Ketika Sungai Memisahkan Upah Kita

Surabaya, KPonline – Tak bisa dipungkiri keberadaan sungai merupakan salah satu bagian yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan kita sehari-hari bahkan sejak jaman dahulu kala. Sungai berlimpah dengan air yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan.

Keberadaan sungai di pedesaan maupun di perkotaan, memiliki fungsi yang cukup penting dalam menunjang sistem drainase dan irigasi baik di kota maupun pedesaan, agar bisa berfungsi maksimal dalam mengatasi upaya pencegahan banjir maupun pengairan.

Bacaan Lainnya

Namun dampak positif sungai yang seperti disebutkan diatas ternyata menimbulkan dampak negatif pula di sebuah wilayah di Jawa Timur, dan wilayah tersebut adalah Kota Mojokerto dan Kabupaten Mojokerto. Lho kok bisa?

Dampak negatif yang dimaksud ialah adanya kesenjangan upah yang terjadi di kedua wilayah yang bersebelahan dan hanya berbatas sungai tersebut. Keberadaan sungai menjadikan disparitas upah yang sangat mencolok. Aneh memang.

Seperti diketahui, upah yang diterima oleh Kabupaten Mojokerto saat ini Rp. 3.565.660, dan upah yang diterima Kota Mojokerto hanya sebesar Rp. 1.886.387. Selisih upah diantara kedua wilayah yang hanya berbatas sungai tersebut bahkan mencapai Rp. 1.600.000 atau 30% !!!

Padahal jika diperhatikan bersama, kebutuhan hidup di dua wilayah tersebut bisa dibilang sama dan dari segi harga pun juga tidak jauh berbeda, salah satu contohnya adalah Sembako, BBM dan TDL.

Dilihat dari sudut kepentingan ekonomi di Jawa Timur, kedua wilayah telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional. Sesuai rencana tata ruang dan tata wilayah Propinsi Jawa Timur, sektor unggulan dari Kabupaten dan Kota Mojokerto adalah perdagangan, jasa serta industri.

Tetapi kenapa terjadi kesenjangan upah yang cukup signifikan diantara kedua wilayah tersebut?

Kondisi itu tidak terlepas dari lahirnya kebijakan pemerintah yang dinilai sangat tidak berpihak kepada masyarakat kecil, terutama kaum pekerja/buruh, salah satunya adalah PP 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.

Sentralisasi kebijakan penghitungan upah bukan lagi ditentukan oleh masing-masing pemerintah daerah berdasarkan kebutuhan masyarakat, akan tetapi di ambil alih oleh pemerintah pusat.

Hal itu dinilai oleh kaum pekerja/buruh telah menghilangkan asas demokrasi, keadilan dan memicu kesenjangan sosial.

Saat ini kaum pekerja/buruh seolah di giring menuju keterpurukan dan ketidakadilan. Bagaimana tidak, dengan adanya produk hukum tersebut membuat upah buruh dihitung hanya berdasarkan hitungan kalkulator yang berpatokan pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi dalam skala nasional, dan parahnya lagi pemerintah dengan sengaja menghilangkan survey kebutuhan hidup layak di masing-masing daerah.

Padahal survey kebutuhan hidup layak (KHL) adalah salah satu unsur yang sangat penting dalam menentukan kenaikan upah kedepannya, karena hanya dengan melakukan survey lah masyarakat ataupun pemerintah bisa mengetahui, kenaikan harga pokok dan kebutuhan riil ter-update di tiap masing-masing daerah, yang nantinya akan di jadikan dasar rekomendasi oleh dewan pengupahan kab/kota maupun dewan pengupahan provinsi di masing-masing wilayah kepada Gubernur.

Dalam regulasi Pasal 88 ayat (4) Undang-Undang No. 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan telah jelas mengatur bahwa “Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.”

Namun sayang di jaman pemerintahan sekarang kedudukan hukum Undang-Undang yang seharusnya lebih tinggi, bisa kalah oleh produk hukum dibawahnya yakni Peraturan Pemerintah (PP) atau bahkan Surat Edaran Menteri, yang sebenarnya bertentangan dengan amanah Undang-Undang atau bahkan lebih buruk lagi.

Hal itupun turut membuat salah satu organisasi serikat pekerja besar di Jawa Timur, yakni KSPI Jawa Timur memberikan julukan baru kepada Gubernur Jatim saat ini, yakni “Manusia Kalkulator”.

Julukan tersebut disematkan oleh KSPI Jawa Timur lantaran sebagai kepala daerah, dirinya dinilai tidak peduli dengan nasib rakyat yang dipimpinnya, padahal dirinya bisa menjadi seorang Gubernur karena dipilih oleh masyarakat Jawa Timur untuk bisa meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial di masyarakat.

STOP DISPARITAS UPAH!!!
MANA JANJIMU PAK DHE KARWO???

Penulis: Abd.Muis

Pos terkait