“Kalo Protes ke Pak Jokowi Saja, Pak!”

ASPEK Indonesia bersama Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bertekad akan mengawal seluruh proses penegakan hukum hingga eksekusi dilaksanakan oleh Gubernur Banten.

Jakarta, KPonlione – Viralnya video pengemudi tol yang berdebat dengan petugas gardu tol, karena pengemudi hanya mau membayar dengan uang Rupiah tunai, membuat saya teringat pada satu kejadian. Dalam video asli yang saya terima, terlihat bagaimana petugas tol berusaha dengan sabar meladeni pengemudi tol, dan sempat beberapa kali petugas mengatakan kepada pengemudi: “Kalo protes ke Pak Jokowi saja, Pak.”

Pastinya kata-kata “Kalo protes ke Pak Jokowi saja, Pak” itu bukan bagian dari standard operating procedure yang ditetapkan oleh PT Jasa Marga.

Bacaan Lainnya

Ketika saya ngobrol dengan beberapa kawan yang bekerja sebagai petugas tol, mereka mengatakan, “Manusiawi Bang. Karena kami yang selalu pertama kali diprotes oleh pengguna jalan.”

Sesungguhnya banyak masyarakat yang protes kepada petugas gardu tol terkait pemberlakuan transaksi non tunai ini. Bedanya, protes dari para pengemudi tersebut tidak direkam oleh video dan tidak menjadi viral.

“Kami harus sabar dan wajib selalu tersenyum dalam menghadapi protes dari pengguna jalan, karena kami yang berhadapan langsung dengan penggguna jalan,” begitu cerita mereka.

‘Ngototnya’ PT Jasa Marga memberlakukan 100% transaksi non tunai di gardu tol tidak terlepas dari Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang dicanangkan oleh Bank Indonesia pada Agustus 2014. Kemudian Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ‘mengeksekusi’ dengan mengeluarkan Peraturan Menteri No.16 tahun 2017 tertanggal 12 September 2017, yang mewajibkan seluruh gardu tol terhitung 31 Oktober 2017 hanya menerima pembayaran dengan ‘uang plastik’ elektronik produk dari bank BUMN dan bank swasta.

PT Jasa Marga sebagai BUMN operator jalan tol langsung ambil langkah cepat untuk melakukan pengadaan mesin card reader demi mensukseskan 100% gardu tol otomatis (GTO). Seperti efek bola salju, kemudian seluruh perusahaan swasta operator jalan tol juga memberlakukan sistem pembayaran non tunai karena ‘dipaksa’ oleh Peraturan Menteri PUPR tersebut. Tidak cukup sampai di situ, dampaknya saat ini 20.000 pekerja jalan tol terancam di-PHK.

Video yang viral itu kemudian ditanggapi beragam oleh masyarakat. Ada yang membela petugas tol, ada yang membela pengemudi tol dan ada juga yang menyalahkan Pemerintah karena mengeluarkan kebijakan yang merugikan konsumen dan hanya menguntungkan pihak bank.

Beberapa lembaga diantaranya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Ombudsman, DPR, Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, bahkan jauh-jauh hari sebelum adanya video viral tersebut, sudah meminta kepada Pemerintah untuk tidak memberlakukan 100% gardu tol otomatis karena melanggar Undang-Undang Mata Uang dan Undang Undang Perlindungan Konsumen serta berpotensi terjadinya PHK massal. Namun semua itu tidak digubris oleh Pemerintah, yang sepertinya sudah ‘kebelet’ untuk ‘menghabisi’ manusia, yang nota bene adalah rakyat Indonesia, dengan mesin-mesin canggih.

Pemerintah seperti kehilangan logika bahwa secanggih apapun mesin non tunai di gardu tol tidak akan bisa mengatasi kemacetan. Kemacetan terjadi justru karena jumlah kendaraan yang sudah jauh melebihi kapasitas jalan.

