JKN Antara Gotong Royong, Balas Budi dan Pajak

Surabaya, KPonline – Sebuah kebijakan tidak populis terpaksa diteken Presiden Joko Widodo untuk program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Kartu Indonesia Sehat (KIS) , yang selama ini menjadi andalan program kerjanya.

Opsi menaikan iuran terpaksa dipilih Presiden, demi menyelamatkan keberlangsungan program JKN KIS BPJS Kesehatan dari defisit yang terus membelit. Meskipun pilihan itu bertolak belakang dengan hasil rapat gabungan DPR yang telah dilaksanakan beberapa kali di parlemen.

Bacaan Lainnya

Imbasnya, ratusan juta peserta JKN yang bergantung dalam program jaminan sosial terbesar di dunia ini bagai anak ayam kehilangan induknya. Suara keresahan, kegamangan, dukungan bahkan kritikan mewarnai perdebatan menanggapi kenaikan iuran atau bahasa pemerintahnya “penyesuaian iuran” yang berlaku mulai awal Januari 2020 ini.

Suara Masyarakat

Adalah Nabila Naira, seorang ibu rumah tangga asal Kota Depok yang merasa sangat tertolong dengan adanya program JKN KIS. Keluarganya merasakan benar manfaat besar JKN, dari pembiayaan sakit demam berdarah yang menelan biaya 4 juta rupiah, kemudian kelahiran anak pertama dengan biaya 7 juta rupiah dan kelahiran anak kedua dengan operasi Caesar yang menghabiskan biaya 14 juta rupiah. Semuanya gratis ditanggung program JKN.

Lain halnya dengan Afni Budiana, seorang ibu rumah tangga dari Kota Semarang yang pernah mendapatkan operasi Caesar yang dijamin JKN.

Menurutnya ia selama ini telah sukarela dan patuh membayar iuran setiap bulan. Namun untuk iuran yang naik 2 kali lipat, ia merasa sangat keberatan. Perekonomian keluarganya yang pas-pasan adalah penyebabnya.

Namun begitu ia adalah peserta kelas 1 dan menolak untuk turun kelas. Ia merasakan masih adanya diskriminasi dan kurangnya aspek mutu pelayanan. Bagi dirinya yang menggunakan fasilitas klas 1, pelayanan kadang masih jauh dari harapan, apalagi kalau memilih kelas dibawahnya. Alasan kamar penuh atau perbedaan perlakuan sering kali ia temui saat membutuhkan pelayanan kesehatan.

Kritikan keras datang dari Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Ilham Syah. Menurut Ilham jika hal tersebut benar-benar direalisasikan, maka artinya negara telah menindas rakyatnya. Dengan memaksa rakyat dan memberikan sanksi apabila tidak melakukan, sama artinya pemerintah sedang menuju kediktatoran. Ia pun mempertanyakan konsep BPJS, pajak kesehatan ataukah jaminan kesehatan?

“Kesehatan itu harusnya gratis, negara berkontribusi sebaik-baiknya pada rakyat, karena rakyat juga sudah taat bayar pajak. Bukannya malah membuat kesehatan menjadi industri,” Ungkapnya kepada media.

Dari berbagai suara masyarakat dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat mengganggap iuran JKN sebagai bentuk gotong royong, balas budi atau bahkan juga pajak.

Meluruskan Paradigma

Pemerintah seharusnya membuka pintu dialog menanggapi keresahan dan kegaduhan masyarakat serta meluruskan perbedaan persepsi tersebut, yaitu dengan memperdalam pemahaman tentang filosofi, azas, tujuan dan prinsip Jaminan Sosial. Hal itu diperlukan agar tidak timbul polemik dan konflik di masyarakat atau lahirnya kebijakan yang salah kaprah oleh pemerintah sendiri.

Harus digarisbawahi dengan tebal bahwa BPJS adalah badan hukum publik, penyelenggara Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. SJSN sendiri adalah program negara, bukan program pemerintahan yang sedang berkuasa. Program JKN bertujuan menjamin peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.

Jaminan sosial di Indonesia dilaksanakan atas 3 asas dan 9 prinsip. Asas kemanusiaan, manfaat dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Adapun prinsipnya adalah kegotong royongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan Peserta.

