Meneropong Jalan JKN, melalui Peraturan Presiden No. 64/2020 (Bagian 3)

Sampang, KPonline – Dengan peneropongan dan pembahasan Perpres 64/2020, maka terkuaklah sedikit gambaran jalan program JKN di masa datang. Ini harus menjadi daya motivasi dan bekal instrospeksi diri.

Sebuah diskursus​

Bacaan Lainnya

Dengan menaikkan iuran, pemerintah dinilai gagal mengejawantahkan amanah UU SJSN. Pemerintah juga dianggap “sengaja” mengingkari Undang-Undang, dan membangkang terhadap putusan tertinggi institusi hukum di Indonesia. Contoh buruk ini tidak boleh terulang.

Sebagai warga negara, seluruh masyarakat seharusnya tidak rela, jika program yang membanggakan dan penuh manfaat ini semrawut dan tidak jelas nasibnya, apalagi hanya gara-gara “secuil” defisit anggaran dari total APBN sebesar 2000 Triliun.

Pelaksanaan TAP MPR RI No X/MPR/2014 angka 5 huruf a, seharusnya menjadi jawaban atas semua persoalan keuangan. Prioritas pembangunan manusia kok jaminan kesehatannya lemah, tidak ada orang yang kuat tapi tidak sehat.

Kompleksnya masalah JKN, tidak boleh diselesaikan secara parsial dan penuh ego sektoral (tarik ulur kepentingan). Pesertanya diwajibkan gotong royong, kok antar institusi tidak bisa saling sokong. Maka untuk mengurai permasalahan jaminan sosial, peran sentral tiga institusi haruslah optimal. Yaitu, DJSN, Kementrian Keuangan dan Kementerian Kesehatan.

Sebagai “juru mudi”, DJSN harus memastikan orientasi, harmonisasi dan implementasi jaminan sosial, supaya bisa dinikmati seluruh lapisan masyarakat dengan nyaman dan sesuai tujuan. Pada dasarnya, jaminan sosial di Indonesia mempunyai sifat yang unik dan impresif. Tinggal bagaimana DJSN menggali lebih dalam lagi, filosofi, karakteristik serta segala resource yang ada, termasuk memunculkan kemandirian anak bangsa agar tidak bergantung produk kesehatan dari luar. Sistem INA-CBG’s misalnya.

Kementrian keuangan sebagai “juru bayar” kurang tepat bila jaminan sosial dihitung untung ruginya. Jaminan kesehatan adalah investasi jangka panjang negara untuk melindungi martabat dan masa depan generasi penerus bangsa. Masak sih sistem keuangan tidak bisa membedakan antara program negara dengan program pemerintah? Tanggung jawab negara malah dilemparkan ke Pemda.

Pemerintah yang saklek mengikuti teori aktuaria seperti perusahaan asuransi komersial dalam menghitung resiko dan keuntungan perusahaan, adalah pengkerdilan makna jaminan sosial dan terseret logika pasar. Warga negara ini bukan pangsa pasar apalagi barang dagangan. Jaminan bukan arisan.

Kementrian Kesehatan adalah “juru layan”, garda terdepan dan paling diharapkan, bisa dikatakan baik buruknya JKN, bergantung pada pelayanan kesehatan. Hampir seluruh standart dan teknis pelayanan medis, dibawah ketentuan regulasi Kementerian Kesehatan. Kalau tanpa disokong Sistem Kesehatan Nasional yang tangguh dan terintegrasi maka pelaksanaan JKN, hanya akan jadi bahan pergunjingan. Pandemi mungkin memporak porandakan sistem kesehatan​, tetapi kenyataannya JKN tetap menjadi tulang punggung masalah kesehatan masyarakat.

Terakhir, sebagai badan hukum publik, yang bertujuan nirlaba dengan dimodali dana amanah, BPJS Kesehatan tidak pantas disebut operator, yang seolah-olah menjadi “juru kunci” dan ajang tarik ulur kepentingan dalam bidang kesehatan. Padahal, BPJS Kesehatan bukanlah pembayar klaim perawatan, bukan pula pemberi layanan kesehatan. Mereka itu investor dan protektor kesehatan, kenapa malah jadi bulan-bulanan dan pembuangan sampah masalah kesehatan?

Sampai kapanpun, selama program JKN BPJS Kesehatan tanpa sistem keuangan yang transparan dan berkeadilan, serta tanpa sistem kesehatan nasional yang kuat dan berkemanusiaan maka masa depan JKN masih buram dan jalannya bergelombang.

Perpres bukan vonis akhir, apapun jalan yang dipilih untuk JKN, kita semualah yang menentukan sekaligus merasakan. Terngiang kutipan Said Iqbal ketika memperjuangkan jaminan sosial, “Tidak akan pernah ada keadilan sosial tanpa jaminan sosial.” (ISA)

(Tamat)

Pos terkait