Kesetaraan yang Tidak Setara

Subang, KPonline -Bagi keluarga yang punya istri, ibu ataupun saudara perempuan yang bekerja sebagai buruh pabrik, di setiap momentum Hari Kartini, orang-orang yang layak disebut Kartini bagi mereka adalah istri, Ibu atau saudara perempuan mereka. Karena perempuan-perempuan tersebut memang layak untuk disebut sebagai Kartini masa kini. Kartini zaman now, anak kekinian menyebutnya.

Masuknya sektor industri dengan penyerapan tenaga kerja atau buruh dari kaum perempuan telah merubah wajah bangsa ini menjadi terbalik.

Bacaan Lainnya

Dimana perempuan berubah menjadi imam bagi ekonomi keluarga, sedangkan para kepala keluarga sesungguhnya mengambil alih tugas domestik rumah tangga. Dunia sudah terbalik memang benar adanya, dan hal ini sedang terjadi di negri ini.

Bicara kesetaraan antara laki-laki dan perempuan didalam rumah tangga, bukan hanya sekedar berbagi tugas domestik rumah tangga tapi lebih kepada bagaimana penghargaan kepada setiap individu. Feminisme dan Maskulinisme adalah perbedaan yang seharusnya dihilangkan ditempat kerja. Dan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan di segala aspek kehidupan, haruslah yang dikedepankan, termasuk menghilangkan perbedaan kesetaraan di tempat kerja.

Tapi nyatanya, bagi buruh pabrik khususnya buruh-buruh pabrik di sektor garmen, masih sangat sulit untuk menegakan kesetaraan gender ditempat kerja. Bukan hanya sekedar perlakuan yang berbeda antara buruh laki-laki dan perempuan dalam hal posisi dan tanggung jawab pekerjaan.

Tetapi dalam hal perlindungan hak-hak buruh-buruh perempuan pun masih sangat sulit di dapatkan secara cuma-cuma. Semuanya harus melalui proses perdebatan di meja perundingan, bahkan terkadang harus disertai dengan tekanan aksi massa (unras), hanya sekedar untuk mendapatkan hak cuti haid saja.

Belum lagi perlakuan yang bersifat pelecehan, baik pelecehan verbal maupun pelecehan seksual yang dilakukan oleh buruh laki-laki kepada buruh perempuan.

Bahkan terkadang pelecehan secara verbal banyak dilakukan oleh buruh perempuan kepada sesama buruh perempuan, terkait target produksi dan penegakan aturan perusahaan. Ini yang sangat mengenaskan

Apalagi kebanyakan buruh-buruh perempuan pabrik garment masih sangat minim kesadaran dan keberaniannya untuk menolak segala bentuk perlakuan diskriminatif maupun menolak pelecehan atas diri mereka. Bisa dibayangkan betapa berat beban seorang buruh perempuan yang begitu berat di tempat kerja masih harus ditambah lagi dengan beban kerja domestik rumah tangga.

Jangan ada lagi pernyataan yang mengatakan, “Siapa suruh perempuan menjadi buruh pabrik, apalagi buruh garment”. Pernyataan yang sangat konyol tersebut, masih sering terdengar dan dilontarkan oleh oknum-oknum Kaum Adam. Negara yang tidak mampu mengelola Sumber Daya Manusia hingga saat ini, seharusnya membuat regulasi yang memberikan perlindungan terhadap Kaum Hawa yang bekerja. Ditambah lagi, hingga hari ini negara memang masih belum mampu menyediakan lapangan kerja yang menyerap tenaga kerja laki-laki.

Tak ada pilihan lain, ketika ketersediaan lapangan kerja justru diperuntukan bagi tenaga kerja perempuan, maka seharusnya diimbangi dengan penegakan kesetaraan gender di tempat kerja. Negara seharusnya tidak sekedar membuat Aturan atau Undang-Undang, tapi juga didukung dengan sosialisasi dan kampanye ke perusahaan-perusahaan yang banyak mempekerjakan buruh-buruh perempuan.

Bagi kami, kaum perempuan, investasi bukanlah hal yang tabu, sesuatu hal yang harus ditakuti apalagi ditolak. Akan tetapi pemenuhan hak perempuan dan kesetaraan di tempat kerja menjadi sangat krusial dan harus terus diperjuangkan. (Esti SR)

Pos terkait