Purwakarta, KPonline-Serikat pekerja atau serikat buruh (SP/SB) secara tegas menolak outsourcing dan upah murah karena keduanya dianggap merugikan pekerja dan tidak mendukung kesejahteraan. Terlebih, bagi Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI).
Dalam perjalanannya, FSPMI telah melakukan berbagai aksi untuk menolak outsourcing dan upah murah (HOSTUM) sebagai bagian dari perjuangan mereka terhadap hak-hak buruh di Indonesia. Dimana, FSPMI secara rutin mengorganisir aksi demonstrasi di berbagai kota besar, termasuk Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Riau (Batam).
Aksi HOSTUM (Hapus Outsourcing, Tolak Upah Murah) yang diinisiasi oleh Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) bermula dari keprihatinan terhadap kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. Sistem outsourcing yang dianggap merugikan pekerja dan kebijakan upah murah menjadi isu utama yang diangkat oleh serikat ini.
Pada awal 2000-an, FSPMI mulai memerhatikan dampak negatif dari praktik outsourcing yang meluas di berbagai sektor, terutama di industri manufaktur dan logistik. Pekerja yang terikat dalam sistem ini sering kali tidak mendapatkan hak-hak dasar seperti jaminan kesehatan, pensiun, dan kepastian kerja. Selain itu, kebijakan penetapan upah minimum yang tidak mencukupi kebutuhan hidup layak mendorong FSPMI untuk mengambil tindakan.
Kemudian, konsep HOSTUM mulai dikenal sekitar tahun 2010, ketika FSPMI secara resmi mencanangkan program perjuangan untuk menolak kebijakan outsourcing yang eksploitatif. Aksi ini menjadi lebih masif setelah keluarnya kebijakan yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang membuka peluang bagi perusahaan untuk menggunakan sistem outsourcing secara luas.
Selanjutnya, pada tahun-tahun berikutnya, HOSTUM menjadi slogan perjuangan dalam berbagai aksi unjuk rasa buruh yang digelar FSPMI, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Dan puncak dari aksi ini terjadi pada tahun 2012 ketika FSPMI bersama Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menggelar aksi besar-besaran di Jakarta. Mereka menuntut pemerintah untuk membatasi sistem outsourcing hanya pada pekerjaan non-inti perusahaan, seperti kebersihan dan keamanan.
Salah satu aksi simbolis HOSTUM adalah Mogok Nasional 2012 dan 2013. Dimana, FSPMI mengoordinasikan mogok nasional yang melibatkan ratusan ribu buruh dari berbagai sektor di seluruh Indonesia.
Tujuannya, menekan pemerintah untuk merevisi aturan terkait outsourcing dan menolak upah minimum. Sehingga berdampak, berhentinya aktivitas produksi di banyak pabrik, terutama di kawasan industri, sebagai bentuk tekanan kepada pemerintah dan pengusaha.
Tuntutan ini diakomodasi dalam Permenakertrans No. 19 Tahun 2012, yang mengatur pembatasan jenis pekerjaan yang boleh menggunakan sistem outsourcing.
Namun, perjuangan tidak berhenti di situ, karena pada tahun-tahun berikutnya praktik outsourcing terus berkembang dengan berbagai cara. Dimana, setelah disahkannya UU Cipta Kerja (Omnibus Law) pada tahun 2020, aksi HOSTUM kembali menjadi sorotan utama. UU tersebut dianggap menghidupkan kembali praktik outsourcing secara lebih luas dan menetapkan kebijakan pengupahan yang tidak berpihak kepada buruh.
FSPMI pun kembali memanfaatkan momentum ini untuk menggalang aksi nasional yang lebih besar, dengan menggaungkan kembali slogan HOSTUM. Aksi-aksi tersebut sering kali melibatkan ribuan hingga ratusan ribu buruh di berbagai daerah, menuntut pencabutan UU Cipta Kerja dan perlindungan hak-hak pekerja.
Alhasil, aksi-aksi ini telah membawa sejumlah perubahan. Meskipun belum sepenuhnya memenuhi harapan, setidaknya ada revisi sebagian aturan terkait outsourcing dan kenaikan upah minimum dibeberapa daerah yang sedikit memenuhi harapan.
Meskipun menghadapi banyak tantangan, FSPMI terus konsisten dalam perjuangannya melawan outsourcing dan upah murah.
