FSPMI Labuhan Batu Dampingi Buruh PTPN IV Basis Kebun Ajamu, Untuk Mendapatkan Pembelaan

Seorang buruh perempuan membentangkan spanduk bertuliskan: Tolak PHK Sepihak.

Labuhan Batu, KPonline-Erison Sormin, Buruh sekaligus Ketua SPBun PT. Perkebunan Nusantara IV Basis Kebun Ajamu Kecamatan Panai Hulu Kabupaten Labuhanbatu Provinsi Sumatera Utara, di Putus Hubungan Kerjanya (PHK) oleh Perusahaan PT. Perkebunan Nusantara.IV dengan alasan telah melakukan Kesalahan Berat.

Erison Sormin, menuturkan kepada Media Perdjoeangan,minggu pagi (2/3) di Rantauprapat,

Bacaan Lainnya

“kalaupun benar tuduhan perusahaan Saya melakukan kesalahan berat, dugaan menggelapkan barang perusahaan, kenapa cuma Saya yang di PHK, padahal kami ada dua orang yang melakukannya, feeling Saya substansi PHK bukan karena persoalan kesalahan berat, tetapi akibat Saya melakukan aksi unjuk rasa bersama puluhan Buruh Harian Lepas ( BHL) Pemanen Kelapa Sawit yang tidak jelas nasibnya hingga bertahun-tahun” Sebutnya.

Pengakuan Erison Sormin, dirinya sudah berulang menghubungi Wispramono Budiman, Ketua Umum SPBun PTPN IV memohon bantuan pembelaan dari Organisasi, tetapi tidak ada tanggapan, sehingga dirinya menemui Pengurus FSPMI Labuhanbatu untuk meminta dampingan pembelaan serta Surat Kuasa sudah Saya tanda tangani pada tgl 23 Pebruari 2019″ bebernya.

Wardin Ketua PC FSPMI Labuhanbatu saat dikonfirmasi pada hari Minggu (2/3) selesai mengikuti acara jalan santai, membenarkan bahwa Sdr Erison Sormin ada meminta bantuan dampingan pembelaan kepada PC FSPMI Labuhanbatu dan permasalahan sudah kami sampaikan ke Dinas Tenagakerja Kabupaten Labuhanbatu,
Insya Allah pada Hari Senin 11Maret 2019 akan dilakukan sidang Tripartit di Disnaker Labuhanbatu, sambil memperlihatkan Surat Panggilan dari Disnaker Labuhanbatu bernomor:560/0856/DTK-4/2019, tgl 28 Pebruari 2019, Kami akan maksimal melalukan pembelaan, dan untuk detailnya silahkan tanya kepada Anto Bangun Sekretaris PC FSPMI Labuhanbatu” sebut Wardin.

Anto Bangun saat dikonfirmasi, disalah satu Warkop di Kota Rantauprapat, menjelaskan”

Benar Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur tentang pemutusan hubunga kerja (PHK) karena seorang pekerja melakukan kesalahan Berat.

Tetapi tidak dapat ditemukan definisi yang pasti tentang “kesalahan berat” yang dimaksud, secara denotatif (makna yang terkandung dari sebuah kata yang objektif)

Pasal 158 ayat (1) pada huruf,a, sampai ,j, telah merinci jenis-jenis kesalahan berat yang dapat mengakibatkan seorang Pekerja di PHK .

Apabila seorang pekerja/buruh melakukan penipuan, pencurian, atau pengggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan; atau buruh memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan; atau mabuk, meminum minuman keras; atau melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja; atau menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja.

Kesalahan berat sebagaimana tersebut diatas harus didukung dengan bukti, yakni pekerja/buruh tertangkap tangan, atau ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan, atau bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

Tetap walaupun kesalahan berat dimaksud sudah terpenuhi unsur hukumnya Perusahaan tidak bisa serta merta melakukan PHK.

Pasal 155 juncto Pasal 151 Undang-Undang No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan melarang PHK tanpa penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, kemudian PHK tanpa penetapan dari PPHI adalah batal demi hukum.

Dan ayat (3) dari Pasal 155 UU.NO.13/2003 tentang Ketenagakerjaan sebelum ada putusan dari pengadilan yang berkeuatan hukum tetap terhadap pekerja yang melakukan kesalahan berat, pengusaha tidak bisa melakukan PHK, hanya bisa menjatuhkan skorsing dengan tetap membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh tersebut.

Alasan mengapa Perusahaan tidak bisa langsung melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja yang melakukan kesalahan berat sesuai Pasal 158 ayat (1) UU.No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan

Karena sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 12/PUU-I/2003, tentang Hasil Uji Materil UU.No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD-1945 menyebutkan, Pasal 158 ayat (1) UU.No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat, dan tidak dapat dijadikan sebagai dasar dan alasan PHK.

Kesalahan berat yang diatur dalam Pasal 158 adalah perbuatan pidana yang telah diatur dalam KUHPidana Ketentuan pasal ini dinilai telah melanggar asas praduga tak bersalah, mengingat pasal ini telah memberikan dasar bagi pengusaha untuk melakukan PHK secara sepihak sebelum ada putusan pengadilan.

Jadi, dengan adanya putusan MK ini, PHK atas kesalahan berat baru dapat dilakukan oleh pengusaha setelah pelaku terbukti dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan.

