Buruh Jaba Garmindo Masih Melawan

Pekerja Jaba Garmindo menuntut uniqlo bertanggungjawab.

Jakarta, KPonline – Masih ingat dengan kasus buruh PT Jaba Garmindo? Ya, mereka adalah buruh yang kehilangan pekerjaan pasca perusahaan tempatnya bekerja tutup, tahun 2014 lalu. Penutupan perusahaan ini menimbulkan berbagai persoalan, karena hingga saat ini hak-hak mereka belum sepenuhnya dibayarkan.

Namun demikian, para buruh tidak tinggal diam. Perlawanan demi perlawanan terus mereka lakukan. Bahkan dua orang aktivis buruh dari PT Jaga Garmindo sempat datang ke Jepang, untuk melakukan aksi, langsung di kantor Uniqlo.

Bacaan Lainnya

Dilansir dari Tirto.id (23/4/2019), laporan Workers Rights Consortium yang terbit pada 21 Desember 2015 menyebut pada 2014 pekerja melayangkan protes terhadap perusahaan karena dianggap melanggar ketentuan kontrak kerja, melakukan PHK terhadap pekerja yang sedang hamil tanpa alasan jelas, meniadakan uang lembur, tak menyediakan ruang kerja yang sehat dan aman, dan tidak mendukung aktivitas serikat pekerja perusahaan.

Selama beroperasi, Jaba Garmindo bekerjasama dengan beberapa lini fesyen seperti S.Oliver, Jack Wolfskin, Roxy, Trutex, H&M, dan Uniqlo. Tak lama setelah berbagai tuntutan diajukan, perusahaan menyatakan bangkrut. Hal tersebut membuat pihak perusahaan berutang kepada 4000 pekerja. Total uang yang mesti diberikan kepada seluruh pekerja mencapai Rp141 miliar.

Kementerian Ketenagakerjaan memutuskan pemilik Jaba Garmindo wajib membayarkan upah kepada seluruh pekerja. Tapi langkah tersebut mustahil dilakukan karena aset yang tersisa telah diserahkan pada pihak kreditur—dalam hal ini sejumlah bank yang memberi pinjaman dana ke pemilik perusahaan. Hal ini membuat gaji pekerja jadi terkatung-katung.

Workers Rights Consortium (WRC) menyarankan agar sejumlah mitra kerja Jaba Garmindo turut membantu membayarkan upah pada para pekerja meski bukan mereka yang menyebabkan kebangkrutan.

WRC menganggap sejumlah perusahaan tersebut (termasuk Uniqlo) punya kewajiban untuk membantu karena mereka bagian dari Fair Labor Organization yang mengutamakan prinsip keadilan dalam memberi upah terhadap pekerja—termasuk dari sisi perusahaan penyuplai. Dalam kasus ini, WRC menilai Uniqlo lalai melakukan proses pencegahan agar kasus ketidakadilan upah pekerja tidak terjadi. Uniqlo juga dianggap tidak mematuhi prinsip keberlanjutan yang telah mereka tetapkan dalam perusahaan.

Ketimbang menginvestigasi atau membantu perusahaan garmen keluar dari masalah, Uniqlo memutuskan untuk mengakhiri kerjasama dengan Jaba Garmindo pada 2014. Alasannya, perusahaan tidak menghasilkan produk yang berkualitas. Akibatnya, kondisi keuangan Jaba Garmindo kian memburuk. Akhir November 2018, Fast Retailing—perusahaan induk Uniqlo—menyatakan telah bertemu perwakilan eks pekerja Jaba Garmindo dan membuat beberapa kesepakatan.

Tapi, pihak perusahaan memilih merahasiakan kesepakatan tersebut. Pertemuan diadakan beberapa lama setelah dua orang eks-pekerja Jaba Garmindo yakni Warni Napitupulu dan Tedy Senadi Putra berdemo di salah satu gerai Uniqlo di Tokyo, Jepang guna menuntut pembayaran upah.

Pertemuan ini juga dampak dari kampanye PayUp Uniqlo yang diinisiasi Clean Clothes Campaign, LSM internasional yang membantu proses advokasi pekerja di sektor garmen. Gerakan tersebut bertujuan menghimbau berbagai perusahaan agar menunda kerjasama dengan Uniqlo sampai perusahaan tersebut menyelesaikan urusan pembayaran gaji pegawai eks-penyuplai perusahaan.

