Batam yang Dulu Bukanlah Batam yang Sekarang

Batam, KPonline – Aku menyadari, bahwa ini adalah kota yang dipenuhi mimpi. Kota yang selalu terbayang dalam benak banyak orang untuk datang. Kota yang dipenuhi godaan. Seperti suara kekasih yang dengan mesra memanggil kita untuk kembali pulang.

Begitulah, Kota Batam menjanjikan sejuta harapan – juga kesenangan. Sesuatu yang tidak mengherankan sebenarnya. Karena, memang, kejayaan Batam tersohor sebagai salah satu kota industri terbesar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Orang-orang datang dari berbagai penjuru nusantara untuk mencari kerja.

Bacaan Lainnya

“Itu kan dulu,” mungkin kamu akan berpendapat demikian.

Tetapi bagiku, masa lalu dan masa sekarang adalah sesuatu yang saling berkaitan. Ia tak akan pernah bisa sepenuhnya terhapus dalam jejak sejarah hidupmu. Bukankah kita kita ada hari ini karena sesuatu yang terjadi di masa lalu. Jadi jangan pernah memungkiri sejarah, sebab sejarah adalah bayang-bayang yang akan mengikuti langkah.

Jika pada masa lalu pernah tertoreh cerita tentang kejayaan, kita pasti bisa menorehkan hal yang sama, nanti. Itulah yang kukatakan di awal cerita ini, bahwa kota ini dipenuhi mimpi.

Bayangkanlah, secara geografis Batam berbatasan langsung dengan Malaysia dan Singapura. Bisa dibilang, Batam merupakan halaman depan bagi Indonesia. Posisi ini menjadikan Batam sebagai kota yang strategis. Apalagi dibangun dengan ambisi, menjadi Singapura-nya Indonesia.

Namun demikian, aku juga menyadari, bahwa seiring berjalannya waktu, Batam mulai banyak ditinggalkan. Tak sedikit perusahaan yang akhirnya tumbang. Sebagian lagi memilih hengkang.

Banyak sebab sehingga hal ini terjadi. Beberapa diantaranya adalah karena birokrasi yang rumit dan berbelit, korupsi, pungli, dan lain sebagainya. Jangan pernah katakan bahwa itu terjadi karena buruh-buruh Batam selalu menuntut upah tinggi. Lihatlah di sana, terlihat dengan mata telanjang dari Batam, Negara Malaysia dan Singapura memberikan upah buruh-buruhnya lebih baik.

Dulu, Batam dikenal sebagai surga bagi pekerja yang menginginkan upah lebih baik. Tetapi dengan kebijakan yang berorientasi upah murah, dalam 2 hingga 3 tahun terakhir ini, upah minimum di Batam jauh di bawah kebutuhan hidup layak. Bahkan mulai tertinggal dengan kota-kota lain di Indonesia.

Kamu harus tahu, permasalahan upah bukan hanya monopoli kaum pekerja. Sebab ketika upah rendah, hal itu juga akan berdampak terhadap perekonomian masyarakat umum. Sebab upah berkorelasi dengan daya beli. Ketika daya beli turun, dengan sendirinya kemampuan buruh untuk membeli juga turun. Ketika kemampuan untuk membeli turun, maka ekosistem kehidupan akan terganggu.

Begitulah faktanya. Seperti yang dikisahkan oleh pemilik warung makan yang menjadi langgananku. Dia mengeluhkan bahwa warungnya mulai sepi. Pelanggannya tidak seramai dulu.

Dulu, pada hari Sabtu dan Minggu, ketika sebagian besar buruh sedang libur, warung makannya tak pernah sepi. “Saya sampai kewalahan melayaninya,” dia mengenang. “Sekarang mah sepi. Mungkin gajinya udah habis atau orangnya yang sudah habis kontrak, jadi nganggur dan pulang kampung.”

Ini hanya satu contoh dari menurunnya daya beli masyarakat Batam. Begitu pentingnya peran pekerja dalam menyumbang perekonomian. Terlebih lagi, masyarakat Batam mayoritas adalah pekerja. Maka jika ada yang mencibir perjuangan upah di Batam, sejatinya dia tengah mengingkari nuraninya sendirinya.

Hingga kini, Batam masih saja menyimpan mimpi — mungkin tanpa misteri. Mimpi kondisinya akan membaik seperti dulu lagi…

(Spyden)

====

Penulis: Deniar Wisman Rinaldi

Tulisan ini merupakan hasil praktek pelatihan menulis yang diselenggarakan Pimpinan Cabang SPEE FSPMI Kota Batam. Jika organisasi (PUK/PC/KC) di wilayah anda ingin mengundang Tim Media Perdjoeangan dalam pelatihan menulis, kirimkan surat melalui email: koranperdjoeangan@gmail.com. Kami akan dengan senang hati untuk berbagi dan belajar bersama. Baca juga tulisan menarik lainnya dari  Peserta Pelatihan Menulis..

Pos terkait