Kolaborasi Konsumen dan Gerakan Serikat Pekerja Menolak GTO

KSPI dan ASPEK Indonesia mendatangi Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) untuk mendiskusikan permasalahan otomatisasi jalan tol serta dampaknya bagi buruh dan konsumen.

Jakarta, KPonline – Pertemuan antara Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia, dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Selasa (25/9/2017), membawa arti penting bagi gerakan buruh dan konsumen.

Serikat Pekerja dan lembaga konsumen bisa berkolaborasi, misalnya untuk melawan kebijakan yang berpotensi merugikan masyarakat.

Bacaan Lainnya

Di India sebagai contoh, perlawanan terhadap privatisasi listrik dilakukan oleh lembaga konsumen dan gerakan buruh. Di Indonesia, kolaborasi seperti ini bisa dilakukan melalui gerakan cinta rupiah, yang diwujudkan dengan menolak transaksi non tunai.

Terkait dengan kebijakan Gerbang Tol Otomatis di jalan ton yang akan diberlakukan 100 persen pada 31 Oktober 2017, masyarakat pengguna jalan tol sebagai konsumen dan pekerja di jalan tol akan berdampak. Dalam hal ini, posisi serikat pekerja dan lembaga konsumen memiliki pemahaman yang sama. Bahwa Gerakan Nasional Non tunai (GNNT), yang diawali dengan penggunaan uang elektronik di jalan tol harus lebih mengutamakan kepentingan publik.

“Perhatian YLKI jelas berfokus pada pemberian pilihan kepada konsumen. Konsumen tidak boleh dipaksa menggunakan uang elektronik. Harus tetap ada pilihan untuk membayar secara tunai,” kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi.

Tulus mengatakan konsumen tidak boleh dirugikan dengan penggunaan uang elektronik di jalan tol, atau secara lebih luas dalam kebijakan GNNT. Bahkan, YLKI sudah sempat beraudiensi dengan Bank Indonesia untuk membicarakan aspek perlindungan konsumen.

“Kami menyoroti tentang rencana pengenaan biaya isi ulang, saldo mengendap pada kartu uang elektronik yang tidak bisa diuangkan, termasuk perlindungan dana konsumen terhadap kartu yang hilang,” tuturnya.

Pada saat yang sama, Presiden ASPEK Indonesia Mirah Sumirat mengatakan yang paling terdampak terhadap penggunaan uang elektronik secara total di jalan tol adalah pekerja jalan tol, khususnya para pengumpul tol.

Menurut Mirah, satu gerbang tol biasanya ditangani lima orang yang bekerja secara bergantian secara terjadwal. Bila seluruh gerbang tol diotomatisasi, dia menyebut kurang lebih 20.000 pekerja akan terdampak.

“Beberapa kali pihak Jasa Marga menyatakan tidak akan ada pemutusan hubungan kerja. Pekerja akan dialihkan atau diberdayakan di tempat lain. Janji itu selalu kami tanyakan tetapi tidak pernah mendapat jawaban,” kata Mirah.

Alih-alih dialihkan atau diberdayakan di tempat kerja lain, Mirah mengatakan, kemungkinan akan terjadi pemutusan hubungan kerja besar-besaran.

Ada irisan antara kepentingan konsumen dan buruh, yang sama-sama dirugikan dengan adanya kebijakan ini.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, sistem transaksi non tunai di jalan tol dinilai tidak bisa dijadikan solusi untuk mengatasi kemacetan di kota besar seperti Jakarta. Meski menggunakan e-Toll atau uang elektronik, kemacetan parah di Jakarta tidak bisa lagi dihindari. Meskipun saat ini sudah diterapkan transaksi non tunai atau Gerbang Tol Otomatis (GTO)

“Sudah banyak (aduan), karena ternyata memang Jasa Marga salah menginformasikan atau mengiklankan soal efektivitas GTO. Waktu itu dipromosikan ini akan atasi kemacetan, padahal sangat tidak. Karena volume traffic yang ada itu sudah jauh lebih parah dibandingkan hanya masalah antrean di dalam loket pembayaran,” kata Tulus seperti diberitakan viva.co.id, Jumat (22/9/ 2017).

Ia menegaskan, penggunaan e-Toll sudah tidak efektif untuk menangani kemacetan. Sebab, volume kendaraan yang ada sudah melewati kapasitas jalan yang ada di Ibu Kota.

“Karena volume traffic kendaraan yang sudah sangat crowded maka sebenarnya e-Toll ini tidak efektif untuk atasi kemacetan. Jadi jangan mimpi, Jasa Marga atau operator tol mengatakan dengan e-Toll akan mengurangi kemacetan. Bahkan kita sebelum masuk pun sudah macet dan keluar juga sudah macet,” kata dia.

Dengan demikian jelaslah sudah. Selain masyarakat tidak akan mendapatkan nilai tambah dari penggunaan e-Toll, buruh justru akan terdampak karena kehilangan pekerjaan. Masalah sosial yang lebih besar bukan tidak mungkin akan terjadi akibat kebijakan ini.

Pos terkait