menyebabkan meningkatnya rasio klaim JKK JKM. Parahnya justru disaat kebutuhan pembiayaan membesar, Kolektifitas iuran malah menurun karena program relaksasi iuran. Mungkin hanya terjadi di Indonesia, iuran Jaminan Sosial di diskon hingga 99% dan sisa tunggakannya tidak terukur sampai saat ini.

Begitu halnya pelaksanaan program BSU, Jaminan Sosial dicampur adukkan dengan bantuan sosial. Selain pembagian BSU yang tidak merata juga timbul diskriminasi bagi para pekerja. Penerima BSU hanya yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan dengan syarat tertentu. Sedihnya, tidak semua para pekerja didaftarkan oleh perusahaannya, padahal sama-sama terdampak pandemi.

Oleh karena sekedar menjalankan tugas dan bukan kewenangan BPJS, hasil akhirnya pun dapat ditebak, sasaran dan pencapaian tugas-tugas itu tidak jelas. BPJS yang hanya pelaksana tugas/operator, malah banjir keluhan/pengaduan dari pesertanya dan ujungnya dijadikan kambing hitam atas pelaksanaannya.

Jaminan Sosial dalam OMNIBUS LAW Cipta Kerja

Setelah sedikit mereda. SJSN dan BPJS kembali menemui jalan terjal, seiring diterbitkannya Undang-Undang Cipta Kerja No. 2 tahun 2022. Pemerintah “Memaksa” revisi UU SJSN dan UU BPJS dengan menambahkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dengan metodologi Omnibus Law.

Gigitan keras pun tertuju pada BPJS Ketenagakerjaan. Selain Omnibus Law tidak dikenal dalam hierarki dan sistem perundang-undangan di Indonesia (baru di akui dengan dirubahnya UU PPP di kemudian hari). Program JKP juga menjadikan silang sengkarutnya tata kelola Jaminan Sosial.

Bagaimana tidak, sudah UU Cipta Kerja mendegradasi besaran pesangon dan menurunkan kesejahteraan pekerja/buruh. Ternyata program JKP didanai dari rekomposisi iuran program JKK JKM. Faktanya juga tidak semua peserta BPJS Ketenagakerjaan bisa menjadi penerima program JKP. Terlebih jika perusahaannya bandel atau pekerja memiliki kartu JKN KIS BPJS Kesehatan. Aneh kan?

Sejatinya rekomposisi atau subsidi silang antar program Jaminan Sosial dilarang dalam UU BPJS. Bahkan ada sanksi pidana bagi pihak yang melanggar larangan tersebut. Tetapi pemerintah mengabaikan semua itu dengan Omnibus Law.

Secara tidak langsung, BPJS Kesehatan juga merasakan dampak dari UU Omnibus Law Cipta Kerja. Pada segmen Peserta Penerima Upah, kolektifitas iuran dan jumlah kepesertaan menurun drastis. Faktor utamanya adalah hilangnya kepastian kerja dan perlindungan kerja. Hal itu disebabkan dari outsourcing yang merajalela, status kontrak berulang, sistem kerja cut off, mudahnya PHK dan pembatasan upah.

Raksasa UU Omnibus Law yang “Menelan” 75 undang-undang terkait, tak ayal menuai polemik yang luas. Meskipun kemudian dinyatakan konstitusional bersyarat oleh MK, namun sekali lagi putusan MK kembali diabaikan. Lahirnya PERPU sampai menjelma menjadi UU No. 6 tahun 2023, pada akhirnya tetap mengoyak filosofi dan tujuan UU SJSN serta UU BPJS.

Jaminan Sosial dalam RUU OMNIBUS LAW Kesehatan

Seakan belum terpuaskan, di tahun 2022 publik terhenyak dengan rencana diciptakannya lagi Omnibus Law kedua. Dengan menunggangi Rancangan revisi UU Kesehatan, raksasa Omnibus Law selanjutnya diperkirakan akan “mengunyah” 15 undang-undang lainnya. Celakanya, UU SJSN dan BPJS termasuk diantaranya.

