Menunggu Nasib Iuran BPJS Kesehatan dan Multiple Efeknya.

Mojokerto, KPonline – Masyarakat banyak yang mempertanyakan informasi pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, sebab hingga hari ini (03/04/2020) belum ada kejelasan pembatalan tersebut dari pihak BPJS Kesehatan maupun Pemerintah.

Ditengah wabah pandemi Corona dan goncangannya perekonomian, masyarakat berharap ada kebijakan yang benar-benar bisa meringankan beban mereka, bukan sekedar disuguhi sebuah kebijakan yang tidak jelas dan tidak pasti atau lebih parahnya menyengsarakan kehidupan mereka.

Bacaan Lainnya

Seperti yang khalayak ketahui, Mahkamah Agung (MA) telah mengabulkan uji materi Peraturan Presiden (Perpres) No. 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres No.82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, yang diajukan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI).

Dalam putusannya, MA membatalkan aturan kenaikan iuran BPJS seperti tercantum dalam Pasal 34 ayat (1), (2) Perpres No. 75 Tahun 2019 itu, karena Pasal 34 ayat (1) dan (2) PP 75/2019 bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28H, dan Pasal 34 UUD 1945.

Selain itu majelis hakim juga menilai pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 4, Pasal 17 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN); Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (UU BPJS); dan Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 171 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Pada awalnya pihak penyelenggara JKN melalui Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma’ruf (09/03) mengatakan, pihak BPJS Kesehatan belum menerima salinan keputusan MA sehingga belum bisa berkomentar lebih lanjut. BPJS Kesehatan berprinsip akan mengikuti setiap keputusan resmi dari pemerintah.

Selang beberapa Minggu kemudian, tepatnya pada 31 Maret 2020, putusan pembatalan iuran program JKN KIS segmen PBPU ditayangkan melalui website resmi MA. Mewakili BPJS Kesehatan, Iqbal pun kembali menyampaikan pernyataannya.

“BPJS Kesehatan telah mempelajari dan siap menjalankan putusan MA tersebut. Saat ini pemerintah dan kementerian terkait dalam proses menindaklanjuti putusan MA tersebut dan sedang disusun Perpres pengganti.” Jelas Iqbal dalam press releasenya (02/04).

Sesuai aturan MA, tindak lanjut putusan MA dapat dieksekusi oleh tergugat dalam kurun waktu 90 hari setelah putusan dikirim kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan melalui peraturan baru/pengganti. Apabila dalam kurun waktu tersebut tidak dikeluarkan aturan baru maka pasal 34 Perpres 75/2019 tidak mempunyai kekuatan hukum atau dibatalkan.

Menurut Iqbal, BPJS Kesehatan telah bersurat kepada pemerintah, dalam hal ini Sekretaris Negara untuk menetapkan langkah-langkah yang dapat dilakukan BPJS Kesehatan selanjutnya. Ia berharap masyarakat tidak perlu khawatir, sebab BPJS Kesehatan telah menghitung selisih pembayaran iuran peserta segmen PBPU/Mandiri dan akan dikembalikan kepada peserta segera setelah aturan baru keluar.

“Teknis pengembalian akan diatur lebih lanjut, antara lain kelebihan iuran tersebut akan menjadi iuran pada bulan berikutnya untuk peserta”. Tutup Iqbal.

Namun keterangan berbeda disampaikan oleh Kepala biro Hukum dan Humas MA, Abdullah dikutip dari laman Hukumonline.com. Menurut Abdulah putusan pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini berlaku sejak tanggal diputuskan yaitu pada tanggal 27 Februari 2020 atau tidak berlaku surut. Karena itu, masyarakat yang sudah membayar iuran sejak tanggal 1 Januari 2020 hingga sebelum ada putusan ini tetap mengacu Perpres No. 75 Tahun 2019.

Dengan demikian, pembayaran iuran BPJS Kesehatan yang mengacu Perpres No. 75 tahun 2019 sebelum adanya putusan MA ini tetap sah. “Berlakunya putusan ini sejak pengucapan putusan. Putusan ini tidak berlaku surut ke belakang, tetapi berlaku ke depan,” katanya saat itu.

