Omnibus law, Upah Per Jam dan Generasi Muda Yang Berhujung Masa Depan Suram

Purwakarta, KPonline – “Efective working work hour, setidaknya konsep itu dulu yang pernah saya dengar serta pelajari ketika dikirim untuk belajar oleh FSPMI-KSPI ke Singapore dalam International Trade Union Confederation Asia Pacific (ITUC-AP) 2015,” ucap Hendra Mulyadi, Media Perdjoengan Daerah Kab. Purwakarta.

Lebih lanjut saat itu, dalam kesempatan tersebut. Waktu jam kerja efektif dan untuk selanjutnya yang dibayarkan melalui upah, hanya yang dianggap jam-jam dengan loading kerja saja. Sedangkan jam menunggu diantara dua pekerjaan atau lebih, tidak dihitung sebagai jam kerja.

Bacaan Lainnya


Benar ternyata apa yang pernah didengar dan dipelajari Hendra Mulyadi waktu itu bersama FSPMI-KSPI dalam ITUC-AP 2015. Hal tersebut, kini menjadi kajian sistem pengupahan terbaru pekerja yang akan dituangkan oleh pemerintah ke dalam RUU Omnibus law lewat DPR-RI.

Berdalih meningkatkan daya saing dan untuk mendorong investasi, sehingga pemerintah dengan “ngototnya,” ingin melakukan RUU melalui Omnibus law. Namun atas hal yang akan dilakukan oleh pemerintah tersebut, kembali menimbulkan gejolak dan reaksi keras penolakan dari kaum buruh. Karena menurut kaum buruh, selain tidak dilibatkan secara langsung dalam perumusannya, ujung-ujungnya atas hal tersebut dinilai bakal rugikan buruh.

Bukan tanpa dasar bagi buruh untuk menolak upah per jam yang akan menjadi kajian RUU (Rancangan Undang-Undang) dalam Omnibus law nanti di DPR-RI. Dan Hendra Mulyadi menjelaskan kenapa buruh harus menolak agenda pemerintah tersebut, kemudian Hendra pun kembali mengaitkan dengan apa yang pernah dialaminya dalam ITUC-AP 2015.

Misalnya seorang pekerja yang bekerja sebagai supir forklift. Kemudian, ternyata waktu kerjanya lebih banyak menunggu barang siap muat. Saat menunggu, tidak dihitung waktu kerja. Lalu saat itu saya bertanya, “are this situations allready happened now?,” Dan mentor saya Noriyaki Suzuki pun menjawab; “yes, its all ready, negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa sudah menerapkan hal ini dari dekade 80 akhir, lalu Asia Tenggara mulai memakai konsep ini diawal tahun 2000an. Sebut saja negara tetangga kita, Filipina, Malaysia, Singapore, Thailand, dibeberapa sektor sudah menerapkan ini. Akibatnya seorang pekerja bisa menjadi pekerja di 3 (tiga) perusahaan berbeda dalam setiap harinya, dan kebanyakan dari mereka adalah generasi muda, milenial,” katanya.

Kemudian dengan multi job tersebut apakah upahnya baik? Jawabnya tentu tidak, upah yang didapat dihitung berdasarkan waktu kerja efektif saja. Semisal, pagi jam 6.30 WIB bekerja jadi pelayan Restoran sampai jam makan siang. Kemudian jam 13.00 WIB bekerja jadi admin di kantor-kantor sampai jam 16.00 WIB atau jam 17.00 WIB, selanjutnya jadi pelayan Restoran makan malam dari jam 6 sore sampai jam 10 malam. 16 jam kerja dalam sehari, tetap tidak bisa memenuhi upah minimum, belum lagi tidak adanya jaminan kesehatan, kecelakaan kerja apalagi pensiun. Karena dianggap tidak bekerja full timer atau secara penuh. Dan bila bicara status pekerja, jelas tidak ada ikatan legal kalau keadaannya seperti ini.

Lalu saya kembali berkata ke mentor, disela-sela dia memaparkan kondisi kerja di Asia, “may i say the conclusion for this conditions sir?” Tanya Hendra.

“yes Hendra go a head, what your conclusion?” Sambil menjawab, Noriyaki balik bertanya kepada saya, lalu saya berkata, “there is no future for our next generations”. Noriyaki pun menjawab, “unfortunately yes!”

Masa depan bagi pekerja atau buruh hilang dalam masa yang akan datang, bila Omnibus law hanya sebagai pesanan para oligarki.

Apakah ini sebagai bentuk dari peran pemerintah dalam menciptakan serta mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan secara nyata bagi rakyat atau masyarakatnya?

Pos terkait