Pihak Clean Clothes merencanakan kampanye dengan melakukan aksi demonstrasi di sejumlah negara yaitu Inggris, Denmark, Jerman, Belanda, Swedia, Spanyol, Hong Kong, Indonesia, dan Jepang.

Jawaban Uniqlo

Menanggapi hal itu, manajemen Uniqlo Indonesia menyampaikan pernyataan melalui keterangan tertulis di situs resminya. Disebutkan, Fast Retailing Group menunjuk PT Jaba Garmindo sebagai salah satu pabrik pemasok untuk merek Uniqlo sejak Oktober 2012 hingga Oktober 2014.

Dalam perkembangannya, kerja sama tidak berjalan mulus karena Jaba Garmindo dianggap bermasalah dalam segi kualitas produk dan pengiriman yang berkelanjutan.

Pada akhirnya, Fast Retailing menyatakan tidak dapat lagi mempertahankan hubungan bisnis dengan PT Jaba Garmindo, keluar dari hubungan kerja pada Oktober 2014, dengan menyelesaikan pembayaran untuk semua pesanan pada saat itu secara tepat waktu. PT Jaba Garmindo, bekas pabrik pemasok Uniqlo di Indonesia itu dinyatakan pailit dan mengalami kebangkrutan pada April 2015.

“Fast Retailing tidak memiliki kewajiban hukum terkait hal ini, termasuk tanggung jawab untuk memberikan kompensasi finansial kepada mantan pekerja PT Jaba Garmindo,” demikian tertulis dalam keterangan pers, Selasa (9/4).

Uniqlo mengaku telah menawari para pekerja pabrik untuk bekerja dengan pihak-pihak terkait. Selain itu, Fast Retailing juga mengklaim telah memimpin pembicaraan dengan para pemangku kepentingan di seluruh industri pakaian mengenai metode yang akan melindungi pekerja industri terkait kasus serupa di masa depan.

Dalam perkembangan, Fast Retailing mengaku telah bertemu langsung dengan perwakilan serikat pekerja dari Jaba Garmindo di Jakarta pada Juli 2017 dan November 2018 lalu. Namun, kedua pihak enggan membagikan hasil kesepakatan tersebut.

“Fast Retailing telah mengonfirmasi rencana untuk pembahasan lebih lanjut dengan perwakilan dari serikat pekerja untuk membantu memfasilitasi kembali lapangan pekerjaan bagi mantan pekerja PT Jaba Garmindo yang hingga saat ini belum memiliki pekerjaan,” demikian paparan manajemen Uniqlo.

Sebelumnya, dari situs LSM Internasional Clean Clothes Campaign diketahui, dua pekerja pabrik garmen yang membuat pakaian Uniqlo selama bertahun-tahun akan berada di Kopenhagen, Denmark, pada 2 dan 7 April 2019. Hal itu sebagai bagian dari kampanye global PayUp Uniqlo.

Mereka menuntut agar Uniqlo membayar utang kepada pekerja setelah penutupan pabrik mereka yang tak terduga pada 2015 lalu. Kunjungan para pekerja bertepatan dengan pembukaan toko Uniqlo pertama di Denmark pada 5 April. Dalam acara tersebut, CEO Tadashi Yanai hadir.

Uniqlo merupakan pembeli utama pabrik Jaba Garmindo yang ditutup tanpa peringatan atau penjelasan kepada para pekerja.

Pendiri dan CEO perusahaan induk Uniqlo Tadashi Yanai diperkirakan memiliki kekayaan bersih US$19,3 miliar, menjadikannya orang terkaya kedua di Jepang. Kini Uniqlo menghasilkan keuntungan miliaran dolar bagi para pemegang saham.

Dalam situs itu disebutkan, Uniqlo masih terus menolak untuk membayar utang kepada mantan pekerja Jaba Garmindo.

Didukung oleh kelompok buruh berskala global, para mantan pekerja Jaba Garmindo terus berkampanye menentang pencurian upah Uniqlo, sejak penutupan pabrik mereka.

Sumber:

1. https://tirto.id/ramai-ramai-desak-uniqlo-bayar-utang-upah-ke-mantan-buruh-dl9c

2. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190409120204-92-384591/kronologi-uniqlo-soal-tuntutan-upah-buruh-di-indonesia

Pos terkait