Sebagai tindak lanjut atas Putusan MK RI No. 012/PUU-I/2003 tersebut, pada tanggal 7 Januari 2005, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) juga sudah mengeluarkan Surat Edaran No. SE.13/MEN/SJ-HKI/I/2005 yang pada intinya meminta kepada pengusaha melakukan PHK kepada pekerja karena melakukan kesalahan berat setelah adanya terbit putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa pekerja tersebut benar terbukti telah melakukan kesalahan berat.

Oleh sebab itu, dengan dicabutnya Pasal 158 Undang-Undang Ketenagakerjaan, berarti rincian kesalahan berat yang dilakukan pekerja/buruh dalam hubungan kerja, menjadi pengaturan di luar Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Kesalahan berat itu sepenuhnya berada dalam ranah hukum pidana.

Kesalahan berat adalah perbuatan tindak pidana yang terbukti dilakukan dan dihukum oleh pengadilan berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Sepanjang putusan itu belum ada, PHK belum dapat dijatuhkan, kecuali berformat skorsing.

Sehingga tindakan yang dilakukan oleh Management PT Perkebunan Nusantara IV,Kebun Ajamu terhadap Erison Sormin,Spd, Pekerja sekaligus Ketua SPBun PT Perkebunan Nusantara IV Basis Kebun Ajamu yang melakukan PHK sebelum adanya terbit Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,adalah diduga perbuatan melawan hukum dan perbuatan pelanggaran HAM ( Management PT Perkebunan Nusantara IV tidak menghormati azas praduga tidak bersalah yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia)

Surat Keputusan PHK,No.04.11/X/103/11/2019 tertanggal 19 Februari 2019 yang ditandatangani oleh Rizal Damanik, Direksi PT Perkebunan Nusantara.IV. menyebutkan alasan PHK kepada Erison Sormin,Spd. bahwa Sdr Erison Sormin,Spd, sudah melakukan kesalahan berat, telah melanggar ketentuan PKB Periode 2018-2019 Jucnto Peraturan Direksi No.04.11/PER/19/IX/2018 ” Turut serta melakukan kecurangan, pencurian,penipuan, dan/atau penggelapan terhadap barang milik negara/ perusahaan” kemudian menambahkan PHK karena alasan mendesak sesuai SE.Menakertrans No.13/MEN/SJ.HK/I/2005,

Dengan merujuk kepada ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku,PHK ini adalah bentuk kesewang-wenangan yang melanggar hukum dan HAM, dengan alasan:

1.PHK dengan alasan Pekerja melakukan kesalahan berat hanya dapat dilakukan setelah adanya terbit putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

2.Memvonis langsung Erison Sormin,Spd, sebagai pelaku kejahatan tindak pidana dengan menyebutkan langsung” turut serta melakukan kecurangan, pencurian,penipuan, dan/atau penggelapan terhadap barang milik negara/perusahaan” padahal untuk membuktikan benar atau tidak seseorang melakukan kejahatan tindak pidana kejahatan sepenuhnya adalah kewenangan kehakiman/haknya pengadilan.

Jelas dan secara terang-terangan Management PT Perkebunan Nusantara.IV mencaplok kekuasaan hakim/ pengadilan, dan tidak menghormati azas praduga tidak bersalah.

“Penjelasan KUHAP butir ke 3 Huruf c, Setiap orang yang disangka,ditangkap, ditahan,dituntut atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan,wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”

Kemudian pada Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman pasal 8 ayat (1) menyebutkan” Setiap orang yang disangka,ditangkap,ditahan,dituntut, atau dihadapkan didepan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”

Seorang tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat, dia harus dinilai sebagai subjek,bukan objek, yang diperiksa bukan manusia sebagai tersangka,tetapi perbuatan tindak pidana yang dikakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan, kearah kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan, tersangka harus dianggap tidak bersalah ,sesuai azas praduga tidak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Tuduhan dan vonis langsung yang dilakukan oleh management PTPN IV,merupakan perbuatan pelanggaran hukum HAM,

3.Dalam pembidangan hukum ketenagakerjaan dan sistim hubungan industrial tidak ada dalil yang membenarkan adanya terbit Peraturan Direksi, apalagi diperusahaan tersebut sudah ada PKB, sehingga tidak wajib untuk membuat Peraturan Perusahaan, sehingga dasar dan alasan PHK yang menyebutkan melanggar Peraturan Direksi tidak memiliki Dasar Hukum.( batal demi hukum)

Peraturan Direksi tidak dapat disamakan dengan Peraturan Perusahaan,dan tentang asas legal Peraturan Perusahaan sudah sangat jelas diatur pada pasal 108-115 UU.No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan Juncto Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.28/2014.

4.Alasan mendesak dengan merujuk kepada SE.Menakertran No.13/2005, tidak dapat dijadikan dasar PHK karena kondisi PTPN IV tidak dalam kondisi darurat atau sedang pailit.

Sangat ironis,seorang Ketua SPBun Basis diperlakukan sewenang-wenang tanpa ada pembelaan dari Organisasi, bagaimana pula bila yang melakukan adalah anggotanya, kemungkinan dibiarkan begitusaja, padahal esensi dari organisasi serikat pekerja adalah untuk memberi perlindungan,pembelaan kepada anggotanya, kalaupun anggota bersalah lakukanlah pembelaan semaksimal mungkin, dari kasus ini pekerja tentu dapat memetik sebuah pelajaran agar bisa bersikap lebih hati-hati untuk bergabung pada organisasi serikat pekerja, pungkas Anto Bangun.

Pos terkait