Jakarta, KPonline – Malam itu, bung Ramidi selaku Sekjend KSPI mengirimkan pesan kepada saya. Ia meminta tanggapan atas draft Pernyataan Bersama MPBI. Saya memberikan beberapa masukan, lalu mematikan handphone dan tidur.
Jam 3 pagi, ketika membuka HP, ia meminta saya men-draft ulang. Disertai beberapa catatan, apa saja yang harus ada di dalamnya.
Saya menghidupkan laptop; membuka kembali Manifesto MPBI yang disusun tahun 2012, menulis draft lalu mengirimkannya.
Setelah melalui proses diskusi di internal, tanggal 28 Februari 2020 kemarin, MPBI secara resmi merilis pernyataan sikap bersama.
MPBI dihidupkan lagi. Reborn. Ini dilakukan untuk menantang omnibus law, yang konon hanya bisa dikalahkan dengan omnibus union.
Menghadapi situasi seperti ini, persatuan tak bisa ditawar lagi. Apalagi di berbagai daerah, aliansi-aliansi taktis dan strategis sudah terbentuk.
Dalam kaitan dengan itu, kehadiran kembali MPBI, sekaligus sebagai ikhtiar untuk memperkuat aliansi yang sudah ada di tingkat nasional.
Usai deklarasi, kemarin, MPBI akan segera melakukan konsolidasi gagasan. Termasuk menyatukan kekuatan untuk mengoptimalkan gerakan.
* * *
Perlu diketahui, MPBI pertamakali dideklarasikan pada tanggal 1 Mei 2012 di Gelora Bung Karno. Deklarasi itu disaksikan kurang lebih 100 ribu orang buruh yang memenuhi GBK.
Manifesto MPBI dengan tegas menyebutkan, bahwa keberadaannya merupakan alat perjuangan pekerja/buruh Indonesia serta elemen masyarakat yang lain untuk mewujudkan kehidupan yang adil, sejahtera, dan bermartabat. Dalam kaitan dengan itu, MPBI akan berjuang untuk menghapus segala bentuk penindasan dan ketidakadilan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Kehidupan pekerja/buruh Indonesia harus diperlakukan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia yang merdeka, adil, sejahtera, dan bermartabat. Penegakan hukum dan kedaulatan bangsa harus ditegakkan dengan menghapuskan eksploitasi hak-hak rakyat dan hak-hak pekerja/buruh.
Saat ini Pemerintah sedang berupaya memangkas regulasi yang dinilai menghambat investasi dengan melahirkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Tetapi setelah dikaji secara seksama, ternyata isi RUU Cipta Kerja justru bertolak belakang dengan cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana tersebut di atas.
Khusus untuk kluster ketenagakerjaan, MPBI melihat RUU Cipta Kerja tidak memberikan kepastian pekerjaan (job security), kepastian pendapatan (salary security), dan kepastian jaminan sosial (social security).
Hal itu tercermin dari 9 (sembilan) alasan: hilangnya upah minimum, hilangnya pesangon, outsourcing bebas di semua jenis pekerjaan, pekerja kontrak tanpa dibatasi jenis pekerjaan dan dikontrak seumur hidup, PHK semakin mudah, waktu kerja yang melelahkan dan eksploitatif, TKA “buruh kasar” berpotensi masuk ke Indonesia dalam jumlah yang besar, jaminan sosial terancam hilang, dan sanksi pidana untuk pengusaha dihilangkan.
Melihat adanya potensi ancaman akibat adanya omnibus law RUU Cipta Kerja itulah; dengan penuh ketulusan, kesadaran, dan semangat kebersamaan, Majelis Pekerja Buruh Indonesia dihidupkan kembali (MPBI reborn).
MPBI akan menjadi alat perjuangan untuk mengawal dan menolak keras setiap kebijakan yang akan mendregadasi hak-hak pekerja buruh Indonesia, dalam segala bentuk kegiatan baik secara parlementer maupun ekstra parlementer melalui strategi konsep-lobbi-aksi (KLA).