KC FSPMI Bogor Soroti Dampak Buruk Omnibus Law

Bogor, KPonline – Pada Rabu 7 Oktober 2020, buruh-buruh Bogor kembali turun ke jalan, setelah sehari sebelumnya pun juga telah menggelar aksi yang sama. Aksi Mogok Kerja yang serentak dilaksanakan di 20 provinsi ini, ternyata membuat dampak yang cukup besar. Salah satunya adalah kesadaran yang muncul dari buruh-buruh yang selama ini tidak tahu menahu soal RUU Omnibus Law.

“Karena informasi yang beredar pun simpang siur, antara informasi yang diberikan oleh pihak pemerintah, dengan informasi yang disuarakan oleh serikat pekerja/serikat buruh. Informasi yang saling bertolak belakang ini, pada akhirnya mencuat ke permukaan di 2 hari terakhir ini,” ungkap Komarudin Martha kepada Media Perdjoeangan.

Dia juga menyoroti tentang dampak negatif yang akan ditimbulkan akibat telah disahkannya RUU Omnibus Law pada saat Rapat Paripurna DPR RI di Jakarta pada Senin 5 Oktober 2020 yang lalu. Padahal sudah sejak setahun yang lalu, beberapa serikat pekerja/serikat buruh di tingkat federasi ataupun di tingkat konfederasi, telah menyampaikan keberatannya terhadap RUU Cipta Kerja ini.

“Omnibus Law ini jelas sangat merugikan bagi para pekerja, para buruh. Dalam hal pengupahan, UMSK (Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota) dan UMSP (Upah Minimum Sektoral Provinsi) tidak dicantumkan. Bahkan UMK pun tidak dijelaskan secara jelas, seperti yang terdapat pada UU 13/2003. Sehingga sangat jelas, acuan pengupahan para pekerja kedepannya adalah UMP (Upah Minimum Provinsi) yang nilai penetapannya selama ini sangat jauh dengan UMK ataupun UMSK/UMSP,” jelas Komarudin, Ketua Konsulat Cabang FSPMI Bogor, ketika ditemui disela-sela aksi.

Lebih jauh, Komarudin yang juga merupakan Ketua Pimpinan Cabang SPL-FSPMI Bogor, memaparkan dampak Omnibus Law terkait pesangon, cuti, dan beragam penurunan kualitas kesejahteraan kaum buruh, yang selama ini didapat. (RDW/Foto : Tendy)