Prinsip Gotong Royong

Dalam lampiran penjelasan UU SJSN diuraikan, prinsip kegotongroyongan adalah ” Prinsip kebersamaan antar Peserta dalam menanggung beban biaya Jaminan Sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap Peserta membayar Iuran sesuai dengan tingkat Gaji, Upah, atau penghasilannya.”

Singkat kata gotong royong adalah menanggung bersama beban biaya jaminan sosial dengan membayar iuran sesuai kemampuan masing-masing peserta. Apakah ini berarti pemerintah dibenarkan menaikan iuran ditengah defisit pembiayaan dan perekonomian yang memburuk?

Kurang tepat kiranya jika pemerintah melimpahkan semua tanggung jawab beban biaya kepada seluruh peserta, apalagi memaksa peserta membayar iuran diluar dari kemampuannya. Faktanya Hasil iuran gotong royong seluruh peserta juga tidak menjamin dapat melunasi seluruh beban biaya JKN KIS.

Kecilnya akumulasi iuran yang terkumpul tidak terlepas dari rendahnya pendapatan dan tidak meratanya upah masyarakat indonesia. Selain itu adanya batasan upah sebagai patokan besaran iuran juga menjadi faktor pendukung tidak maksimalnya pemasukan iuran. Hal itu diperparah lagi masuknya TKA ke dalam peserta mandiri, bukannya penerima upah. Ini jelas-jelas mengurangi pemasukan dan penyelundupan hukum.

Ketika semua peserta telah bergotong royong namun belum mencukupi seluruh beban biaya jaminan sosial, maka disinilah peran serta negara dibutuhkan. Bagaimanapun juga jaminan sosial adalah program negara yang sudah semestinya dibiayai menggunakan anggaran negara bukan hasil arisan peserta.

Dengan menaikkan iuran diluar kemampuan peserta, dapat diduga pemerintah melakukan pemerasan pada peserta dan berupaya memiskinkan mereka. Pemerintah yang melemparkan tanggung jawab seluruh biaya hanya pada peserta, bisa dianggap zalim terhadap hak dasar warga negara, mengingkari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Bayangkan, kenaikan iuran ini dipukul rata seluruh Indonesia. Tidak main-main, kenaikan berkisar 65% hingga 116% sesuai pilihan manfaat kelasnya. Padahal pendapatan peserta/warga negara tidaklah sama di setiap daerahnya, penetapan Upah Minimum dapat dijadikan patokannya, yang pada tahun ini naiknya sebesar 8,51 % saja. Masak iya, mereka yang pendapatannya 2 jutaan, diwajibkan membayar iuran sekeluarga yang nilainya hampir 10% hingga 25% dari total pendapatannya. Jangankan buat bayar iuran, buat makan dan kebutuhan pokok lainnya saja sudah pas-pasan. Gotong royong macam apa ini?

Batasan paling tinggi upah/gaji per bulan yang digunakan sebagai dasar penghitungan besaran iuran peserta juga hanya 12 juta rupiah. Ini tidak hanya berlaku bagi pekerja swasta saja, namun juga untuk pegawai pemerintah dan pejabat negara. Peserta PPU yang upahnya diatas 12 juta, dipotong 1% dari upahnya untuk membayar iuran seluruh anggota keluarganya, atau hanya sebesar 120 ribu saja. Uang 120 ribu bagi mereka tidak lebih seperti uang jajan anaknya dalam satu hari. Tidak ada penjelasan resmi dan alasan pasti, kenapa ditentukan sebesar itu, yang pasti banyak pekerja yang masuk dalam segmen ini, dari mulai Staff Ahli, Pialang saham, Designer, Pengacara, Manager, Youtuber dan sebagainya. Namun adilkah ini untuk peserta mandiri yang harus membayar 800 ribu rupiah per bulan agar mendapatkan kelas perawatan yang sama? Kenapa gotong royongnya terasa berbeda? Atau kalkulatornya mereknya beda??

Penganggaran negara juga jelas mengatur, bahwa Kesehatan mendapatkan porsi 5% dari APBN. Malahan pada TAP MPR RI No.X/MPR/2001 angka 5 huruf a point 4 mengamahkan Presiden untuk meningkatkan anggaran kesehatan sebesar 15% dari APBN agar mencapai syarat minimum HDI (Human Development Index) yang ditetapkan WHO. Katakanlah APBN kita 2000 Triliun, maka 5% nya ada anggaran 100 Triliun untuk kesehatan. Terserah mau dibagi berapa antara Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan, wajarkah defisit 32 Triliun harus dibebankan semua ke peserta?

