Mencari Cara untuk Terus Bersuara

Buruh melakukan aksi lapangan dan virtual, Selasa, 29 Desember 2020. Dalam aksinya, buruh mengusung keranda, sebagai kritik atas matinya hati nurani penguasa. Foto: Kahar S. Cahyono

Jakarta, KPonline – Ketika pandemi masih mengintai, bukan berarti kita harus berdiam diri. Apalagi, di saat bersamaan, ada banyak kebijakan yang kita anggap merugikan. Lahirnya UU Cipta Kerja adalah salah satunya.

Ya, UU Cipta Kerja merupakan baleid yang lahir di saat pandemi sedang menggila. Sayangnya, ia bukan penangkal bencana. Bagi buruh, bahkan dinilai sebagai ‘bencana’ yang sesungguhnya.

Ketika diam dianggap memberikan persetujuan terhadap kebijakan tersebut, maka satu-satunya cara yang harus kita lakukan adalah menyuarakan ketidak setujuan atas kebijakan tersebut.

Tapi bagaimana caranya? Bukankah dalam situasi seperti ini, berkerumun adalah sesuatu yang harus kita hindari?

Untuk itu, kita tak boleh kehabisan akal. Karena itulah, pilihan untuk mengkombinasikan aksi lapangan dan aksi virtual adalah sesuatu yang layak untuk kita apresiasi.

Aksi lapangan tidak melibatkan banyak orang. Hanya puluhan. Tetapi aksi tersebut disiarkan langsung melalui media sosial. Dan secara bersamaan, buruh-buruh yang tidak mengikuti aksi lapangan, melakukan 3 M.

Eit, tunggu dulu. Ini bukan 3 M untuk pencegah Covid. 3 M yang saya maksud adalah menonton, mengomentari, dan menyebarluaskan.

Dengan demikian, siaran langsung di media sosial itu bisa menjangkau ratusan ribu orang. Jika lebih maksimal, bahkan tidak menutup kemungkinan bisa tembus di angka jutaan.

Dampaknya, isu omnibus law akan kembali menguat. Orang-orang akhirnya tahu, jika buruh masih melakukan perlawanan untuk menuntut agar UU Cipta Kerja dibatalkan.

Dalam aksi tersebut, berbagai poster berisikan tuntutan juga dibentangkan. Mulai dari menolak upah minimum bersyarat hingga dihapuskannya upah minimum sektoral. Aksi pun dibuat semenarik mungkin. Beberapa kawan yang melakukan aksi, tubuhnya rela dicat. Jadilah mereka manusia perak.

Kami juga membuat keranda. Sebagai symbol matinya hati nurani para penguasa. Mereka dinilai tidak lagi peduli dengan nasib kaum buruh.

Di Jakarta, aksi hanya berlangsung selama 2 jam. Dimulai dari pukul 10 dan berakhir pukul 12.00 WIB. Biar pun tidak lama, yang penting isunya naik. Di samping, aksi yang hanya 2 (dua) jam ini juga bagian dari protocol pencegahan covid.

Oh ya, bicara tentang pencegahan covid-19, dalam aksi ini pihak kepolisian juga meminta agar peserta aksi melakukan rapid tes. Disediakan oleh petugas sih, jadi gratis.

Kami sempat deg-degan, jangan-jangan ada di antara kami yang reaktif. Tapi setelah swab, kami semua dinyatakan negatif.

Tidak hanya di Jakarta, aksi juga dilakukan di berbagai daerah yang lain. Di Jawa Timur, aksi dipusatkan di Gedung Grahadi Surabaya. Buruh di Kota Cimahi pun menyuarakan penolakan.

Sedangkan di Batam, aksi dilakukan di depan kantor Walikota. Sayangnya, aksi di Batam ini dibubarkan oleh aparat kepolisian.

Tentu kami menyayangkan pembubaran aksi damai tersebut. Apalagi aksi itu hanya diikuti sekitar 30-an orang. Tidak banyak. Setidaknya masih jauh lebih banyak dari buruh yang bekerja di dalam pabrik, yang dalam hal ini juga berkerumun.

Perjuangan memang masih panjang. Untuk itu, di awal tahun ini, mari kembali persiapkan barisan.