KSPI Desak MA dan MK Tidak Menghambat Proses Judicial Review PP Pengupahan

Ratusan buruh sedang aksi di Mahkamah Konstitusi, desak agar tidak mengulur-ulur proses Judicial Review. (Foto: Agung Hermawan)

Jakarta, KPonline – Presiden KSPI, Said Iqbal menduga MA dan MK sengaja menghambat proses Judicial Review PP No. 78 Tahun 2015 karena sudah lima bulan berkas Judicial Review (JR) yang diajukan oleh Gerakan Buruh Indonesia, tidak di proses oleh Mahkamah Agung dengan alasan masih ada proses Judicial Review di Mahkamah Konstitusi terhadap UU 13/2003 yang masih memiliki kaitan dengan PP Pengupahan tersebut.

Karenanya, hari ini Rabu (6/4/2016), ratusan orang buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan aksi unjuk rasa di Mahkamah Konstitusi (MK) dan dilanjutkan ke Mahkamah Agung (MA) dengan tuntutan Cabut PP 78 tentang Pengupahan.

Bacaan Lainnya

Selanjutnya Iqbal menjelaskan, aksi di MK ini untuk mendesak para hakim konstitusi untuk segera menyelesaikan JR terkait beberapa pasal dalam UU No. 13 Tahun 2003. Sebab dengan belum selesainya JR UU 13/2003 di MK, maka JR di MA terhadap PP 78/2015 belum bisa dilakukan.

“Kami minta agar akhir April ini segera diselesaikan. Kita khawatir, jika MK mengulur-ulur waktu, maka MK juga menjadi bagian dari rezim upah murah,” kata Iqbal.

Ratusan buruh sesang aksi di Mahkamah Konstitusi, desak agar tidak mengulur-ulur proses Judicial Review. (Foto: Agung Hermawan)
Ratusan buruh sesang aksi di Mahkamah Konstitusi, desak agar tidak mengulur-ulur proses Judicial Review. (Foto: Agung Hermawan)

 

Adapun urgensinya mencabut PP 78/2015 :

Pertama, PP tersebut membatasi kenaikan upah minimum dan menghilangkan mekanisme perhitungan berbasis. Kebutuhan hidup layak

Kedua, Menghilangkan hak berunding serikat buruh sehingga melanggar konstitusi, UU No. 13 Tahun 2003, Konvensi ILO No. 87 tentang kebebasan berserikat, Konvensi ILO No. 89 tentang Hak Berunding, termasuk melanggar Konvensi ILO No. 131 yang mengatur kewajiban melakukan konsultasi dengan buruh untuk menentukan upah minimum.

Ketiga, seiring dengan diberlakukannya PP 78/2015, pemerintah juga melakukan kriminalisasi. Kondisi ini seperti yang dilakukan rezim Soeharto. Jika untuk mengejar pertumbuhan ekonomi Soeharto menerapkan stabilitas keamanan, maka yang dilakukan rezim Jokowi – JK adalah dengan melakukan kriminalisasi terhadap buruh dan gerakan rakyat.

Tujuannya sama, untuk membungkam gerakan rakyat yang kritis terhadap pemerintah.

“Seperti yang terjadi pada 26 aktivis buruh, yang kini menjadi terdakwa karena menolak PP 78/2015. Tidak hanya itu, bahkan aparat kepolisian juga melalukan tindakan represif dan mengancam buruh, seperti yang terjadi di Kawasan Industri Bekasi,” kata Iqbal. (*)

Pos terkait