Perlu dicatat, selama kurun waktu 5 tahun program JKN berjalan, Per akhir september 2019 seluruh warga miskin peserta PBI yang dibayar oleh pemerintah (Pusat maupun Daerah) adalah sebesar 115,5 Triliun, Total pembayaran klaim sebesar 397,31 Triliun dari total penerimaan iuran yang sebesar 362 Trilliun, atau terjadi kekurangan anggaran sebesar 35,31 Trilliun. Sedangkan total dana talangan yang diguyurkan pemerintah sebesar 32,9 Trilliun. Jadi sumbangsih negara selama ini 148,4 T (dari 115,5 T ditambah 32,9 T) atau hanya sepertiga dari total pembiayaan jaminan sosial (397,31 T). Inikah batas kemampuan andil pemerintah dalam memberikan jaminan?

Alasan defisit karena tingginya tunggakan peserta mandiri, harus dicermati antara kemampuan bayar dan kemauan untuk membayar oleh peserta. Bisa jadi naiknya iuran yang diharapkan mengatasi defisit tapi malah memicu penurunan kelas massal atau bahkan menambah peserta menunggak iuran yang berujung defisit malah semakin membesar

JKN bukan program balas budi

Tidak dipungkiri program JKN sangat membantu masyarakat. Biaya pengobatan penyakit dari puluhan hingga ratusan juta, asalkan sesuai indikasi medis pasti akan ditanggung. Sebuah manfaat pelayanan yang tidak satupun asuransi komersial sanggup menyediakan.

Dengan JKN jutaan nyawa telah tertolong, jutaan orang telah diobati dari penderitaan penyakit dan jutaan keluarga bisa lepas dari ancaman kemiskinan. Banyak masyarakat yang telah terbantu program JKN merasa “berhutang budi” pada BPJS Kesehatan.

Mereka menganggap, membayar iuran menjadi salah satu cara membalas budi atau minimal mencoba mengganti ” berjuta kebaikan” dari manfaat yang telah dirasakan. Sehingga berapapun besaran iuran, mereka tetap berusaha membayar meski dengan perekonomian yang semakin sulit. Bagi mereka mencicil “jutaan kebaikan” yang telah menyelamatkan tidak sebanding dengan nilai iuran. Demikiankah makna keadilan dan cara berterima kasih? Sungguh masyarakat yang pengertian dan penuh kerelaan.

Hasil kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI yang dirilis di situs BPJS Kesehatan menyebutkan, pada tahun 2016 JKN-KIS telah menyelamatkan 1,16 juta orang dari kemiskinan. Tak hanya itu, JKN-KIS juga telah melindungi 14,5 juta orang miskin dari kondisi kemiskinan yang lebih parah. Total pemanfaatan JKN-KIS selama 3,5 tahun mencapai 522,9 juta pemanfaatan. Artinya, dalam sehari ada 415 ribu pemanfaatan JKN-KIS, baik di klinik, Puskesmas, dokter pribadi maupun di rumah sakit.

Kebaikan JKN tidak cukup sampai disitu, program JKN-KIS berperan menciptakan lapangan kerja bagi 1,45 juta orang, yang terdiri atas 864 ribu orang di sektor jasa kesehatan pemerintah, 27,2 ribu orang di sektor industri produk farmasi, dan 34,1 ribu orang di sektor industri makanan dan minuman. Jika diproyeksikan hingga tahun 2021, maka JKN-KIS memberi kontribusi ekonomi sebesar 289 triliun dan menciptakan lapangan kerja bagi 2,26 juta orang.

Ini adalah program besar, butuh pembiayaan besar, koordinasi dan komitmen besar, tidak cukup hanya membayar iuran saja. Sayangnya mereka yang telah merasakan kebaikan JKN, kadang melupakan peran dan dukungan pemerintah yang bertanggung jawab pada keberhasilan program negara. Pemerintah sendiri tidak memberikan jaminan bahwa kenaikan iuran akan meningkatkan mutu pelayanan, menegakkan kepatuhan bahkan kesinambungan program. Apakah masyarakat sedang diminta berhalusinasi?

