Guru Besar Hukum Perburuhan UGM: Mogok Buruh Freeport Sah, PHK Harus Dibatalkan

Jakarta, KPonline – Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Gadjah Mada (UGM) Ari Hermawan berpendapat, mogok yang dilakukan oleh buruh PT Freeport Indonesia (PTFI) adalah sah menurut hukum.

“[…] apa yang dilakukan oleh buruh merupakan aksi atau perlawanan (bersifat alamiah-pen) yang muncul karena kesenjangan—adanya penindasan” ungkap Ari Hermawan, sebagaimana dilansir mapcorner.wg.ugm.ac.id

Bacaan Lainnya

Sebaliknya, reaksi perusahaan yang langsung memutus hubungan kerja adalah satu bentuk interpretasi hukum yang keliru—ketika PTFI merumahkan buruh dan menganggap bukan persoalan hubungan industrial sehingga tidak perlu ada perundingan.

Merumahkan buruh sebetulnya merupakan hubungan kerja dan persoalan hubungan industrial. Dalam hal ini, Ari Hermawaan mendefinisikan hubungan kerja adalah hubungan yang timbul karena perjanjian kerja yang mengandung unsur pekerjaan, upah dan perintah. Hubungan industrial bahkan lebih luas yaitu hubungan antara pelaku dalam proses produksi meliputi pekerja, pengusaha dan pemerintah—sehingga (ketika PTFI merumahkan buruh dengan mengesampingkan relasi kerja maupun relasi industiral) adalah argumen yang keliru.

Dalam pandangan hukum ketenagakerjaan, menurut Hermawan, merumahkan pekerja merupakan salah satu modifikasi skorsing—yang butuh proses. Skorsing sendiri sebagai awalan dari proses pemutusan hubungan kerja. Sehingga, perusahaan harus memberi informasi terkait maksud atau keinginan perusahaan melakukan skorsing.

Maka persoalan skorsing harus dirundingkan. Ketika alasan-alasan yang diajukan perusahaan tidak mencukupi, perusahaan tidak boleh memutuskan hubungan kerja. Rezim hukum ketenagakerjaan saat ini memandang skorsing sebagai persoalan yang tidak linier. Sebab, skorsing menyimpang dari aturan terkait hak dan kewajiban. Pekerja yang menjalani skorsing tetap menerima hak meskipun tidak menjalankan kewajiban bekerja. Hal tersebut dipandang sebagai konsekwensi logis atas keinginan perusahaan menskorsing buruh. Skorsing tidak dilanjutkan ketahapan lebih jauh, manakala perusahaan tidak cukup beralasan melakukan PHK.

Menurut Hermawan, PHK oleh PTFI bersifat normal, namun memerlukan proses penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Selama perselisihan atau perundingan berlangsung, pekerja berhak atas seluruh hak yang melekat, termasuk jaminan kesehatan atau jaminan sosial. PTFI yang melakukan PHK sepihak tanpa perundingan tidak memiliki kekuatan hukum.

Mekanisme kontrol PTFI lewat SPB juga tak berimbang. Sebagaimana PTFI “menyisipkan” ancaman pengunduran diri secara sukarela, yang tak jelas dasarnya dalam perikatan. Suatu perkara yang memicu protes buruh-buruh PTFI pada klausula perikatan yang mencantumkan ancaman dalam perjanjian. Dalam perjanjian kerja minimal memiliki syarat dan asas-asas perjanjian. Sementara Perundang-undangan perburuhan maupun ketenagakerjaan yang mengatur pengunduran diri memberi waktu tiga puluh hari kerja, dan diajukan secara tertulis.

Di samping itu, berlaku aturan tidak boleh ada intimidasi. Dalam kacamata Hermawan, “[…] jika terdapat pelanggaran, misalnya dalam proses pengunduran diri ada paksaan, maka kembali ke kondisi null and void, atau batal demi hukum. Dengan kata lain, dianggap tidak ada perjanjian”.

Pos terkait