Bahkan, menyambut Hari Buruh Internasional (May Day) yang diperingati pada 1 Mei disetiap tahunnya, FSPMI menjadi salah satu kekuatan utama dalam aksi buruh yang menuntut keadilan kerja dengan penolakan outsourcing dan upah murah selalu menjadi tema utama. Dan giat tersebut diikuti oleh puluhan ribu buruh dari berbagai daerah.
#Outsourcing dan Upah Murah
Outsourcing adalah praktik bisnis di mana perusahaan menyerahkan sebagian tugas, pekerjaan, atau proses bisnis kepada pihak ketiga, biasanya perusahaan lain yang berspesialisasi dalam bidang tertentu. Dalam konteks ketenagakerjaan, outsourcing sering digunakan untuk mempekerjakan pekerja kontrak melalui perusahaan penyedia tenaga kerja, bukan mempekerjakan mereka secara langsung.
Upah murah mengacu pada pembayaran kepada pekerja yang berada di bawah tingkat yang dianggap wajar atau layak untuk memenuhi kebutuhan hidup, sering kali jauh lebih rendah daripada standar upah minimum yang berlaku di suatu wilayah.
#Dampak Outsourcing.
1. Ketidakstabilan Kerja
Pekerja outsourcing biasanya hanya mendapatkan kontrak jangka pendek, sehingga mereka tidak memiliki kepastian kerja. Mereka bisa diberhentikan kapan saja tanpa jaminan perpanjangan kontrak.
2. Keterbatasan Hak dan Perlindungan
Pekerja outsourcing sering tidak mendapatkan hak yang sama seperti pekerja tetap, seperti tunjangan kesehatan, cuti tahunan, atau perlindungan pensiun.
3. Upah Rendah
Pekerja outsourcing sering menerima upah yang lebih rendah daripada pekerja tetap untuk pekerjaan yang sama, sehingga dianggap tidak adil.
4. Tidak Ada Kenaikan Karier
Dalam sistem outsourcing, pekerja sulit mendapatkan pelatihan atau promosi karena mereka bukan bagian dari struktur internal perusahaan.
5. Pengurangan Kesejahteraan Pekerja
Dengan mengandalkan tenaga kerja murah, perusahaan sering kali mengabaikan standar kesejahteraan pekerja yang seharusnya dipenuhi.
6. Eksploitasi Tenaga Kerja
Sistem ini sering dimanfaatkan untuk menekan biaya produksi, tetapi mengorbankan hak-hak pekerja.
#Alasan Menolak Upah Murah.
Pertama, Tidak mencukupi kebutuhan hidup layak (KHL). “Kebijakan upah murah membuat pekerja sulit memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, pendidikan, dan kesehatan. Hal ini melanggengkan siklus kemiskinan”.
Kedua, Mengurangi kesejahteraan keluarga pekerja. “Dengan upah yang rendah, pekerja sering kali harus bekerja lembur atau mencari pekerjaan tambahan, sehingga waktu untuk keluarga dan istirahat berkurang”.
Ketiga, Tidak seimbang dengan produktivitas. “Dalam banyak kasus, pekerja dengan upah murah tetap diharapkan bekerja keras dengan produktivitas tinggi, tetapi penghasilan mereka tidak mencerminkan kontribusinya”.
Keempat, Menciptakan ketimpangan sosial. “Upah murah sering kali dinikmati oleh perusahaan sebagai cara menekan biaya, tetapi pekerja tidak mendapatkan bagian yang adil dari keuntungan perusahaan, sehingga memperparah kesenjangan ekonomi”.
Dan dipastikan dampak negatif terhadap ekonomi nasional pun akan terjadi, yaitu;
1. Pengurangan Daya Beli: Upah murah membuat daya beli masyarakat menurun, yang pada akhirnya melemahkan ekonomi nasional.
2. Buruk bagi Generasi Mendatang: Dengan upah rendah, keluarga pekerja kesulitan menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, sehingga menciptakan hambatan sosial di masa depan.
Singkatnya, kenapa serikat pekerja (FSPMI) menolak sistem ini. Karena mereka memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan pekerja, termasuk upah yang layak, perlindungan kerja, dan kepastian masa depan. Outsourcing dan praktik upah murah dianggap bertentangan dengan tujuan tersebut.
Selain itu, menolak outsourcing dan upah murah karena keduanya tidak hanya merugikan individu pekerja, tetapi juga berdampak negatif pada masyarakat secara keseluruhan.