Akar masalah JKN bukan soal iuran semata karena dalam program ini Iuran bukan segalanya. JKN bukan program balas budi, ini program negara untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Jangan manfaatkan kebaikan hati masyarakat untuk lari dari tanggung jawab..

Iuran Berubah Menjadi Pajak

Secara umum, arti jaminan adalah tanggungan atau garansi. Dalam deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan Konvesi ILO No.102 tahun 1952, Jaminan sosial dikategorikan sebagai salah satu bentuk perlindungan sosial yang diselenggarakan oleh negara dalam menjamin warga negaranya untuk kebutuhan dasar yang layak. Jaminan Sosial adalah hak dasar yang dijamin konstitusi.

Menurut Kertonegoro Jaminan Sosial merupakan konsepsi kesejahteraan yang melindungi resiko baik itu dalam bentuk sosial maupun ekonomi masyarakat dan membantu perekonomian nasional dalam rangka mengoreksi ketidakadilan distribusi penghasilan dengan membantu golongan ekonomi lemah.

Namun realitanya, yang katanya jaminan ini dikenakan iuran yang tinggi, kenaikan ini sangat membebani rakyat, belum lagi munculnya denda apabila terlambat membayar, sedangkan masyarakat tidak ada yang menjamin adanya kenaikan pendapatan, Padahal semakin hari biaya kebutuhan pokok lainnya semakin meninggi, uang dari mana untuk membayar? Ini jaminan kok jadi berasa arisan?. Karena iuran yang tinggi dan denda yang dipaksakan, sebagian orang menganggap iuran JKN sudah seperti pajak. Bukankah JKN ini adalah jaminan kesehatan kenapa tidak ubahnya pajak?

Penjelasan mengenai iuran sudah diuraikan diatas, intinya iuran adalah kerelaan peserta membayar sesuai kemampuannya. Karena JKN adalah jaminan tentu ada yang menjamin, tinggal sekarang soal denda. Sederhananya denda adalah paksaan untuk membayar diluar kewajibannya. Apabila memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi No.138/PPU-XII/2014 tentang penggujian UU No.24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial terhadap UUD 1945 bahwasanya, bagi peserta yang menunggak iuran tidak dibenarkan dikenakan denda. Sebab BPJS adalah Badan Hukum Publik yang bersifat niraba, bukan komersial. Paksaan membayar lebih ini tentu kian memberatkan peserta. Meskipun begitu peserta BPJS tetap wajib membayar lunas tunggakannya.

Dengan adanya pajak ganda berupa iuran yang mencekik dan pajak yang umumnya ditarik dari masyarakat, maka beban perekonomian masyarakat akan semakin berat. Belum lagi dihapusnya beberapa subsidi dan kenaikan bahan pokok yang mengikuti mekanisme pasar. Lalu kemanakah pajak yang selama ini sudah dibayar rakyat dialirkan? Untuk dikorupsi lagi? Dari APBN yang sekian ribu trilliun berapa yang terserap? berapa yang telah dikorupsi? Mentoknya rakyat juga yang akhirnya menjadi korban.

Menilik pengelolaan dana JKN yang mirip dengan korupsi dan yang tidak pernah terungkap ke publik adalah Fraud (kecurangan). Fraud adalah segala bentuk tindakan kecurangan dan ketidak wajaran yang dilakukan dengan sengaja oleh berbagai pihak, untuk mendapatkan keuntungan finansial yang lebih besar daripada pelayanan normal dalam program Jaminan Kesehatan.

Fraud/Kecurangan bisa dilakukan oleh Peserta, BPJS Kesehatan, Fasilitas Kesehatan atau pemberi pelayanan kesehatan, penyedia obat dan alat kesehatan dan pemangku kepentingan lainnya. Kategori Fraud juga termasuk penyalahgunaan pelayanan kesehatan yang disebabkan karena perilaku pemberi pelayanan kesehatan.

Sayangnya tidak ada data resmi berapa besar Fraud terjadi, berapa dana yang hilang akibat fraud?. Padahal Fraud sangatlah mengganggu dana JKN dan boleh jadi faktor terbesar penyebab defisit. Rupiah demi rupiah dana amanat yang dikumpulkan peserta, begitu mudahnya dikeruk oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Bedanya kalau korupsi dikejar sampai terali besi, lha kalau Fraud kenapa tidak pernah di eskalasi dan di eksekusi?

Yang lebih aneh lagi dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 51 tahun 2018, makna fraud semakin dipersempit dan hanya berlaku kepada peserta. Terhadap jenis pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan dalam program Jaminan Kesehatan dikenakan Urun Biaya, yaitu pelayanan yang dipengaruhi selera dan perilaku Peserta, Urun biaya dikecualikan untuk peserta PBI yang didaftarkan oleh pemerintah. Lagi-lagi peserta diminta bayar, apa bedanya denda dengan urun biaya? Sama-sama keluar uang bukan?

Seandainya pun diketemukan kecurangan di fasilitas kesehatan milik pemerintah, entah itu berupa Up Coding, tagihan fiktif, pemberian obat yang tidak jelas indikasinya atau pemondokan pasien yang tidak perlu maka tidak jelas siapa yang memberi sanksi, siapa yang mendapatkan sanksi dan bagaimana pemberlakuan sanksinya. Bagaimana defisit dapat ditutupi dengan adanya celah menganga seperti ini?

Di tengah defisit yang menggunung dan peserta dikenakan iuran yang tinggi, tindakan tidak etis malah dilakukan pemerintah dengan menaikkan gaji dan tunjangan Direksi dan Dewan Pengawas BPJS. Ini nyata-nyata melukai nurani para peserta, menari diatas penderitaan rakyat. Jelas-jelas defisit ini terjadi salah satunya akibat gagalnya manajemen membenahi tata kelola dana amanat. Bilangnya defisit tapi kok gajinya dinaikkan dan menambah pengeluaran? Apa ini bukan pemborosan namanya? Rakyat dibawah menyisihkan lembar demi lembar untuk membayar iuran, tapi pejabat yang diatas malah yang mendapatkan kenaikan gaji? Dimana empatinya??

Kesimpulan

Mayoritas masyarakat tentu sepakat, program JKN KIS ini sangatlah bermanfaat dan menjadi harapan besar untuk membangun kesejahteraan masyarakat sebagaimana amanah konsitusi dan tujuan negara ini didirikan. Akan tetapi mengenai defisit yang menganggu kesinambungan program tentu bukanlah solusi yang tepat menaikkan iuran, sebab kenyataannya itu sangat memberatkan masyarakat di tengah ekonomi yang suram. Memang cara paling gampang menyelesaikan masalah defisit adalah menaikkan tarif iuran.

Banyak hal bisa dilakukan pemerintah untuk menutup pembiayaan JKN, salah satunya kepesertaan Tenaga Kerja Asing yang posisinya menyalahi aturan, mengurangi adanya fraud atau bisa juga tidak membatasi upah dalam penentuan iuran, banyak orang mampu yang gajinya diatas itu. Selain itu perbaikan manajerial, evaluasi sistem (Program INACBGS yag masih sewa dari pihak asing), harmonisasi regulasi dan komitmen semua pihak juga harus dibenahi.

Jangan ada lagi daerah yang keluar dari program JKN hanya gara-gara tidak mampu menanggung pembiayaan warga tidak mampu di daerahnya atau fasilitas kesehatan yang tidak bisa melayani karena tunggakan klaim yang belum dibayarkan. Cakupan Kesehatan Semesta tidak akan tercapai kalau tidak ada gotong royong semua pihak. BPJS Kesehatan hanyalah operator penyelenggara, bukan pemberi pelayanan dan bukan pembayar klaim.

Keberhasilan program adalah tugas pemerintah dan presiden adalah penanggung jawab terbesarnya, siapapun presidennya. Tidak pantas rasanya, negara yang gemah ripah loh jinawi ini masih harus mengemis dan memaksa rakyatnya menanggung beban negara. Kedaulatan rakyat telah dititipkan pada negara ini, sudah saatnya kemandirian dan perlindungan sosial diwujudkan oleh negara ini.

Salam sehat hak rakyat
Salam sejahtera hak pekerja
Jayalah indonesia

Relawan Jaminan Sosial
Ipang Sugiasmoro

Pos terkait