Dari draft yang beredar, pasal-pasal yang disusun bukannya memperkuat UU SJSN maupun BPJS. Namun makin melemahkan pondasi dan sendi-sendi Jaminan Sosial serta menyelewengkan tujuannya. Salah satunya menempatkan BPJS dibawah kementerian, menjadikan BPJS sebagai BUMN dan mempreteli kewenangan dari badan penyelenggara maupun stakeholdernya.

Pembahasan detailnya bisa dibaca ditautan berikut : https://www.koranperdjoeangan.com/euthanasia-jaminan-sosial-dalam-ruu-omnibus-law-kesehatan/

Meskipun kabar burung mengatakan, bahwa pasal-pasal tersebut sudah di drop dari draft yang diajukan ke panja DPR RI. Namun tidak ada satu pihak pun yang memiliki draft resmi dan memastikan pasal tersebut telah dikeluarkan. Hal itu sama persis dan seakan mengulang kisah lahirnya Omnibus Law Cipta kerja.

Dengan kondisi draft tidak jelas, naskah akademik asal-asalan, minim partisipasi, tidak transparan dan terkesan kejar tayang. Banyak yang menduga, ada yang ingin mengangkangi dan “mematikan” Jaminan Sosial. Sebuah ancaman serius terhadap keberlangsungan Jaminan Sosial dan amanah UUD.

Karena menyangkut sistem pendidikan, sistem kesehatan dan hak-hak tenaga kesehatan. RUU Omnibus Law Kesehatan juga ditolak oleh berbagai Tenaga Kesehatan, Organisasi Profesi, asosiasi kesehatan dan elemen masyarakat lainnya.

https://mediaindonesia.com/ekonomi/563397/apapun-caranya-jamkeswatch-siap-hadang-ruu-kesehatan

SUMMARY

Sekarang ini Jaminan Sosial sudah menjadi standar dan kebutuhan primer warganegara Indonesia. Ada ratusan juta peserta, ada miliaran database penduduk dan ada ratusan triliun dana yang dikelola BPJS. Ini adalah sesuatu yang sangat sensitif dan rawan dimanfaatkan.

UU SJSN dan UU BPJS mungkin satu-satunya undang-undang yang di “intervensi” oleh dua superlasi Omnibus Law. Secara tata perundangan maupun konsep penalaran ini sangat irasional, bagaimana bisa satu biduk dinavigasi oleh dua nahkoda? Kasus UU Jaminan Sosial yang ditambal sulam oleh 2 Omnibus Law ini harusnya jadi perhatian serius praktisi hukum dan ahli sistem tata kenegaraan.

Jika diamati, Omnibus Law menambah dan merubah beberapa ketentuan parsial dari sisi eksternal, sebagaimana tema dan tujuan produknya. Padahal dari sisi internal, tidak menutup kemungkinan UU SJSN dan UU BPJS juga membutuhkan revisi tersendiri mengikuti perkembangan dan hasil monev.

Adanya perbedaan sudut pandang, tujuan dan dasar pertimbangan antar produk perubahan hukum, akan menimbulkan polarisasi dan deviasi kebijakan. Rawan terjadi tumpang tindih dan konflik kepentingan yang menghambat pelaksanaan. Mengingat produk turunan dari UU (PP, Perpres, Permen, Perban dll) bisa berjumlah ratusan.

Sesuai amanahnya, BPJS adalah sebagai alat kesejahteraan, seharusnya jangan dijadikan sebagai alat kekuasaan. Selain itu UU Jaminan Sosial juga bersifat Lex spesialis, tidaklah tepat dimasukkan dalam RUU Kesehatan yang bersifat generalis.

Terakhir, perbaikan UU Jaminan Sosial seharusnya cukup diselesaikan dengan revisi UU SJSN dan UU BPJS, apalagi hal-hal teknis semata. Memaksakan dengan Omnibus Law sama artinya makin menambah permasalahan dan memantik konflik sosial. Ingat, Jaminan Sosial adalah benteng terakhir kesejahteraan sosial yang kelahirannya dibidani kaum buruh. Omnibus Law Cipta Kerja sudah cukup menyengsarakan semua pihak, tidak perlu lagi Omnibus Law lainnya. Perlawanan akan meluas dan membesar.

Jumat, 02 Juni 2023
Ipang Sugiasmoro
Direktur Hukum dan Advokasi Anggaran
Jamkeswatch Nasional

Pos terkait