Merajut Tali Persatuan, Menjaga Nyala Api Perjuangan

Jakarta, KPonline – Saat Presiden Joko Widodo melakukan pidato kenegaraan, tanggal 16 Agustus 2017 yang lalu, berbagai elemen buruh turun ke jalan. Mereka menyuarakan satu tuntutan: Tolak Perppu Ormas.

Berbagai serikat buruh, yang hari itu turun ke jalan antara lain KSPI, GSBI, KPBI, FSPASI, FSUI, dan PPMI. Setidaknya, aksi bersama ini membawa harapan bagi kita untuk melipatgandakan semangat dan energi dalam berjuang.

Tentu saja, ketika kaum buruh turun ke jalan dalam sebuah barisan, mereka tidak bisa dipandang sebelah mata. Keputusan untuk memilih jalan aksi merupakan keputusan yang berani. Ia membawa pesan, bahwa sikap penolakan terhadap kebijakan sudah sampai pada tahap perlawanan.

Ya, melawan.

Sebagaimana kita tahu, ada banyak reaksi ketika seseorang menolak sebuah kebijakan. Ada yang diam, menggerutu di belakang, misuh-misuh, menggunjing, hingga mengorganisir sebuah perlawanan.

Untuk melawan, tentu saja mensyaratkan adanya kekuatan.

Dalam hal ini saya selalu teringat kalimat Puthut EA. “Bagi seorang kesatria, musuh hadir untuk diperangi. Dihadapi. Bukan dijelek-jelekkan, apalagi difitnah. Ibarat main catur, fitnah sudah di luar kotak permainan. Di luar laku dharma. Maka seorang kesatria tidak boleh berbuat nista kepada musuhnya, apalagi karibnya.”

Konferensi Pers terkait ‘Aksi Bersama Cabut Perppu Ormas’ sebelum aksi 16 Agustus 2017 di LBH Jakarta. Hadir dari KSPI, KPBI, GSBI, FSUI, dan Politik Rakyat.

Karena itu, ketika ada kebijakan yang dianggap salah, sebagai kesatria kita tidak boleh hanya nggerundel. Nyatakan dengan tegas bahwa kita menolak.

Maka jalan inilah yang sedang ditempuh oleh kaum buruh. Tentu saja, perlawanan disini adalah bahasa gerakan. Kita melawan secara konstitusional, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Dan tidak saja melalui non litigas seperti aksi-aksi di jalanan. Secara litigasi, juga ada tim yang secara khusus bekerja untuk melawan di pengadilan.

Jika kemudian ada yang mengatakan, sebuah aksi demonstrasi hanya membuang-buang energi, maka orang yang mengatakan itu bisa jadi tuna sejarah. Demonstrasi menjadi satu cara yang sah digunakan dalam konteks demokrasi untuk menyampaikan aspirasi. Mendegradasi makna demonstrasi, sama saja memberi peluang kepada rezim untuk menjadi tiran. Demonstrasi lah yang membawa Indonesia keluar dari belenggu orde baru.

Demonstrasi membawa pesan politis. Ia berguna untuk melipatgandakan pesan. Kita tahu, dengan unjuk rasa, gaungnya akan kemana-mana. Inilah yang tidak disukai oleh rezim yang selalu mencitrakan kekuasaannya bersih tanpa cela.

Bahwa Perppu Ormas tidak dicabut ketika buruh melakukan demonstrasi, faktanya memang begitu. Tetapi bukan berarti aksi itu sendiri buang-buang energi. Sebaliknya, ia membuat kita semakin kuat dan bersemangat.

Ini semacam cara untuk menjaga stamina. Hingga pada saatnya nanti, energi kita tetap terjaga saat menghadapi pertarungan lebih besar. Sebab kita percaya, petarung yang tak pernah berlatih akan gagap ketika berada di palagan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *