Merdeka

Jakarta, KPonline – Merdeka. Memang hanya satu kata. Tetapi ia memiliki sejuta makna. Terserah, kamu akan mengartikan sebagai apa.

Bagi pengangguran, merdeka itu jika mendapat kerja. Bagi yang kerja, merdeka itu ketika upahnya layak. Ketika upah layak, ia merasa akan merdeka kalau tidak di PHK. Bahkan yang di PHK pun akan bilang merdeka jika pesangonnya tembus ratusan juta.

Karenanya, saya tidak akan mengintervensi pendapatmu mengenai kemerdekaan. Bahkan jika itu menyentuh dimensi yang paling pribadi.

Apapun pemaknaan kita terhadap kemerdekaan, selalu ada ciri yang sama. Ciri itu adalah kebebasan untuk melakukan sesuatu tanpa intervensi. Tak ada yang menguasai. Tanpa tali kekang yang mengendalikan diri.

Itulah sebabnya, banyak orang lebih suka seiring. Bukan digiring. Agar ia tetap bisa berdiri di atas kakinya sendiri.

Bahkan, perlawanan yang dilakukan sejumlah elemen terhadap regulasi yang membatasi setiap warga negara untuk mendapatkan hak-haknya, bisa saja dimaknai sebagai bagian dari ikhtiar untuk mewujudkan kemerdekaan.

Alih-akih sebagai hadiah, kemerdekaan adalah buah dari perjuangan.

Wajar jika kemudian ada yang mengatakan, tak ada kemerdekaan sepanjang masih ada kebijakan yang merampas hak rakyat.

Dahlan Iskan, misalnya, dalam tulisannya mengatakan bahwa saat ini kita belum merdeka.

Mengapa? Karena masih dijajah Corona.

Ya, penjajahan Corona di atas dunia ini harus dihapuskan.

Sesuatu yang selalu kita pertanyakan, sampai kapan Corona menjajah kita. Sudah banyak pahlawan yang berguguran. Orang-orang hebat yang selama ini berada di garis depan.

Ini tidak lagi bicara saya, kamu, atau mereka. Sama seperti ketika proklamasi dibacakan, ini atas nama bangsa Indonesia.

Perasaan kolektif sebagai satu bangsa inilah yang harus ditumbuhkan. Karenanya, menghadapi serangan covid-19, bukan hanya kelompok pengusaha yang musti dilindungi dengan menciptakan regulasi yang pro investasi.