Lagi, kesalahan Fatal UU Cipta Kerja Yang Sudah di Teken Presiden Jokowi

Jakarta,KPonline – Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sudah meneken Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang terdiri atas 1.187 halaman. Publik pun bisa mengakses dan mengunduh UU yang diklaim bisa mempermudah investasi itu di laman jdih.setneg.go.id bagian produk hukum terbaru.

UU ini disahkan pada 2 November 2020 dan ditandatangani sebagai pengesahan oleh Presiden Joko Widodo. Namun berdasarkan penelusuran, ada yang aneh dari UU ini.

Bacaan Lainnya

Ada sejumlah salah ketik fatal di UU yang telah disahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Senin (2/112020) ini.

Padahal salah ketik fatal ini tidak bisa dibenarkan begitu saja lantaran UU Cipta Kerja sudah telanjur disahkan. Jika pemerintah ingin membetulkan salah ketik fatal itu harus mengeluarkan peraturan setingkat di bawah UU. Diwarnai salah ketik fatal, lalu bagaimana nasib UU Cipta Kerja? Bisakah dilaksanakan?

Lalu dimana saja salah ketik fatal dalam UU Cipta Kerja ini?

Halaman 6 UU Cipta Kerja Pasal 6 berbunyi:
Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi:
a. penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko;
b. penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha;
c. penyederhanaan Perizinan Berusaha sektor; dan
d. penyederhanaan persyaratan investasi.

Lalu apa bunyi Pasal 5 ayat 1 huruf a?

Pasal 5 ayat 1 huruf a tidak ada. Sebab, Pasal 5 adalah pasal berdiri sendiri tanpa ayat. Pasal 5 berbunyi:

Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait.

Kesalahan fatal lainnya yaitu di halaman 757
(3) Dalam hal permohonan diproses melalui sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem elektronik menetapkan Keputusan dan/atau Tindakan sebagai Keputusan atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang.

(4) Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden.

Apa kesalahannya? Ayat (5) di atas harusnya berbunyi:

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Presiden.

Ayat 5 itu harusnya merujuk ayat 4, tapi ditulisnya 3,

Menurut pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, kesalahan tersebut fatal. Mengapa? Bivitri menyebut undang-undang (UU) tidak bisa diimajinasikan ‘tahu sama tahu’ ketika waktu dilaksanakan, melainkan harus sesuai dengan apa yang tertulis di UU.

“Jadi, terhadap kesalahan di Pasal 6 itu, tidak bisa lagi dilakukan perbaikan secara sembarangan seperti yang terjadi sebelum UU ini ditandatangani [yang itu pun sudah salah],” ujar Bivitri seperti dikutip dari detikcom, Selasa (3/11/2020),

Apa dampak hukumnya? Pasal-pasal yang sudah diketahui salah, tidak bisa dilaksanakan. Karena dalam hukum, tidak boleh suatu pasal dijalankan sesuai dengan imajinasi penerap pasal saja, harus persis seperti yang tertulis.

“Dampak lainnya, meski tidak ‘otomatis’, ini akan memperkuat alasan untuk melakukan uji formal ke MK untuk meminta UU ini dibatalkan,” papar Bivitri,

Apa yang bisa dilakukan? Kalau pemerintah mau membuat ada kepastian hukum agar pasal-pasal itu bisa dilaksanakan, bisa keluarkan Perppu, karena UU ini tidak bisa diubah begitu saja

“Kalau cuma perjanjian, bisa direnvoi, dengan membubuhkan tanda tangan semua pihak di samping, kalau di UU tidak bisa, tidak diperbolehkan menurut UU 12/2011 dan secara praktik tidak mungkin ada pembubuhan semua anggota DPR dan presiden di samping [tulisan yang salah ketik],” cetus Bivitri.

“Yang jelas semakin tampak ke publik, bagaimana buruknya proses ugal-ugalan seperti ini. Seakan-akan mengerdilkan makna pembuatan UU, padahal UU itu seperti kontrak sosial warga melalui wakil-wakilnya [dan itu pun sudah disimpangi dengan tidak partisipatif dan tidak transparannya proses penyusunan dan pembahasan]. Ini akibatnya kalau tujuan buruk menghalalkan segala cara,” sambung pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu.

Pos terkait