Saya ingin memberi contoh nyata, jika mesin otomatis dianggap bisa mengurangi kemacetan, para pengguna jalan tol yang biasa melewati ruas jalan Semanggi Jakarta pastinya bisa mencermati, mengapa gerbang tol Semanggi 1 yang sudah 100% menggunakan mesin, pada waktu-waktu tertentu sering ditutup dan menimbulkan kemacetan kemana-mana? Itu karena ruas jalan tol dalam kota sudah macet total bahkan sebelum pengguna jalan masuk ke gerbang tol.

Lantas pertanyaannya, siapa yang diuntungkan dengan otomatisasi gardu tol? Apakah onsumen? Jelas tidak! Yang paling diuntungkan dari 100% GNNT & 100% GTO adalah pihak bank penerbit ‘uang plastik’ karena bisa menarik dana masyarakat secara mudah dan cepat. Mudah karena bank ‘dibekingi’ oleh Negara dan cepat karena konsumen tidak punya pilihan harus membeli e-toll seharga 50.000 dan bank bisa langsung dapat 20.000 biaya kartu bahkan sebelum kartu itu digunakan. Belum lagi keuntungan bank dari biaya top up.

Terlepas dari pro kontra terhadap video viral itu, sesungguhnya seluruh konsumen dan pekerja tol di Indonesia selayaknya berterima kasih kepada para pelaku di video itu. Video itu mewakili suara jutaan konsumen yang akan dieksploitasi uangnya dan juga mewakili puluhan ribu pekerja tol yang nasibnya terancam di-PHK. Video itu membuka mata kita bahwa masih banyak rakyat Indonesia yang membutuhkan pekerjaan di saat masih ada 7,7 juta pengangguran. Video itu juga mengingatkan kita pada janji Jokowi saat kampanye pemilihan presiden tahun 2014 yang lalu, dimana beliau berjanji menciptakan 10 juta lapangan pekerjaan.

Pertanyaannya, mengapa justru Pemerintah yang bernafsu untuk mengganti manusia dengan mesin? Hal ini justru akan menimbulkan jutaan pengangguran baru akibat GNNT yang dicanangkan oleh BI.

Ya, jutaan pengangguran baru karena GNNT tidak saja akan menghabisi pekerja jalan tol namun juga akan menghabisi jutaan pekerja di bank, supermarket, telekomunikasi, logistik dan lain-lain.

Perkembangan teknologi memang tidak bisa dibendung. Namun apakah salah jika Negara memproteksi setiap warga negaranya untuk bisa menjamin rakyatnya mendapat pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan?

Masyarakat hanya meminta agar setiap gardu tol bisa untuk transaksi tunai dan non tunai. Toh, jika menilik dari laba bersih BUMN PT Jasa Marga setiap tahun selalu meningkat.(2014 Rp1,42 triliun, 2015 Rp1,46 triliun, 2016 Rp1,88 triliun). Bahkan di semester pertama 2017 PT Jasa Marga telah membukukan laba bersih Rp1,01 triliun. Dana BUMN sebesar itu seharusnya bisa turut memakmurkan dan membebaskan rakyat dari jurang kemiskinan. Upaya ini bisa dimulai dari mempekerjakan sebanyak mungkin manusia di BUMN, bukan justru ‘menghabisi’ manusia dan menggantinya dengan mesin.

Kalimat “Kalo protes ke Pak Jokowi saja, Pak” semoga juga bisa menjadi viral. Bukan karena tanpa alasan, namun mencermati kebiasaan Pak Jokowi yang selalu update dan merespon berdasarkan media sosial yang viral. Mudah-mudahan Pak Jokowi bisa segera merespon untuk menyelamatkan nasib jutaan pekerja yang terancam PHK dan menyelamatkan jutaan konsumen yang terancam dieksploitasi oleh industri perbankan.

Apalagi Pak Jokowi di Istana Negara pada 2 Oktober 2017, sudah tegas mengatakan bahwa beliau adalah kepala pemerintahan, negara dan panglima tertinggi angkatan darat, laut dan udara. Sehingga pantas rasanya jika rakyat mengadu kepada ‘Panglima Tertinggi’ nya.

Kebon Jeruk, 4 Oktober 2017.

Penulis: Sabda Pranawa Djati, SH

Pos terkait