Konsep Perjuangan Disparitas Upah FSPMI Jawa Timur

Surabaya, KPonline – Antara ring 1 dan di luar ring 1, disparitas upah yang ada di Jawa Timur terasa sangat lebar. Menurut data UMK 2018 dapat disimpulkan bahwa besaran disparitas tersebut lebih dari 120 % (UMK Ring 1 rata-rata sebesar 3,6 juta, sedangkan di luar Ring 1 rata-rata sebesar 1,5 juta).

Mirisnya kenyataan disparitas itu terjadi di seluruh daerah di Indonesia. Besarannya bisa cek sendiri di internet. Pertanyaannya apakah kaum buruh akan diam saja saat dibodohi dengan sistem pengupahan berdasarkan PP 78/2015 ini?

Bacaan Lainnya

Semenjak 2016, Seluruh elemen SP/SB se- Jatim telah berusaha dengan berbagai upaya untuk mencarikan solusi dari permasalahan ini. Terlebih lagi setelah peringatan MayDay 2018, mereka semakin serius dan gencar memperjuangkan hal itu.

Termasuk FSPMI, yang telah memiliki strategi khusus guna memperjuangkan nya. Yuk.. kita intip strateginya.

Beberapa saat lalu dalam acara Halal bihalal FSPMI Jatim disampaikan, bahwa sebagian cara yang ditempuh adalah memulai dari pengembangan FSPMI di daerah-daerah di luar Ring 1, melakukan survey KHL secara mandiri di seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Timur sehingga Dewan Pengupahan mempunyai data pembanding yang real dan yang terakhir mengadakan seminar tentang Pengupahan.

Semua hal diatas sangat perlu dilakukan, mengingat masih banyak buruh diluar Ring 1 yang belum faham proses dan mekanisme sistem pengupahan. Harus digarisbawahi, salah satu cara untuk memberikan informasi sistem pengupahan adalah melalui keberadaan Serikat Pekerja. Dan itu adalah langkah awalnya.

Hingga 2018, FSPMI Jawa Timur sudah memenuhi target terbentuknya 11 Kantor Cabang di Kabupaten/Kota dan di 2019 nanti diharapkan terbentuk lagi minimal 25 Kantor Cabang.

Strategi selanjutnya adalah melakukan pelatihan pengupahan di seluruh daerah berbasis FSPMI, dengan itu terbentuklah kader yang mumpuni dan bisa mewakili FSPMI di Dewan Pengupahan. Buruh tidak cukup hanya bersuara lewat jalanan saja, namun juga harus bisa mengawal aspirasinya di Dewan Pengupahan.

Langkah seterusnya adalah melakukan survey KHL, hasil pelatihan pengupahan dipraktekkan langsung di lapangan. Kegiatan yang menguras energi dan di tunggu-tunggu yaitu blusukan ke pasar-pasar. Selama ini baru terungkap, terutama di Kabupaten/Kota yang upahnya rendah, ternyata tidak ada proses survey KHL. Munculnya nilai KHL tidak berdasarkan data aktual, malah sebagian nilai dihasilkan dari otak-atik nilai di depan layar komputer. Sungguh memprihatinkan…

Ketika survey sudah dilaksanakan, maka data hasil survei akan dijadikan bahan untuk mengadakan Seminar Pengupahan, dimana pada agenda tersebut mengundang para pemangku kebijakan antara lain Buruh, Dinas Tenaga Kerja (Pemerintah), Pengusaha dan Dewan Pengupahan. Dari kegiatan itu terjadilah pertukaran informasi yang akhirnya pemerintah/pihak setempat bisa memahami konsep dan besaran rumusan upah yang seharusnya masuk dalam rekomendasi Bupati/Walikota. Nantinya rekomendasi itu akan di serahkan kepada Gubernur untuk ditetapkan.

Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah aksi turun jalan, anggota harus selalu siap ketika turun instruksi dari perangkat untuk melakukan aksi- aksi demonstrasi. Hal ini berguna untuk mendorong agar tuntutan yang sudah terkonsep bisa cepat direspon oleh pemerintah.

Menganut tradisi perjuangan FSPMI yang berdasarkan Konsep, Lobby dan Aksi (KLA), strategi diatas masih tergolong dalam kategori Konsep. Untuk strategi dan taktik selanjutnya akan di kupas kemudian.

Tidak ada perubahan, tanpa pergerakan. Berserikat menjadikan buruh bermartabat.

(Khoirul Anam/Sidoarjo)

Pos terkait