Sejak 2015, Indonesia Diterjang 5 Kali Gelombang PHK

Seorang buruh perempuan membentangkan spanduk bertuliskan: Tolak PHK Sepihak.

Jakarta, KPonline – Sejak tahun 2015, kita mempunyai catatan terkait dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Indonesia. Setidaknya, hingga 2019, sudah 5 kali terjadi gelombang PHK. Itu artinya, setiap tahun pasti terjadi PHK besar-besaran.

Gelombang pertama pada 2015 dimana ada 50.000 pekerja di sektor garmen, tekstil, makanan dan minuman terimbas.

Bacaan Lainnya

Gelombang PHK kedua, sambung Iqbal, terjadi pada periode Januari hingga April 2016 yang menimpa industri elektronik, automotif, keramik dan komponennya. Periode Januari hingga April, 100.000 buruh ter-PHK.

Kemudian, gelombang PHK ketiga terjadi pada periode 2016 hingga 2017 di industri ritel, industri keramik, industri pertambangan dan industri farmasi kesehatan. Salah satu yang paling terlihat adalah PHK yang dilakukan oleh industri ritel Seven Eleven karena kebangkrutan perusahaan tersebut.

Selanjutnya, gelombang PHK keempat terjadi pada 2018 dimana Krakatau Steel di Cilegon melakukan PHK terhadap karyawan kontraknya. Hal ini juga akibat masuknya pabrik baja dari China yang memukul industri baja dalam negeri. Termasuk perusahaan garmen seperti PT Dada Indonesia dan yang lainnya.

Tahun 2019, gelombang kelima terjadi. Isu PHK kembali mengkhawatirkan setelah perusahaan BUMN Krakatau Steel kembali dikabarkan akan merumahkan 1.300 pekerjanya. Dua pabrik besar di Batam juga perusahaan tutup.

PHK Harus Dihindari

Dalam UU Ketenagakerjaan disebutkan; pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja dengan segala upaya harus menghindari terjadinya PHK. Itu artinya, PHK harus dihindari. Semua pihak harus aktif agar buruh tidak akan kehilangan pekerjaan.

Namun demikian, sejauh ini kita belum melihat kesungguhan pemerintah untuk mencegah agar PHK tidak terjadi.

Justru muncul wacana untuk merevisi UU Ketenagakerjaan agar menjadi lebih fleksibel. Jika ini benar-benar dilakukan, bukan tidak mungkin PHK akan semakin mudah dilakukan.

Sebagai contoh, ada wacana pesangon akan dikurangi atau dihapuskan. Jika ini benar dilakukan, maka perusahaan tidak perlu lagi membayar pesangon. Karena itu, perusahaan tidak akan berfikir dua kali kalau hendak melakukan PHK. Toh bisa dilakukan dengan “gratis”.

Hubungan kerja yang fleksibel juga memudahkan terjadinya PHK. Ini bertentangan dengan konstitusi, sebab mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah hak rakyat. Hak itu bisa diwujudkan jika tercipta kepastian kerja, kepastian pendapatan, dan tersedianya jaminan sosial.

Pos terkait