Dari penjelasan Abdullah dipahami bahwa iuran bulan Januari dan Pebruari tetap menggunakan besaran yang lama dan selisih iuran tidak perlu dikembalikan ke peserta.

Memperhatikan polemik yang terus bergulir sejak awal kenaikan iuran ditetapkan, kekhawatiran masyarakat cukup beralasan, ditambah adanya keterangan berbeda dari pihak terkait, masih adanya celah regulasi yang dapat menjadikan kebijakan itu tidak jelas serta efek lanjutan yang juga akan memperkeruh keadaan.

Inilah beberapa celah dan multiple efek dari pembatalan iuran oleh MA tersebut.
1. Pemerintah diwajibkan membuat Perpres baru dalam kurun waktu 90 hari semenjak salinan putusan dikirimkan. Bagaimana jika selama kurun waktu tersebut tidak dikeluarkannya peraturan baru? Maka Perpres 75/2019 pasal 34 akan dibatalkan. Dari celah ini pemerintah bisa saja tidak membuat aturan baru, otomatis 3 bulan lagi pasal itu tidaklah punya kekuatan hukum yang mengikat. Ini juga berarti 3 bulan kedepan, iuran masih tetap naik 100 persen. Apabila ini terjadi, tentu BPJS Kesehatan selaku penyelenggara akan kelimpungan mengatur teknis pelaksanaannya.
2. Rumitnya teknis pengembalian dana peserta, sebab selain peserta yang sudah membayar iuran, ada juga peserta yang tengah menunggak iuran dan peserta yang sedang dikenakan denda pelayanan di RS akibat keterlambatan pembayaran iuran. Diperlukan ketelitian, kehati-hatian dan efektifitas, sebab jika tidak, kesemrawutan pengembalian bisa terjadi dan menyebabkan sistem crash (eror).
3. Kenaikan iuran yang dibatalkan hanya untuk peserta PBPU, namun tidak untuk peserta PBI. Artinya dengan manfaat yang sama, iuran PBPU kelas 3 akan lebih rendah dari iuran PBI yang dibayarkan pemerintah yaitu membayar Rp.25.500,- untuk PBPU dan Rp.42.000,- untuk PBI. Padahal dulunya iuran PBI lebih rendah dari PBPU yang nilainya hanya Rp.23.000,-. Apakah seluruh Pemerintah Daerah akan menerima perbedaan besaran itu dengan manfaat yang sama? Apa pemerintah juga akan menurunkan iuran PBI padahal tidak termasuk pokok gugatan?
4. Dengan dibatalkannya kenaikan iuran maka ancaman serius kepada BPJS Kesehatan terutama untuk pembayaran klaim RS, dari dana mana lagi untuk menutup defisit yang semakin mengangga? Bagaimana juga nantinya alokasi pembiayaan kepada RS tiga bulan kedepan? Apakah RS tidak kelimpungan sehingga rawan turunnya pelayanan bahkan turunnya manfaat ditengah penanganan wabah?
5. Akankah BPJS Kesehatan membuka kran penerimaan bantuan dari filantropis? kemudian menjadi setengah komersialisasi dan setengah swastanisasi sebagaimana rancangan Omnibuslaw bidang Kesehatan?

Polemik tetap saja terjadi dan kekhawatiran akan selalu ada, selama jaminan sosial masih diantara ketidak pastian dan ketidak jelasan regulasi dan koordinasi. Tetapi bagaimanapun polemik dan kekhawatiran itu, seluruh masyarakat masih menaruh harapan besar pada BPJS, sebagai salah satu penyelamat kesejahteraan dan kebanggaan bangsa. Bagi mereka BPJS harus tetap ada dan senantiasa menebar manfaat, terserah pemerintah bagaimanapun mengaturnya.

Rakyat masih menunggu, sebuah kebijaksanaan dari para pejabat yang dikontrak sekian tahun untuk dititipi mandat dan amanah. Gotong royong bukan menodong, BPJS adalah jaminan bukanlah arisan.

Ipang s

Pos terkait