Bicara dengan Data

Jakarta, KPonline – September tahun lalu, saya hadir dalam Pelatihan Riset yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat SPAMK FSPMI. Sebuah pelatihan yang membuat saya makin percaya, dalam sebuah advokasi, bahwa data dan fakta adalah “segalanya”.

Meski sayangnya, oleh serikat, riset belum dianggap sebagai pekerjaan yang penting. Padahal tanpa disadari, aktivitas ini sudah biasa dilakukan. Sayangnya belum dikerjakan dengan kesadaran dan keberlanjutan.

Setiap kali melakukan perundingan bipartit di tingkat perusahaan atau menyusun gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial, penelitian tak pernah ketinggalan. Entah untuk menggali informasi, menyelidiki bagaimana perselisihan itu terjadi, atau mencari fakta-fakta untuk mendukung argumentasi.

Satu contoh lagi, dapat kita lihat saat FSPMI memutuskan untuk fokus melakukan pengembangan organisasi ke Cirebon, Majalengka, dan sekitarnya. Diawali dari riset sederhana, bahwa banyak perusahaan yang melakukan relokasi dan mendirikan pabrik di kota udang dan sekitarnya.

Keberhasilan beberapa daerah di Jawa Timur menaikkan upah minimum lebih tinggi dari PP 78/2015 tahun lalu, juga diawali dengan riset (survey pasar untuk mengetahui nilai KHL). Dari sana mereka menemukan fakta, bahwa disparitas upah antar kab/kota di Jawa Timur sangat mengkhawatirkan. Advokasi mereka berhasil. Di beberapa daerah, Gubernur bersedia menaikkan upah lebih besar dari formula kenaikan upah minimum yang diatur PP 78/2018.

Itu adalah fata, bahwa data tak pernah berdusta.

Dari sini kita belajar, untuk tidak lagi bergerak atas dasar pokoke. Tidak bergerak berdasarkan kira-kira. Apalagi sekedar coba-coba.

Saya ingin mengatakan, riset adalah aktifitas yang sangat dekat dengan serikat. Bahkan di dalam serikat pekerja, biasanya ada pengurus yang ditunjuk untuk membidangi Penelitian dan Pengembangan (Litbang). Tetapi, memang, ini harus dilakukan dengan kesungguhan.

Masih terkait mengenai kekuatan riset, saya ingat dengan penelitian yang dilakukan Akatiga, SPN, dan Garteks terkait Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

Dalam penelitian yang dilakukan di 9 Kabupaten/kota pada tahun 2009 itu ditemukan fakta, bahwa upah riil buruh hanya di kisaran 888.300. Jika ditambah tunjangan tidak tetap dan lembur, paling banter totalnya adalah 1.090.253.

Dengan upah yang diterimanya, buruh hanya mampu memenuhi 62,4% kebutuhan riil. Artinya, upah buruh masih nombok. Jangankan menabung. Yang ada tekor.

Untuk menutupi kekurangan itu, buruh harus bekerja lebih lama (mengandalkan lembur), bekerja sampingan, menggabungkan penghasilan anggota rumah tangga lainnya, meniadakan konsumsi untuk barang-barang tertentu, dan berutang.

Hidup buruh tak jauh dari gali lubang tutup lubang. Bukan karena nggak bisa hidup hemat, tetapi memang, penghasilannya kurang.

Penelitian ini juga menemukan fakta, bahwa KHL yang ideal adalah 163 komponen. Bukan lagi 46 komponen yang saat itu berlaku.

Hasil riset inilah yang kemudian dijadikan bahan argumentasi oleh berbagai serikat pekerja dan memantik kesadaran guna memperjuangkan kenaikan upah minimum lebih keras lagi. Sehingga di era 2010-2013 kenaikan upah minimum naik signifikan. Bahkan ada penambahan komponen KHL, meski masih jauh dari harapan.

Pentingnya data untuk menopang gerakan tak perlu disangsikan. Dengannya kita akan bergerak lebih tegak. Bahkan bisa membungkam lawan tanpa banyak kata.

Apa yang dilakukan PP SPAMK FSPMI dengan pelatihan risetnya, buat saya membuka cakrawala, agar dinamika gerakan tidak itu-itu saja.

Memang, proses penelitian tidak segegap gempita aksi di jalanan. Bahkan ada yang menganggap ini bukan kegiatan serikat banget, terlebih bagi mereka yang bermahzab aksi sebagai satu-satunya solusi. Apapun masalahnya, aksi jalan keluarnya.

Riset bisa dijalankan tanpa menghilangkan peran yang lain. Perumusan konsep tetap jalan, lobi tetap dilakukan, aksi pun tak ketinggalan. Di balik semua itu, kerja riset atau penelitian harus dikuatkan.

Sudah saatnya narasi yang dibangun serikat berbasis riset. Belum terlambat….