Menyesatkan: “… yang penting tetap bekerja”

Jakarta, KPonline – Tulisan di belakang Menaker mengingatkan saya di era tahun 2006-an. Saat itu, bersama Forum Pendamping Buruh Nasional (FPBN) saya ikut melakukan riset terkait praktik labour market flexibility. Di era itu, kami sudah merasakan pasar kerja yang fleksibel. Situasi kerja yang mudah rekrut dan mudah pecat.

Jadi, sejak bertahun yang lalu permasalahan ini disuarakan. Jika hingga hari ini permasalahan yang sama masih terulang, kesimpulannya; pemerintah selalu abai pada aspirasi rakyatnya sendiri.

Coba kalau tuntutan kaum buruh dituruti. Tentu hari ini kita akan membicarakan tema yang lain.

Dengarkan keluhan para buruh, yang saya dengar di era 2006. Ketika mereka meminta perusahaan agar mengangkat jadi karyawan tetap, jawaban majikan singkat. “Kamu pingin jadi pekerja tetap atau tetap kerja?”

Kalimat ini seperti rentetan peluru yang membuat nyali mereka ciut. Sebab pesan yang hendak disampaikan sangat jelas. Kalau mau tetap kerja, jangan banyak tingkah. Apalagi nuntut jadi karyawan tetap, sebab bisa-bisa akan dipecat.

Akhirnya banyak yang pasrah. Tidak apa-apa kotrak atau outsourcing, asal tetap kerja.

Kejadian itu hampir 15 tahun yang lalu. Hingga kemudian, siang ini saya membaca tulisan di belakang pak Meteri karena muncul di wall facebook saya.

“Tak perlu sebagai pekerja tetap. Yang penting tetap bekerja.”

Buya Hamka mengatakan, kalau sekedar kerja, kerbau juga bekerja. Tetapi manusia tidak butuh hanya sekedar bekerja. Ia membutuhkan kepastian pekerjaan sekaligus kepastian pendapatan. Termasuk di dalamnya kepastian adanya jaminan sosial.

Sesuatu yang kemudian diterjemahkan sebagai kerja layak, upah layak, dan hidup layak.

Kita menolak jika arah kebijakannya “yang penting tetap kerja.” Outsourcing juga kerja, tetapi tidak layak. Bahkan pemagangan juga bekerja, tetapi itu pun jauh dari layak.

Nampaknya, labour market flexibility yang dari dulu dikhawatirkan kaum buruh kita makin menggurita. Sejak lama, buruh menilai regulasi kita sangat fleksibel. Tetapi kini dianggap kurang fleksibel — masih kaku. Seperti kanebo kering. Sehingga perlu lebih dibuat fleksibel lagi.

Saya sepakat dengan beberapa kawan, bahwa apa yang saat ini sedang diwacanakan bukanlah revisi. Secara harfiah, makna revisi adalah perbaikan. Bukan justru membuatnya lebih buruk lagi.

Tapi dari kacamata pengusaha, revisi UU Ketenagakerjaan adalah untuk perbaikan.

Makanya jangan pakai kacamata pengusaha. Namanya saja UU Ketenagakerjaan. Pakailah sudut pandang tenaga kerja. Dengarkan suara pekerja/buruh.